Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Inneke menarik napas panjang sebelum melanjutkan, seolah kembali ke masa-masa yang penuh dengan kebahagiaan. "Setelah Papamu memaafkan kesalahanku, hidup kami terasa lebih ringan, lebih damai. Cinta yang kami miliki—itu bukan cinta yang sempurna, Mitha, tapi cinta yang dibangun di atas pemahaman dan penerimaan. Johan menerima Ronny tanpa pernah mengungkit masa lalu, dan aku... aku berjanji untuk menjadi istri dan ibu yang lebih baik. Ketika kakakmu Teddy lahir, semua terasa semakin lengkap. Kami benar-benar menjadi sebuah keluarga, dan semakin lengkap dengan kehadiranmu. Meskipun kamu tidak lahir dari rahim mama tapi mama menyayangimu sepenuh hati, mama belajar banyak dari papamu untuk mengasihi tanpa syarat"
Mitha bisa melihat kilatan kebahagiaan dan penyesalan di mata Inneke, yang mungkin tidak pernah dia ceritakan pada siapapun sebelumnya. Inneke tampak seolah kembali ke masa-masa ketika hidupnya berjalan penuh dengan harapan dan cinta, sebelum semuanya menjadi rumit.
"Papamu mencintai anak-anaknya, baik itu Ronny maupun Teddy, ataupun kamu" lanjut Inneke dengan suara lebih tenang. "Dan aku hanya ingin melindungi apa yang telah kami bangun bersama. Aku tidak bisa membiarkan rahasia ini menghancurkan segalanya."
Mitha terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Inneke meresap dalam benaknya. Di satu sisi, dia bisa memahami mengapa Inneke ingin menyembunyikan kebenaran. Namun di sisi lain, Mitha tahu bahwa rahasia sebesar ini tidak bisa disembunyikan selamanya.
Akhirnya, dengan suara tenang namun tegas, Mitha berkata, "Aku mengerti, Ma. Aku akan menyimpan rahasia ini. Tapi... akan ada saatnya, Kak Ronny dan Kak Teddy harus tahu yang sebenarnya. Mereka berhak tahu, dan aku berharap ketika saat itu tiba, mereka mendengar semuanya dari Mama sendiri, bukan dari orang lain."
Inneke terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia tahu Mitha benar. Namun, rasa takut untuk menghadapi kebenaran itu masih menghantui dirinya. "Aku... aku tidak tahu apakah aku sanggup," bisiknya.
Mitha mengulurkan tangannya, menggenggam lembut tangan Inneke. "Suatu hari nanti, Mama harus melakukannya. Sebelum rahasia ini menjadi sesuatu yang lebih besar dan menyakitkan. Mereka berhak mendengar kebenarannya langsung dari Mama, bukan dari orang lain yang bisa saja menghancurkan hidup mereka dengan cara yang lebih kejam."
Mendengar kata-kata Mitha, Inneke mengangguk perlahan, meskipun rasa takut masih membayangi wajahnya. "Aku hanya berharap... ketika saat itu tiba, mereka bisa memaafkan aku seperti papamu dulu memaafkan."
Mitha tersenyum tipis, meski hatinya penuh kekhawatiran. "Aku yakin mereka akan mengerti, Ma. Mereka hanya butuh waktu. Tapi lebih baik mereka tahu dari Mama, sebelum semuanya terlambat."
...***...
Suara Teddy yang cukup keras, membuyarkan lamunan panjang Mitha. "Mitha, kita sudah sampai," ucapnya sambil menoleh ke arahnya. Mitha tersentak sedikit, menyadari dirinya terlalu larut dalam pikiran tentang percakapannya bersama Inneke beberapa tahun lalu.
Dia mengangkat pandangannya, melihat gedung Sinar Grup yang berdiri megah di depannya. Perusahaan yang selama ini menjadi bagian dari kehidupannya, dan sekarang dia harus kembali ke posisinya di sana—dalam situasi yang penuh tekanan.
Mitha menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Banyak hal yang telah berubah, termasuk dirinya.
Teddy tersenyum tipis, seolah mencoba menenangkan kecemasan yang tergambar di wajah Mitha. "Kamu siap, kan?"
Mitha menatap Teddy dan mengangguk mantap, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. "Aku siap," jawabnya, walaupun bayangan pertemuan dengan Ronny sudah mulai terasa seperti ancaman yang tak terhindarkan.
"Tidak peduli apa yang Ronny lakukan atau rencanakan, kita akan melewati ini bersama," Teddy menambahkan, seolah membaca kekhawatiran yang menghantui pikiran Mitha. "Aku yakin, kamu bisa melakukannya."
Mitha menarik napas lagi, kali ini lebih dalam. "Terima kasih, Kak Teddy," jawabnya. "Aku akan melakukan yang terbaik. Kita hadapi ini bersama."
Mereka berdua kemudian melangkah keluar dari mobil, memasuki gedung Sinar Grup.
...***...
Saat Mitha dan Teddy melangkah masuk ke lobi Sinar Grup, mereka segera disambut oleh tatapan penasaran para pegawai. Bisik-bisik halus terdengar di antara mereka, sebagian besar mengenali siapa Mitha, putri angkat Johan yang kembali setelah sekian lama. Namun, tatapan itu juga penuh dengan rasa ingin tahu dan kewaspadaan, terutama karena situasi perusahaan yang sedang tidak menentu.
Tak lama kemudian, seorang pegawai terlihat berlari mendekat. "Bu Mitha, Pak Teddy," katanya terburu-buru sambil sedikit terengah-engah. "Pak Ronny meminta Anda berdua untuk segera menemuinya di ruangannya."
Mitha menoleh ke arah Teddy, yang balas menatapnya dengan pandangan waspada. Mereka tahu, ini bukan sekadar pertemuan biasa. Undangan dari Ronny di saat seperti ini, dengan keadaan perusahaan yang sedang dalam transisi, pasti memiliki maksud tertentu.
Teddy mengangguk kecil, mencoba memberi isyarat agar Mitha tetap tenang. "Baik, kami akan segera ke sana," jawabnya tenang, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke Mitha. "Kamu siap?"
Mitha menarik napas panjang, menguatkan dirinya. "Iya," jawabnya, meskipun rasa tegang mulai menguasai perasaannya. Mereka lalu berjalan menuju ruangan Ronny, sadar sepenuhnya bahwa apa pun yang akan terjadi di sana bisa menjadi awal dari konflik yang lebih besar.
...***...
Pegawai itu berjalan di depan, menuntun Mitha dan Teddy melewati lorong-lorong gedung Sinar Grup yang luas dan modern. Setiap langkah terasa berat bagi Mitha. Jantungnya berdetak kencang, mengiringi kecamuk pikiran tentang apa yang akan dihadapinya bersama Teddy di ruangan Ronny. Suasana di sekitar mereka terasa sunyi, seolah semua orang menahan napas menyaksikan apa yang akan terjadi.
Pegawai tersebut berhenti di depan sebuah pintu besar dengan nama "Ronny Adijaya Handoko" yang terukir elegan di plakat logam. Tangannya terangkat ragu-ragu sebelum mengetuk pintu itu perlahan.
“Silakan masuk,” terdengar suara berat dari dalam, suara Ronny yang penuh wibawa dan dingin, seolah sudah menanti mereka sejak lama.
Pintu dibuka, dan pegawai itu memberi isyarat agar mereka melangkah masuk. Mitha menelan ludah, menatap Teddy sejenak sebelum menguatkan dirinya dan berjalan lebih dulu. Teddy mengikuti di belakangnya, wajahnya tegang tapi tetap tenang.
Begitu memasuki ruangan, mereka mendapati Ronny duduk di balik meja kerjanya yang besar, dengan senyum tipis yang tidak menyentuh matanya. Ronny berdiri, memasukkan kedua tangannya ke saku jasnya dan menyapukan pandangannya ke arah mereka, tatapannya tajam namun penuh perhitungan.
“Selamat datang kembali, Mitha. Aku dengar kau akan kembali bergabung dengan perusahaan,” ujar Ronny dengan nada datar, senyum dinginnya masih bertahan di wajah.
Di dalam hati, Mitha tahu, ini bukan pertemuan biasa.
...***...
Mitha menghirup napas dalam-dalam sebelum berbicara. Dia berdiri tegak di depan Ronny, tidak ingin menunjukkan kelemahan sedikit pun. Tanpa banyak basa-basi, dia langsung menatap Ronny lurus dan berkata, “Apa yang kau inginkan memanggil kami ke sini begitu cepat setelah aku tiba?”
Suasana ruangan tiba-tiba terasa menegang. Teddy yang berada di sampingnya, sedikit mengernyit, tak menyangka Mitha akan berbicara dengan nada keras seperti itu.
Sementara Ronny, yang awalnya berdiri dengan tenang, mendadak kehilangan senyum dinginnya. Dia menatap Mitha, lalu tertawa sinis.
“Apa yang aku inginkan?” Ronny mengulangi, langkahnya mendekat perlahan ke arah Mitha, tapi tatapannya tajam menusuk. “Kau benar-benar tidak tahu diri, ya. Berani-beraninya bicara padaku dengan nada seperti itu? Kau hanya seorang anak angkat, Mitha. Jangan lupa asal usulmu.”
Ronny menyipitkan mata, mengejek dengan nada yang dingin. “Kau pikir tempatmu di sini? Kembali ke Indonesia seolah-olah kau punya hak atas perusahaan ini? Sejujurnya, aku tak pernah setuju kau diadopsi oleh papa. Dan sekarang, kau ingin kembali dan mengambil posisi yang bukan milikmu sejak awal?”
Setiap kata yang keluar dari mulut Ronny penuh racun, menyerang harga diri Mitha tanpa ampun. Mitha merasakan hatinya berdesir. Dia menegakkan dagunya, berusaha tetap tenang di bawah intimidasi Ronny.
“Aku di sini karena papa yang menginginkannya. Bukan karena aku ingin mengambil sesuatu darimu" jawab Mitha dengan nada yang dingin tapi terkendali.
"Dan posisiku di sini bukan karena asal usulku, tapi karena kemampuanku. Jika kau punya masalah dengan itu, sebaiknya kau bicarakan dengan papa. Bukan denganku.”
Ronny mendengus, matanya masih menyalang penuh ejekan. “Papa? Kau benar-benar berpikir kau bisa bersembunyi di balik papa selamanya? Jangan terlalu yakin, Mitha. Aku tidak akan membiarkan seorang anak angkat mengambil alih apa yang seharusnya menjadi milikku.”
Teddy, yang sejak tadi hanya mendengarkan, tidak bisa lagi tinggal diam, “Kak Ronny, kau seharusnya tahu kalau asal-usul seseorang tidak menentukan seberapa besar haknya di sini. Kami ada di sini karena papa mempercayai kami. Kau seharusnya lebih menghargai keputusan papa.”
Ronny hanya tersenyum sinis, tak menanggapi Teddy dengan serius. Dia berbalik, kembali ke mejanya, duduk sambil melemparkan pandangan meremehkan pada keduanya.
“Kita lihat saja nanti,” gumamnya penuh ancaman, mengakhiri percakapan dengan hawa dingin yang tak terucap, tapi terasa memenuhi ruangan.
Kenapa Ny Inneke tak segera memberitahu jika dia hanya keponakan pak Johan/ anak sambung? Yang bisa mewarisi harta Pak Johan suatu saat nanti. Aku yakin Pak Johan sudah punya filing dan telah membuat surat wasiat. Untuk ketiga anaknya termasuk Ronny
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina