Sinar Rembulan

Sinar Rembulan

Bab 1. Goresan luka

Rembulan bersinar terang, memancarkan cahaya yang mampu menerangi gelapnya malam. Angin terasa berhembus kencang menerpa permukaan kulit wajahku saat berdiri di depan jendela kamar yang terbuka lebar. Malam ini begitu sunyi, hamparan tanaman di halaman samping rumah menambah ketenangan dalam sunyinya malam. Namun tidak dengan pikiranku yang penuh dengan kemelut keraguan.

Denting jam terus berputar, terdengar dari suaranya di tengah keheningan. Ku lirik jam dinding, waktu menunjukkan pukul 1 dini hari. Sudah 3 jam aku terjaga, sibuk dengan pikiran yang menguasai jiwa.

Ku tutup jendela kamar, pijakan kaki di lantai terasa begitu dingin di telapak kaki. Ku langkahkan kaki menuju kamar mandi di dalam kamar sederhana ini. Suara gemercik air begitu menggema saat mengambil wudhu. Daripada sibuk dengan pikiran yang berkemelut, lebih baik mencurahkan segala kerisauan hati pada sang pemilik kehidupan. Yang menulis scenario atas semua makhluk hidup di muka bumi. 

Aku sudah sempat tertidur 3 jam lalu, namun dering ponsel membuatku terbangun. Keputusan untuk menerima panggilan telfon pukul 10 malam tadi sempat meninggalkan sesal. Seandainya aku tidak mengangkatnya, mungkin segala perasaan yang berkecambuk tak akan singgah dalam benakku. 

"Assalamu'alaikum. ada apa Mas Erik.?" Ku sapa ramah pria di seberang sana. Bukan bermaksud menarik perhatian dengan keramahanku, namun pembawaanku sudah seperti ini sejak dulu. Mungkin keramahan itu pula yang membuatku gampang berbaur dan punya banyak teman.

"Bulan, jangan terlalu berharap dengan pernikahan kita. Aku menyetujui perjodohan ini karna tidak mau melukai perasaan kedua orang tuaku."

Suara bariton Mas Eric begitu menggema di telinga. Suaranya penuh penekanan dan syarat akan peringatan. Mungkin agar aku tak melupakan ucapannya.

Sempat terkejut, mataku mengerjap beberapa kali untuk mencerna ucapannya. Bisa saja aku salah dengar dalam posisi kesadaran yang belum sepenuhnya berkumpul karna baru bangun tidur. Namun perkataan Mas Erik selanjutnya membuatku sadar bahwa pendengaranku tak keliru. 

"Aku memiliki kekasih yang tidak mungkin aku tinggalkan. Kami berdua saling mencintai dan punya impian untuk menikah."

Tuturnya begitu gamblang tanpa rasa bersalah. Tidakkah dia berfikir bahwa ucapannya bisa melukai perasaanku.? Meski belum ada cinta di antara kami. Sebab pernikahan kami tinggal menghitung hari.

Aku hanya bisa tersenyum getir tatkala ucapannya sedikit menggores hati. Sebagai calon istrinya, harga diriku begitu terluka atas penolakan yang hanya berani di ucapkan padaku. Kalau memang sudah memiliki wanita pilihan sendiri, kenapa harus menyetujui perjodohan ini dan membuatku terlihat menyedihkan di matanya.

Mungkin dia pikir, aku langsung menerima perjodohan ini tanpa ada perang batin. Hingga kata demi kata menyakitkan begitu mudah terucap dari bibirnya.

Sesaat aku terjerembab dalam pusara kecewa, namun detik berikutnya aku mencoba tenang. Ini baru permulaan, aku tak akan menunjukkan sikap nelangsa di depannya.

"Aku mengerti. Aku pastikan pernikahan kita tak akan menganggu kisah percintaan kalian.!" Suara tegasku berbanding terbalik dengan kegelisahan yang menyelimuti. Pengakuannya cukup mengagetkan, mungkin aku hanya perlu waktu untuk terbiasa. Sebab, kedepannya pasti akan lebih banyak lagi pengakuan yang dia buat tentang kisah cintanya dengan wanita itu.

"Hallo.? Mas Erik mendengar ku bukan.?" Tegur ku kala hanya ada keheningan di seberang sana.

"hemm." Singkatnya datar.

"Kalau begitu aku matikan telfonnya. Assalamu'alaikum.!"

Tut.!

Aku menutup telfon sebelum Mas Erik menjawab salam. Lagipula pria itu memang jarang sekali menjawab salamku.

Percakapan itu yang akhirnya membawaku dalam kerisauan. 

Sajadah sudah terbentang di atas lantai menghadap kiblat. Ku pakai mukena putih yang dipenuhi bordir warna cream pada bagian bawah dan kepala. Mukena yang di bawa oleh rombongan keluarga Mas Erik saat melamar ku 1 minggu lalu.

Segera ku tunaikan dua rakaat setelah membuang jauh-jauh bayangan percakapanku dengan Mas Erik 3 jam lalu. Menyesakan dada.

Sebuah do'a ku panjatkan, di iringi keheningan malam. Membuat ku begitu khusyuk memanjatkan do'a terbaik untuk diijabah oleh sang pemilik kehidupan.Tak banyak inginku, cukup di beri kebahagiaan yang selalu menyertai di setiap langkahku.

Di akhiri dengan lantunan ayat suci, ku sudahi ibadah yang mampu menenangkan hati dan jiwa. Kini tak ada lagi kerisauan, akan ku ikuti kemanapun takdir membawa raga ini. 

...*******...

Pagi itu mentari bersinar cerah. Udara di sekitar rumah berhembus sejuk. Keriuhan sudah terjadi sejak 2 jam lalu, saat tetangga dan anggota keluarga mulai berdatangan satu persatu memenuhi tenda pelaminan di halaman rumah.

Di kamar yang sudah disulap sedemikian rupa untuk kamar pengantin, aku berteman dengan segala kerisauan hati. Pikiran kembali berkecambuk menjelang detik-detik ijab kabul.

Pernikahan bukan lelucon yang bisa di permainkan. Ijab kabul akan di saksikan oleh banyak orang dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan sang Pencipta. Janji suci itu teramat sakral. Apa jadinya jika aku dan Mas Erik menjalani pernikahan ini dengan tujuan yang sudah jelas, yaitu mempermainkan pernikahan. Sebab, Mas Erik akan tetap menjalin hubungan dengan wanita lain setelah pernikahan ini.

"Bulan, ayo keluar. Penghulunya sudah datang." Talia, sepupuku masuk ke dalam kamar dan mengajakku keluar.

Dia membatu mengangkat ekor kebaya yang aku kenakan. Menyusuri rumah yang hari ini sangat sesak di penuhi keluarga yang ingin menyaksikan pernikahan konyol ku dengan kekasih wanita lain.

"Jangan ke pelaminan dulu, tunggu sampai Erik selesai ijab kabul." Suara itu berasal dari wanita cantik berbalut kebaya cream yang telah melahirkan ku.

Beliau menuntunku duduk di teras rumah, agar bisa menyaksikan Mas Erik mengucap ijab kabul dari kejauhan.

Perhatian sebagian tamu tertuju padaku. Pujian demi pujian silih berganti. Aku terlihat begitu cantik dan sempurna di depan mereka, hingga semuanya begitu bahagia menjadi saksi pernikahan ini. Tanpa mereka tau, aku sedang mengkhawatirkan nasibku setelah menjadi istri Mas Erik nanti.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Sinar Rembulan binti Abdul Aziz dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai.”

Mas Eric begitu lantang dan lancar mengucapkan ijab kabul. Jujur, hatiku sempat bergetar kala pria tampan itu melirik ke arahku sesaat setelah menyelesaikan ijab kabul. Pandangan kami bertemu, namun sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tatapan mata kami terputus kala saksi dan tamu undangan mengucapkan 'Sah'.

Detik itu juga, aku resmi menjadi istrinya. Istri dari seorang pria tampan yang di anggap sempurna dan baik oleh keluarga kami.

"Bulan, ayo samperin suami kamu." Suara haru Ibu membuyarkan lamunan. Aku di bantu untuk berdiri dan dibawa mendekat pada Mas Erik yang masih duduk di depan penghulu, Bapak dan saksi.

Ku paksakan senyum untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi dalam perjodohan kami. Mereka hanya melihat bahwa aku dan Mas Erik bahagia dengan pernikahan ini. 

Terpopuler

Comments

Kotin Rahman

Kotin Rahman

Hadir Thoorr.....msti telatt, Rembulan kmu harus kuat tunjukan klo kmu wanita yg tk mudah di tindas dan brharap jngn sampe erik mnyentuh ato minta haknya sbgai suami laknat tuh....kmu jlni prjodohan hnya sbgai tanda baktimu trhadap org tua dan buktikan bhwa kmu bisa sukses Bulan 💪💪💪💪

2024-12-07

3

Eka ELissa

Eka ELissa

untung buka PP mu Mak...lok GK psti ktinggln lgi.... di promoin di novel yg udh tamat dong Mak...biar pmbaca lngsung ikutan baca

2024-12-08

2

Aan

Aan

Good luck Thor....
yakin asik ini ceritanya meski akan menguras emosi jiwa.

2024-12-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!