"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Bulan, bangun,," Samar-samar suara itu terdengar berkali-kali. Aku yang masih mengantuk terpaksa membuka mata. Tampak Mas Erik berdiri di samping ranjang. "Sudah subuh, kamu sholat tidak?" Tanyanya.
Aku mengangguk pelan, masih berusaha mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul. Sedangkan Mas Erik beranjak ke kamar mandi. Aku mengambil ponsel dan melihat sudah pukul 4.30. Bisa-bisanya aku tidak mendengar alarm. Padahal sudah aku setting pukul 4 pagi.
Mas Erik keluar dari kamar mandi. Wajah dan rambut bagian depannya terlihat basah.
"Tidak ambil wudhu? Kita sholat berjamaah." Ujarnya tanpa menatap ke arahku. Tangannya sibuk meraih sajadah di atas nakas lalu menggelarnya di lantai.
"Mas Erik duluan saja." Tolak ku. Selama 3 bulan menikah, kami tidak pernah sholat berjamaah. Dulu setelah menikah dan masih tinggal di rumah Bapak, setiap subuh aku selalu bangun lebih awal dan baru membangunkan Mas Erik setelah aku selalu sholat. Aku rasa sholat berjamaah dengan Mas Erik tidak perlu aku lakukan selama menjadi istrinya. Mungkin ini terdengar salah, tapi pernikahan kami tidak sebaik itu sampai harus menciptakan kegiatan bersama yang mungkin hanya akan menjadi kenangan di kemudian hari.
"Hanya sholat berjamaah, kamu juga keberatan?" Tanyanya dengan tatapan menelisik.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Masih sepagi ini tapi kesabaran ku sudah di uji.
"Aku sebenarnya tidak ingin kita selalu memperdebatkan hal-hal sepele, tapi sikap Mas Erik memancingku untuk berdebat." Aku menghela nafas berat. Entah sampai kapan harus menjalani pernikahan yang menguji kesabaran ini. Jika aku yang mengajukan perceraian, maka aku yang akan terlihat salah di depan semua orang dan keluarga. Apalagi Mas Erik dikenal pria baik-baik, peduli pada keluarga dan bertanggungjawab.
"Tolong jangan buat seolah-olah aku yang tidak menginginkan pernikahan ini. Pernikahan kita hanya sebatas status kan? Aku bahkan masih ingat saat Mas Erik memperingatkan ku agar tidak berharap pada pernikahan ini. Jadi mari kita jalani hidup masing-masing. Sama halnya aku yang menghargai keputusan Mas Erik, Mas Erik juga harus menghargai keputusan ku." Pintaku. Aku pergi ke kamar mandi tanpa menunggu respon dari Mas Erik. Lagipula ucapanku sudah sangat jelas, aku yakin Mas Erik sangat paham maksudku.
...*****...
Aku pamit pada Papa dan Erina. Sedangkan Mama ikut pulang bersama kami karna ingin menginap. Tadi saat sarapan, aku dibuat tersedak karna tiba-tiba Mama bilang akan ikut ke rumah Mas Erik selama 1 minggu. Aku pikir Mama tidak akan ikut dengan kami karna sudah menuruti permintaannya untuk menginap di rumah ini. Ternyata Mama tetap ingin menginap di rumah Mas Erik.
Aku sudah panik, karna Mama pasti akan tau jika aku dan Mas Erik tidur terpisah. Tapi Mas Erik cukup pintar, semalam dia menghubungi Bik Asih dan menyuruhnya memindahkan semua barang ku ke kamar utama.
"Mama saja yang di depan, biar Bulan di belakang." Ujarku sembari membukakan pintu depan.
"Mama tidak mau duduk di samping suami orang, ayo masuk, Mama mau di belakang." Sahut Mama sambil terkekeh kecil. Aku tersenyum kaku dan bergegas masuk karna Mama sudah membuka pintu belakang.
Suasana di dalam mobil cukup hangat karna Mama selalu mengajak kami mengobrol, tak jarang dia meledek Mas Erik seolah-olah Mas Erik bukan anak kandungnya. Mama benar-benar memperlakukan aku seperti anak kandungnya sendiri.
"Mama perhatikan, kalian belum pernah bulan madu sejak menikah? Benar kan?" Mama Sampai menatapku dengan serius melalui kaca spion.
Aku melirik ke samping, bermaksud menyerahkan jawabannya pada Mas Erik. Untungnya Mas Erik melihat ke arahku dan paham arti lirikan ku tadi.
"Bulan madu tidak cukup 2 atau 3 hari Mah. Sedangkan aku dan Bulan sama-sama sibuk, belum ada waktu yang pas. Lagipula bulan madu tidak terlalu penting, setiap hari kita bertemu di rumah, itu sudah lebih dari bulan madu." Ujar Mas Erik menjelaskan.
Aku sampai melotot mendengar penjelasan Mas Erik. Pria itu memang pintar bermain kata. Apa yang keluar dari mulutnya, pasti akan di tanggapi dan diterima baik oleh lawan bicaranya. Terbukti saat ini Mama terlihat menahan senyum, sepertinya Mama berfikir yang tidak-tidak.
"Baguslah kalau begitu. Tapi kalian harus lebih rajin lagi, Mama sudah tidak sabar ingin menggendong cucu." Mama seperti berharap kami segera memiliki anak. Aku hanya bisa meringis pilih dalam hati. Mama mertua sebaik ini harus aku bohongi, rasanya aku sangat keterlaluan. Aku yakin jika rumah tangga aku dan Mas Erik berakhir, kedua orang tua kami yang akan hancur dan kecewa.
"Mama jangan bicara aneh-aneh, nanti Bulan jadi canggung." Tegur Mas Erik pelan. Dia sempat melirik ke arahku.
Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Mas Erik. Seharusnya dia merasa bersalah pada kedua orang tuanya karna membohongi mereka. Tapi Mas Erik terlihat biasa-biasa saja seolah tidak melakukan kesalahan.
...*****...
Mas Erik menghentikan mobilnya di pelataran perusahaan tempatku bekerja. Mama dan Mas Erik mengantarku ke perusahaan lebih dulu. Aku segera turun, begitu juga dengan Mama karna akan pindah duduk di depan.
"Bulan kerja dulu Mah, maaf karna tidak bisa menemani Mama di rumah." Aku meraih tangan Mama dan mencium punggung tangannya.
"Tidak apa-apa Bulan, lagipula ada Bik Asik." Ujar Mama. Aku mengangguk lega dan pamit ke dalam. Namun ucapan Mama membuatku menghentikan langkah.
"Bulan, kamu lupa cium tangan Erik?"
Aku berbalik dan menatap Mas Erik dari pintu mobil sebelah kiri yang masih terbuka. Mas Erik hanya diam saja tanpa berusaha memberikan penjelasan pada Mama agar aku tidak perlu mencium tangannya.
"Kamu keluar dong Rik! Isteri mu pamit bukannya ikut turun malah diam saja di situ." Tegur Mama.
"Iya, iya. Mama kenapa berubah jadi ibu tiri semenjak ada Bulan." Mas Erik menggerutu sembari keluar dari mobil dan menghampiri ku.
Dia mengulurkan tangannya lebih dulu. Aku terpaksa meraih tangan Mas Erik dan hanya menempelkan punggung tangannya di pipi.
Setelah melepaskan tangannya, Mas Erik tiba-tiba menangkup kedua pipiku dan mendaratkan kecupan di kening. Aku mematung, hampir saja ingin mendorong tubuh Mas Erik, tapi menahan diri karna ada Mama.
"Bukan hanya cium tangan, tapi cium kening juga. Mama sudah puas?" Seloroh Mas Erik dengan ekspresi datar tanpa rasa bersalah.
Aku melotot kesal dan menginjak kakinya tanpa sepengetahuan Mama. Aku sengaja berdiri sedikit di depan Mas Erik untuk menyembunyikan kaki kiri Mas Erik yang sedang aku injak sekuat tenaga.
"Memang suami istri harus romantis seperti itu." Sahut Mama dengan senyum bahagia.
"Bulan, sakit!" Bisik Mas Erik. Dia berusaha meloloskan kakinya, tapi aku tidak membiarkannya lepas begitu saja.
"Rasakan! Salah siapa berani cari kesempatan!" Sahut ku nyaris tidak membuka mulut agar Mama tidak curiga.
"Bulan ke dalam dulu Mah, Assalamu'alaikum." Aku berlalu setelah menginjak lagi dengan kuat untuk terakhir kalinya.
Mas Erik sampai berteriak pelan.
"Waalaikumsalam." Mama dan Mas Erik menjawab salam bersamaan.
"Semangat ya kerjanya, nanti pulangnya aku jemput." Ujar Mas Erik percaya diri. Aku tidak menghiraukannya dan bergegas masuk ke gedung perusahaan.
ktagihan y 😄
gᥲ⍴ᥲ⍴ᥲ ᥣᥲᥒ mᥲkіᥒ һᥲrі mᥲkіᥒ ᥱᥒᥲk k᥆kk 😁🤭 ძ᥆ᥲkᥙ sᥱm᥆gᥲ kᥲᥣіᥲᥒ ᥴᥱ⍴ᥲ𝗍 ძі kᥲsіһ m᥆m᥆ᥒgᥲᥒ ᥡᥲ.. ᥲᥲmііᥒ