Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perdebatan Filsafat dan langkah yang tak terelakkan
Setelah momen itu, Bayu mulai merasa bahwa perasaannya terhadap Rara bukanlah sesuatu yang bisa terus ia sembunyikan. Meskipun masih banyak ketidakpastian yang mengelilinginya, Bayu merasa bahwa ia harus mulai menghadapi kenyataan dan memberi ruang bagi perasaannya. Namun, seperti yang sudah menjadi kebiasaannya, Bayu cenderung mengatasi kebingungannya dengan filsafat. Baginya, filsafat selalu memberikan perspektif baru dalam menghadapi masalah, meskipun ia sadar bahwa tidak semua jawaban bisa ditemukan lewat buku-buku tebal itu.
Pagi itu, Bayu duduk bersama teman-temannya di kantin kampus. Dimas, Adit, dan Riko—tiga orang yang selalu menemani Bayu dalam setiap diskusinya. Seperti biasa, mereka sedang mengobrol tentang hal-hal sepele di kampus, namun, percakapan kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Bayu, dan tanpa sadar, ia mengarahkan topik pembicaraan mereka ke arah yang lebih dalam.
“Lo pernah denger nggak sih, tentang konsep kebebasan dari Sartre?” tanya Bayu, membuka percakapan dengan penuh semangat. Dimas yang sedang sibuk dengan makanannya menatap Bayu dengan tatapan sedikit bingung.
“Kenapa lo nanya itu, Bayu? Ada apa?” tanya Dimas, setengah tertawa.
Bayu menghela napas, menatap mereka satu per satu. “Gue lagi mikir soal perasaan gue terhadap Rara. Gue mulai sadar kalau kebebasan kita untuk memilih itu sebenarnya terikat oleh banyak hal. Gue merasa... mungkin kebebasan itu nggak sejelas yang kita kira.”
Riko yang mendengar topik filsafat itu langsung tertarik. “Wah, kalau ngomongin Sartre, berarti kita bahas soal eksistensialisme dong. Menurut lo, Bayu, kebebasan itu sebenernya cuma ilusi atau bener-bener ada?”
Adit yang sedang memainkan sendoknya, ikut menyela. “Gue sih lebih suka kalau kita bahas Plato dulu. Dia kan bilang kalau dunia ini cuma bayangan dari dunia ide, jadi kita nggak pernah bisa benar-benar bebas karena dunia ini penuh dengan ilusi.”
Bayu mengangguk, merasa perdebatan ini mulai mengarah ke arah yang menarik. “Iya, Plato itu menekankan kalau dunia ini penuh dengan penipuan. Jadi, apakah kebebasan itu hanya ilusi kita sendiri? Apakah kita benar-benar punya pilihan?”
Dimas, yang sebelumnya hanya mendengarkan, akhirnya ikut berkomentar. “Gue rasa, kebebasan itu ada, Bayu. Tapi masalahnya, kebebasan itu nggak semudah memilih apa yang kita inginkan. Kadang, kebebasan kita dibatasi oleh kondisi kita, seperti pendidikan, lingkungan, atau bahkan perasaan kita sendiri. Misalnya aja, lo mau deketin Rara, tapi lo merasa nggak yakin, lo ngerasa nggak punya cukup hak untuk bahagia, itu kan kebebasan lo terbatas oleh rasa takut.”
Bayu memikirkan apa yang Dimas katakan. Ia merasa bahwa Dimas punya poin. Mungkin, kebebasan itu memang ada, tetapi ada batasan yang membentuk bagaimana kita memilih untuk bertindak. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. “Tapi, bukannya Sartre juga bilang kalau kebebasan itu terletak pada kemampuan kita untuk memilih, meskipun kita terikat oleh kondisi, kan? Kita tetap bisa memilih untuk bertindak, meskipun dalam keterbatasan itu.”
Adit mendongak, sepertinya mulai tertarik. “Lo mau ngomongin tentang tanggung jawab yang datang dengan kebebasan itu, kan? Karena bagi Sartre, kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab. Kalau lo bebas memilih, lo juga harus siap dengan konsekuensinya.”
Riko mengangguk setuju. “Iya, dan itu yang bikin eksistensialisme itu berat. Lo nggak bisa lari dari pilihan yang lo buat. Lo nggak bisa lari dari konsekuensinya. Kalau lo memilih untuk nggak berani jujur dengan perasaan lo ke Rara, lo bakal tetap terjebak dalam ketakutan lo.”
Bayu terdiam, pikirannya mulai dipenuhi dengan keraguan. “Tapi, apa itu berarti kalau gue terus-terusan menunda, gue nggak bisa bebas? Apa gue harus ngomong ke Rara?”
“Lo harus jujur, Bayu. Kalau lo nggak ngomong, lo bakal terus-terusan hidup dalam bayangan ketakutan lo,” kata Dimas dengan nada serius.
Riko menambahkan, “Itu seperti yang Plato bilang, kan? Kalau lo terus hidup dalam bayangan, lo nggak akan pernah tahu apa yang ada di luar sana. Lo harus keluar dari gua itu, Bayu. Lo nggak bisa terus-terusan ada di zona nyaman lo.”
Adit yang merasa perlu melanjutkan diskusi, menyela. “Kebebasan itu nggak cuma soal lo bisa melakukan apa yang lo mau. Kebebasan itu juga soal lo berani mengambil keputusan, tanpa tergantung pada apa kata orang lain. Lo harus berhenti meragukan diri lo sendiri.”
Bayu terdiam, ia merasa bingung. Di satu sisi, ia ingin sekali keluar dari ketakutannya, tetapi di sisi lain, ia merasa sangat takut untuk mengambil langkah besar. “Tapi, apa yang harus gue lakukan, Dim? Gue nggak tahu harus mulai dari mana. Gue takut kalau gue malah nyakitin Rara.”
Dimas tersenyum, “Makanya, lo harus belajar dari Stoikisme. Kita nggak bisa kontrol semua hal yang terjadi, tapi kita bisa kontrol bagaimana kita meresponsnya. Lo nggak bisa ngubah perasaan orang lain, tapi lo bisa mengubah bagaimana lo menghadapi perasaan lo sendiri.”
“Stoikisme…” Bayu mengulang kata itu dalam hati. “Jadi, lo maksud, gue harus berhenti khawatir tentang apa yang bisa terjadi dan fokus sama apa yang bisa gue kontrol?”
Adit mengangguk. “Betul. Lo nggak bisa kontrol apa yang bakal terjadi setelah lo ngomong ke Rara. Tapi lo bisa kontrol apa yang lo rasain dan gimana lo ngejalanin hidup lo. Lo nggak bisa hidup dengan ketakutan terus, Bayu. Itu bukan hidup.”
Riko menambahkan, “Kebebasan itu datang dengan pilihan, Bayu. Tapi itu bukan pilihan yang datang dari tanpa beban. Lo harus siap dengan konsekuensi apa pun yang terjadi.”
Bayu merasa bahwa semakin lama ia terlibat dalam perdebatan ini, semakin ia merasa semakin dekat dengan pemahamannya. Ia mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Rara bukanlah sesuatu yang harus ia hindari atau takutkan. Ia harus berani, meskipun itu berarti menghadapi konsekuensinya.
Ketika mereka semua selesai makan, Bayu merasa lebih yakin. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi ia tahu satu hal: untuk pertama kalinya, ia harus berhenti takut dan mulai jujur dengan dirinya sendiri. Perasaan itu bukan sesuatu yang bisa terus ia sembunyikan.
“Gue pikir gue tahu apa yang harus gue lakukan,” kata Bayu, sambil tersenyum kepada teman-temannya. “Gue harus ngomong ke Rara.”
Dimas tersenyum lebar. “Akhirnya, bro. Gue yakin lo bisa!”
Riko dan Adit juga mengangguk setuju, memberikan semangat. “Lo pasti bisa, Bayu,” kata Riko.
Bayu berdiri dan menatap mereka semua. “Terima kasih, teman-teman. Gue nggak tahu kalau gue bisa sampai sini. Gue harus belajar lebih banyak lagi, tapi sekarang gue tahu apa yang harus gue lakukan.”