Di jantung kota Yogyakarta, yang dikenal dengan seni dan budayanya yang kaya, tinggal seorang wanita muda bernama Amara. Dia adalah guru seni di sebuah sekolah menengah, dan setiap harinya, Amara mengabdikan dirinya untuk menginspirasi siswa-siswanya melalui lukisan dan karya seni lainnya. Meski memiliki karir yang memuaskan, hati Amara justru terjebak dalam dilema yang rumit: dia dicintai oleh dua pria yang sangat berbeda.
Rian, sahabat masa kecil Amara, adalah sosok yang selalu ada untuknya. Dia adalah pemuda yang sederhana, tetapi penuh perhatian. Dengan gitar di tangannya, Rian sering menghabiskan malam di kafe-kafe kecil, memainkan lagu-lagu yang menggetarkan hati. Amara tahu bahwa Rian mencintainya tanpa syarat, dan kehadirannya memberikan rasa nyaman yang sulit dia temukan di tempat lain.
Di sisi lain, Darren adalah seorang seniman baru yang pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan tatapan yang tajam dan senyuman yang memikat, Darren membawa semangat baru dalam hidup Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon All Yovaldi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 _Pertemuan Yang Tak Terduga
Hari itu, Amara melangkah penuh semangat menuju kafe tempat dia dan Darren janjian. Dengan hati yang berdebar-debar, dia berharap bisa mendapatkan ide baru untuk proyek seni mereka. Kafe itu terletak di sudut jalan kecil, dikelilingi tanaman hijau yang rimbun. Suasana di sana selalu bikin betah, apalagi kalau ada musik akustik yang mengalun lembut.
Sesampainya di kafe, Amara melihat Darren sudah menunggu di meja dekat jendela, mengaduk kopi sambil memandangi pemandangan luar. Wajahnya tampak serius, tapi begitu dia melihat Amara, senyum lebar langsung menghiasi wajahnya. "Hey, datang juga akhirnya!" ucap Darren sambil melambaikan tangan.
"Maaf, ada sedikit urusan yang harus diselesaikan. Gak enak juga kalau telat, kan?" jawab Amara sambil mengatur napas. Dia segera duduk di depan Darren.
"Enggak apa-apa, santai aja. Yang penting kita bisa brainstorming untuk proyek ini!" Darren berkata dengan semangat. Dia mengarahkan jari telunjuknya ke tumpukan kertas dan pensil warna yang ada di meja. "Aku udah punya beberapa ide yang bisa kita diskusikan."
Mata Amara berbinar mendengar itu. "Wah, penasaran banget! Ide apa yang kamu punya?"
Darren mulai menjelaskan konsepnya, dan Amara tak bisa menahan diri untuk terlibat dalam obrolan. Mereka berbicara dan tertawa, menggali ide-ide kreatif untuk proyek seni mereka. Di tengah-tengah pembicaraan, Amara menyadari betapa mudahnya mereka berkomunikasi. Seolah-olah mereka sudah kenal lama, meski baru bertemu beberapa kali.
"Nah, kita bisa bikin instalasi yang menggambarkan perjalanan hidup, dengan menggabungkan gambar dan objek yang merepresentasikan momen-momen penting," kata Darren, sambil melukis sketsa di kertas.
Amara mengangguk setuju. "Keren! Itu bisa jadi sesuatu yang unik. Kita bisa minta bantuan siswa juga, supaya lebih banyak yang terlibat."
Saat mereka semakin asyik, Amara tidak bisa menghilangkan pikiran tentang Rian. Dia tahu sahabatnya itu pasti merasa aneh melihat Amara begitu dekat dengan Darren. Rian selalu jadi orang pertama yang mendukungnya, dan sekarang dia merasakan ketegangan yang aneh. Namun, di sisi lain, dia juga tidak bisa mengabaikan ketertarikan yang tumbuh dalam dirinya terhadap Darren.
"Eh, Mara! Kamu udah siap buat pertemuan berikutnya?" tanya Darren tiba-tiba, mengeluarkan Amara dari lamunannya.
"Pertemuan? Oh iya! Kapan kita rencanakan?" Amara bertanya, mencoba fokus kembali.
"Bagaimana kalau kita ajak beberapa teman untuk brainstorming di taman? Suasananya bakal lebih asik," Darren menjawab, matanya bersinar penuh semangat.
"Ide yang bagus! Kita bisa ajak Rian juga, dia pasti senang," Amara berkata, namun di dalam hatinya, dia merasakan sedikit kegugupan. Bagaimana kalau Rian merasa tersisih?
Setelah beberapa jam yang penuh dengan obrolan dan tawa, mereka pun menyelesaikan rencana untuk pertemuan di taman. Amara beranjak untuk pulang, meninggalkan kafe dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa hubungan ini bisa jadi lebih rumit dari yang dia duga.
---
Keesokan harinya, Amara mengundang Rian untuk ikut dalam pertemuan di taman. Dia berusaha menjaga suasana tetap ceria. "Rian, kita mau ngadain brainstorming di taman besok. Aku, kamu, dan Darren!" ungkapnya semangat.
Rian mengangkat alisnya. "Darren? Oh, jadi kamu udah deket sama dia ya?" tanyanya, nada suaranya terasa sedikit mengintimidasi.
Amara merasakan tekanan. "Gak gitu, Ri. Kita cuma kerja bareng untuk proyek seni," jawabnya, berusaha meyakinkan. "Kamu juga pasti bakal senang, kan? Kita bisa jadi tim yang solid."
"Ya, ya. Oke deh, aku ikut," jawab Rian, meski wajahnya tampak sedikit ragu. Amara merasa sedikit lega, tapi di satu sisi, dia tahu Rian pasti merasa tidak nyaman.
Hari pertemuan pun tiba, dan Amara merasa gugup. Dia ingin semuanya berjalan lancar. Di taman, suara burung berkicau dan angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin segar. Amara datang lebih awal untuk mempersiapkan semuanya, berharap bisa menciptakan suasana yang nyaman.
Tak lama setelah itu, Darren datang, membawa sketsa dan beberapa alat gambar. "Hey, Mara! Keren banget taman ini!" serunya saat melihat sekeliling.
Amara tersenyum. "Iya, kan? Tempatnya asik buat brainstorming."
Setelah beberapa menit, Rian pun tiba. "Sorry, telat. Ada sedikit macet di jalan," ujarnya sambil tersenyum canggung.
Mereka bertiga duduk di bawah pohon rindang, dan Darren mulai menjelaskan ide-ide yang sudah dia siapkan. Amara melihat Rian yang mendengarkan dengan serius, meski dia merasakan ketegangan di udara. Rian tampak berusaha tersenyum, tetapi Amara bisa merasakan ketidaknyamanan di antara mereka.
"Jadi, kita bisa bikin instalasi yang menggambarkan pengalaman hidup dengan visual yang kuat. Mungkin bisa ada elemen interaktif juga," jelas Darren dengan bersemangat.
Rian mengangguk, tapi wajahnya terlihat tegang. "Itu ide yang bagus. Tapi kita harus pastikan semua orang terlibat. Jangan sampai ada yang merasa terpinggirkan," katanya dengan nada serius.
Amara merasa sedikit tertekan. Dia ingin semuanya berjalan baik, tetapi ketegangan antara Rian dan Darren semakin terasa. "Iya, betul. Kita bisa bagi tugas, jadi semua orang punya peran dalam proyek ini," ujarnya mencoba meredakan suasana.
Darren terlihat sedikit bingung, tetapi dia tetap bersikap profesional. "Oke, mari kita bikin daftar tugas. Kita bisa bagi menjadi beberapa bagian, seperti sketsa, desain, dan pembuatan instalasi," katanya sambil mencatat di kertas.
Semua berjalan lancar hingga mereka mulai membahas detail-detailnya. Amara merasa sedikit lebih lega saat melihat Rian mulai berpartisipasi lebih aktif. Mungkin, ini adalah kesempatan bagi mereka bertiga untuk saling mengenal lebih baik.
Setelah berjam-jam brainstorming, suasana mulai membaik. Tawa dan canda pun muncul kembali, dan Amara merasa senang bisa menghabiskan waktu dengan keduanya. Namun, dia juga merasakan dorongan hati yang aneh. Dia mencintai dua orang yang sangat berbeda, dan ini akan menjadi dilema tersendiri.
Saat matahari mulai terbenam, mereka memutuskan untuk pulang. Rian terlihat lebih ceria dan tidak setegang sebelumnya. Amara merasa lega, tapi dia juga tidak bisa menghilangkan pikiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ketika mereka berjalan kembali, Amara memutuskan untuk sedikit mengubah suasana. "Eh, guys! Kenapa kita tidak mampir ke warung kopi dekat sini? Aku traktir," tawarnya, berusaha membangun semangat.
Darren tersenyum lebar. "Wah, seru! Aku setuju!"
Rian mengangguk setuju meski wajahnya menunjukkan sedikit kekhawatiran. "Oke deh, aku ikut."
Di warung kopi, suasana semakin santai. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling mengenal lebih dekat. Amara merasa senang bisa bersama keduanya, tetapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini hanya awal dari perjalanan yang lebih rumit.
Akhirnya, saat malam tiba, mereka berpisah dengan janji untuk bertemu lagi. Amara pulang dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa cinta bisa jadi indah, tetapi juga penuh dengan komplikasi. Dan, di hadapan dua hati yang mencintainya, dia harus menemukan cara untuk memilih tanpa menyakiti salah satunya.
Dengan tekad baru, Amara mengingat satu hal: cinta tidak selalu harus dalam bentuk satu hati. Terkadang, mencintai dua hati bisa jadi pilihan yang lebih sulit, tetapi mungkin juga menjadi perjalanan yang tak terlupakan.
...----------------Happy reading--------------- ...
Nah guys Menyimpang Hatinya, Atau kerap kali Kita sebut "Sasimo" iya ngak😅😅
Buat kalian yang baca Cukup Satu aja Ya!!
Jangan Seperti Amara Dalam Kisah Ini!!
#Jangan ya dek ya!
Ok Next part........
semangat berkarya../Determined//Determined//Determined/