Menikah dengan lelaki yang dia cintai dan juga mencintainya adalah impian seorang Zea Shaqueena.
Namun impian tinggalah impian, lelaki yang dia impikan memutuskan untuk menikahi perempuan lain.
Pergi, menghilang, meninggalkan semua kenangan adalah jalan yang dia ambil
Waktu berlalu begitu cepat, ingatan dari masa lalu masih terus memenuhi pikirannya.
Akankah takdir membawanya pada kebahagiaan lain ataukah justru kembali dengan masa lalu ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Destiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke tanah air
1 minggu kemudian, setelah memastikan kandungan Zea sehat dan aman untuk perjalanan udara yang memakan waktu 17 jam. Tepat pagi ini Zea dan kedua orang tuanya serta Varro sudah berada di dalam pesawat jet pribadi milik keluarganya untuk kembali ke negaranya, indonesia.
Zea sudah menyetujui untuk menikah dengan Varro. Tama membuat pesta pernikahan untuk putri satu-satunya itu.
Setelah mendengar persetujuan Zea, Tama langsung menghubungi adiknya saat itu juga meminta bantuan untuk segera mengurus segala persiapan pesta pernikahan putrinya selama mereka belum kembali ke tanah air.
Selama satu minggu ini Zea hanya berdiam diri di apartemennya. Papanya dengan tegas melarangnya untuk bekerja agar ia bisa beristirahat sebelum kembali ke tanah air. Zea menurut, ia menyerahkan urusan butiknya pada Lily yang sudah bisa ia percaya.
Begitupun Varro, ia sesekali menemui Zea di unitnya. Selebihnya ia habiskan waktu untuk mengerjakan pekerjaannya.
Di pesawat Zea duduk berdampingan dengan Varro. Sebelumnya Lisa sendiri yang akan menemani Zea. Namun Varro meminta agar ia yang menemani dan menjaga Zea selama perjalanan.
"Mau kemana?" Tanya Varro, saat melihat Zea beranjak dari duduknya.
"Ke toilet."
"Mau aku antar?"
"Aku bisa sendiri." Sahut Zea, kemudian segera pergi meninggalkan Varro.
Sudah 10 menit Zea pergi, namun belum kunjung kembali. Varro yang merasa khawatir segera beranjak menyusul Zea.
pintu toiletnya masih tertutup rapat, Varro mengetuk pintunya seraya memanggil Zea.
cek lek
Zea terkejut mendapati Varro menunggunya dengan raut wajah khawatir. "Kenapa?"
"Kamu kenapa lama? apa ada yang sakit?" Tanya Varro khawatir.
"Aku gak apa-apa." Sahut Zea.
Varro menarik nafasnya lega. "Kalau ada yang sakit langsung katakan, jangan di pendam sendiri."
Zea mengangguk meng-iyakan ucapan Varro.
"Ya sudah, ayo" Varro menggenggam tangan Zea menariknya untuk kembali ke kursi mereka.
"Dari mana Ze?" Tanya Lisa saat berpapasan dengan keduanya.
"Dari toilet ma."
"Ya sudah. Istirahatlah, perjalanannya masih lama." Ucapnya, lalu kembali melanjutkan langkahnya.
.
.
.
Pesawat landing pukul 7 pagi waktu indonesia. Varro mengantarkan Zea sampai ke mobil jemputan Keluarga Zea.
"Ze." Zea menghentikan langkahnya untuk masuk ke dalam mobil. Lalu memutar tubuhnya menghadap Varro.
"Sampai di rumah langsung istirahat ya, jangan pikirkan apapun." Ucap Varro. Mengusap rambut Zea lembut seraya tersenyum. Zea hanya menganggukkan kepalanya.
"Masuklah, hati-hati." Varro berdiri disana hingga mobil yang ditumpangi Zea tak terlihat lagi oleh pandangannya.
Varro menghampiri Mobil yang menjemputnya, lalu masuk. "Langsung ke kantor."
"Apa tidak menemui orang tuamu dulu?" Jimmy bertanya sebelum mengemudikan mobilnya.
"Nanti saja." Ucapnya. Jimmy mengangguk, lalu mulai menjalankan mobilnya menuju perusahaan Varro.
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Varro memilih tidur. Cukup menurutnya istirahat selama perjalanan panjang. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum acara pernikahannya minggu depan.
Sesampainya di perusahaannya, Varro memilih untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu di kamar pribadinya yang ada di dalam ruang kerjanya.
Seharian Varro sibuk dengan berkas - berkas yang menumpuk di mejanya yang perlu ia periksa. Meskipun selama berada di london Varro tetap bekerja, namun tetap saja tidak semua ia kerjakan.
Tok
tok
tok
Varro mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang di ketuk. Lalu terlihat Jimmy masuk dengan membawa berkas di tangannya.
"Akta cerai." Ucap Jimmy, menyerahkan akta cerai Varro yang ia simpan sebelumnya. Varro menerima dan melihatnya sekilas.
"Kapan kalian akan mendaftarkan pernikahan kalian ke kantor urusan agama?" Tanya Jimmy.
"Besok, sekalian mengurus yang lainnya. Apa masih ada berkas yang harus ku periksa?" Tanya Varro.
"Tidak. Sudah beres semua untuk hari ini."
Varro mengangguk lalu melihat jam di tangannya "Satu jam lagi kita pulang."
"Baiklah. Aku keluar dulu." Ucap Jimmy, memutar tubuhnya beranjak keluar dari ruangan Varro setelah mendapat anggukan dari pria itu.
Varro menatap foto dirinya bersama Zea yang ia simpan di meja kerjanya. Itu foto dulu saat mereka masih menjadi sepasang kekasih. Senyum Zea sangat merekah di dalam foto itu. Varro tersenyum nanar. Ia belum berhasil mengembalikan senyum itu.
Varro menarik nafas panjangnya. Lalu kembali melanjutkan pekerjaannya agar cepat selesai.
Pukul 5 sore Varro baru tiba di rumahnya. Kepulangannya langsung di sambut oleh kedua orang tuanya..
"Varro kamu baru pulang? Bukankah seharusnya kamu tiba pagi tadi?" Mamanya langsung memberondongnya dengan pertanyaan.
"Aku langsung ke kantor ma, banyak pekerjaan yang harus aku periksa." Sahut Varro.
"Ma, kita bicara di dalam. Ayo Varro." Varro mengikuti langkah keduanya menuju ruang keluarga.
"Ceritakan mengenai pernikahanmu. Mengapa dadakan sekali? Apa yang terjadi sebenarnya?" Abi bertanya dengan menatap Varro yang berada di hadapannya.
"Aku bingung harus mulai cerita dari mana. Namun yang jelas, aku akan menikahi Zea. Gadis yang sejak awal aku inginkan." Sahut Varro
"Bukankah Zea pergi karena telah kamu kecewakan. Dan sekarang kenapa bisa kalian akan menikah?" Kali ini sarah, mama Varro yang bertanya.
"Beberapa bulan yang lalu aku kembali di pertemukan dengan Zea ma. Semuanya berawal dari kejadian di rumah sakit." Varro mulai menjelaskan dari awal pertemuannya dengan Zea hingga memutuskan untuk menikah.
Sejak dulu, orang tuanya sudah tau hubungannya dengan Zea. Mereka sudah mengenal Zea dengan baik.
Mendengar cerita Varro, Sarah terlihat sangat shok mengetahui kehamilan Zea begitu juga dengan abi, papanya.
"M-mama mau punya cucu?" Ucapnya dengan mata berkaca kaca. Varro mengangguk membenarkan ucapan mamanya.
"Aku mohon jangan menghakimi Zea ataupun berprasangka buruk padanya ma, pa. Aku yakin,ini memang sudah takdir dari tuhan untukku." Ucap Varro. Ia takut orang tuanya akan menilai Zea buruk karena sudah melakukan tindakan diluar batas.
"Pertemukan kami dengan keluarganya. Meskipun sudah jelas akan menikah, namun kami tetap harus melamarnya dengan benar pada orang tuanya." Pinta abi.
"Tentu. Besok kita ke sana."
.
Di kediamannya, Zea baru masuk ke kamarnya setelah makan malam bersama orang tuanya serta adiknya.
drttt
drttt
Dering dari ponselnya menandakan panggilan masuk menghentikan langkah kaki Zea yang akan masuk ke kamar mandi. Zea mengangkatnya setelah melihat nama si pemanggil.
"Halo, Ze?"
Zea terdiam, entah apa yang dia pikirkan sehingga tak menjawab panggilan Varro.
"Ze, apa aku ganggu kamu?" Pertanyaan Varro membuyarkan lamunannya.
"Ah, enggak"
"Besok mama sama papa mau ketemu sama kamu, sama keluarga kamu juga."
"Be-besok?" Tanya Zea memastikan. Ia terlihat gugup mendengar orang tua Varro ingin menemuinya. Zea takut, orang tua Varro tidak menerimanya.
"Iya besok malam."
"Baiklah."
"Jangan lupa besok siang aku jemput ya, kita cari cincin sama-sama."
"Iya"
"Ya sudah, istirahatlah Ze, jangan tidur terlalu malam. Aku tutup telponnya, i love you."
deg
Sambungan telponnya berakhir, namun Zea masih terpaku di tempatnya berdiri. Zea memegang dadanya yang terasa berdebar kencang.
Zea menarik nafasnya mencoba menenangkan dirinya. Lalu meletakan ponselnya kembali di atas meja riasnya. Namun suara dering ponselnya kembali membuatnya mengurungkan niat ke kamar mandi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Siapa kira-kira yang menelpon Zea?