Sequel Belenggu Cinta Pria Bayaran.
Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 - Galau Sekeluarga.
"Dia kenapa?"
"Entahlah, pubertas mungkin."
Ibra asal menjawab, sudah larut malam dan Mikhail masih mondar mandir mandir di halaman depan rumahnya. Kanaya kembali dibuat bingung setelah sebelumnya dia merasa lebih baik dengan perubahan putranya.
"Pubertas? Orang dia udah 28 puber apanya ... hampir expired iya."
Kanaya kerap kali tak habis pikir dengan Ibra yang suka sekali asal bicara. Dia memahami putranya, Mikhail semudah itu berubah dan bisa dipastikan saat ini ada sesuatu yang mengacaukan pikirannya.
"Sudahlah, Nay, umur segitu memang sedang gila-gilanya ... kamu kan pernah muda juga, Sayang," tutur Ibra menghela napas pelan, sudah lama tidak memantau apa yang putranya lakukan dari atas balkon seperti ini.
"Kamu kali yang gila, aku mah enggak ya."
"Oh iya? Bukannya kamu juga gila?" Ibra terkekeh jika dia mengingat bagaimana mereka masih muda.
"Enak aja, enggak ya!! Aku waras."
Kanaya paham arah pembicaraan Ibra, tentu saja dia hendak mengungkit masa lalunya. Pertemuan awal mereka dan itu sangat-sangat memalukan jika dia ingat kembali.
Keduanya memang tak muda lagi, namun Kanaya masih tampak awet muda bahkan terkadang orang tidak percaya dia sudah memiliki putra sedewasa Mikhail.
Perasaan mereka tidak berubah, kian lama cintanya seakan bertambah. Seiring dengan pertumbuhan buah hati mereka yang sama-sama beranjak dewasa, Kanaya dan Ibra masih memegang rekor pasangan paling romantis di antara teman-temannya.
Meski, keduanya kerap kali dibuat sakit kepala lantaran kedua putranya masih kerap baku hantam. Dan lebih menyebalkannya lagi, alasan bertengkar mereka hampir sama setiap waktunya.
"Ck, apa kita jodohkan lagi saja, Nay?"
Kanaya menggeleng sembari menghela napas pelan, tak ingin dia kembali mengulang hal yang sama seperti dulu. Ketar-ketir pada hari pertunangan dan menghebohkan seluruh keluarga bahkan membuat Mahatma masuk rumah sakit akibat ulahnya.
"Kenapa?"
"Watak Mikhail tu keras dan aku nggak mau ada drama kabur-kaburan seperti dulu."
"Mungkin waktu itu dia masih belum bisa menerima dan dalam otaknya hanya ada Sera dan Sera."
Ibra khawatir sebenarnya, senakal-nakalnya dia kala muda tapi tidak segila Mikhail yang bahkan membawa seorang wanita ke kantornya. Putranya pikir Ibra tidak mengetahui hal itu, Ibra memilih diam lantaran tidak menginginkan menantu seperti wanita yang dijadikan pemuas putranya.
"Nggak, Mas ... cukup sekali dia buat keluarga kita malu, untung calon besan kita dulu Lorenza ... bayangin kalau kolega kamu di luar sana."
Memang masih ada kata untungnya, saat itu meski Mikhail menciptakan huru-hara yang bahkan membuat Ibra naik darah, akan tetapi Lorenza justru minta maaf karena merasa salah dia yang nekat menjodohkan putrinya bersama Mikhail.
"Tapi sampai kapan dia begitu, Nay ... kamu lihat saja makin hari putra kita makin tidak jelas," ujar Ibra menatap tak tega Mikhail di bawah sana.
Tampak frustasi dengan rambut acak-acakan sembari sesekali menendang angin. Entah masalah apa yang tengah pria itu hadapi, rasanya tidak mungkin jika berkaitan dengan pekerjaan karena sudah Ibra pastikan semua baik-baik saja.
"Mana aku tau, kamu seharusnya yang tau kan kamu papanya." Kanaya berdecak kesal lantaran Ibra memang sepertinya ngajak ribut.
"Mikhail!!"
"Hah?"
Panggilan Ibra cukup kuat dan menyadarkan pria itu. Mikhail mendongak dengan tatapan penuh tanya kenapa mereka berada di atas sana.
"Ada masalah apa? Bukankah semua sudah selesai dengan baik, Mikh?"
"Ti-tidak ada, aku hanya cari angin, Pa."
Alasan paling tidak masuk akal, padahal kamarnya begitu sejuk dan nyaman. Kalaupun dia butuh angin segar jendela kamarnya tinggal dibuka lebar-lebar.
"Masuk, Mikhail ... sampai kapan kamu mondar mandir di sana."
"Iya, Ma."
Kanaya berucap dengan nada sedikit memaksa, pria itu memang kadang sedikit aneh. Dia tidak membantah perintah sang mama, Mikhail benar-benar masuk meski dirinya masih sangat ingin berada di luar.
-
.
.
.
Dengan langkah gontai Mikhail berlalu meniti anak tangga, dan kala melewati kamar adiknya hati pria itu terketuk untuk masuk lantaran alunan musik melow itu terdengar halus di telinganya.
"Dasar gila, keraskan lagi, Syakil! Kalau perlu sampai tetangga bisa dengar."
Suara musik itu benar-benar menggema kala Mikhail berhasil masuk ke kamar adiknya. Pria itu bersandar dengan buku yang dia letakkan di atas wajahnya sebagai penghalang cahaya.
"Ck, kakak mau apa ke kamarku? Mama ketar-ketir dari tadi, mabok lagi? Iya kan?" Syakil asal menebak dan kini mengembalikan buku itu ke tempat seharusnya.
"Sembarangan! Aku tidak segila itu." Mikhail menutup pintu dan kini menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur Syakil.
"Dasar kotor, bajumu keringat semua gila!!"
"Ck, aku tidak sekotor itu, Syakil."
Dia menatap langit dan kembali melajutkan kegalauan setelah sebelumnya terganggu oleh orang tuanya. Ada hal yang sangat sulit Mikhail ungkapkan kali ini, kenapa dia harus datang di waktu yang tidak tepat seperti tadi.
"Aku suka lagunya, ulang lagi Syakil."
"Hm? Tumben suka lagu yang begini, biasanya telingamu sakit mendengarnya."
Sedikit aneh namun Syakil menuruti kehendak sang kakak yang kembali ingin mendengarkan lagu solois terkenal itu.
"Syakil ... boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Mikhail dengan suara datarnya, biasanya sang kakak hanya bisa marah dan masuk untuk membuatnya naik darah. Akan tetapi, kali ini sepertinya berbeda.
"Hah? Boleh, tanyakan saja." Baru kali ini kakaknya butuh informasi, biasanya justru terbalik.
"Menurutmu, mencintai pacar orang itu salah tidak?"
"What? Pertanyaanmu berbobot sekali, Bos." Dia mengejek pertanyaan Mikhail yang seakan tak sesuai umurnya. Hal semacam itu harusnya dia pahami sendiri tanpa perlu bertanya lebih dulu.
"Jawab saja apa salahnya?" Mikhail berdecak kesal lantaran Syakil tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Menurutku jika hanya mencintai pacar orang sepertinya tidak masalah, selagi tidak merusak kebahagiaannya."
Dia menarik sudut bibir begitu tipis kala mengutarakannya. Pertanyaan Mikhail seakan menjelaskan bagaimana dia saat ini, mencintai sesuatu yang bukan haknya.
"Kalau sudah terlanjur merusak kebahagiaan mereka bagaimana?"
"Ya tanggung jawab ... jika sampai di titik itu artinya bukan lagi sekadar mencintai, tapi merebut."
Mikhail menekan setiap kata-katanya, entah kenapa dia mendadak emosi lantaran sejak dahulu hal yang tidak pernah berhasil dia lakukan ialah merebutnya.
"Benar, kita harus tanggung jawab, kan?!" seru Mikhail bangkit dari tidurnya tiba-tiba. Entah kenapa kebiasaan sekali mengejutkan seperti ini.
"Kita? Mungkin Kakak saja, aku tidak pernah merusak hubungan orang!!" sentaknya merasa terhina lantaran Mikhail begitu semangat seakan Syakil sejenis dengannya.
"Cupu, kalau memang lelaki sejati lakukan saja. Tidak selamanya merusak itu hal buruk, Syakil."
"Dimana-dimana yang namanya merusak itu buruk, tapi tunggu ... ngomong-ngomong, hubungan siapa yang Kakak rusak?" Tiba-tiba penasaran dan ini adalah kali pertama Mikhail memperlihatkan perihal hatinya pada Syakil.
"Kamu tidak perlu tau, ini urusan orang dewasa." Dia berlalu setelah membuat tempat tidur Syakil tak beraturan.
"Dia yang jatuh cinta tapi yang kena imbas serumah." Berusaha sabar dan memungut selimut dan guling yang kini tergeletak di lantai.
Tbc