HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
"Siapa? Pacar kamu yang waktu itu?"
Kanaya terperanjat kaget, suara itu membuatnya spontan mengelus dada. Gibran duduk santai di sofa ruang tamu sembari menatap fokus benda pipih di tangannya.
Memilih untuk tak peduli, Kanaya terlalu pusing jika harus menghadapi pria sinting itu juga. Perusak suasana dan penambah beban yang membuatnya kerap terjebak fitnah Khaira lantaran sikapnya masih curi-curi kesempatan untuk bisa bicara pada Kanaya.
"Ck, Kanaya!"
Merasa diabaikan, pria itu segera berlari mengejar langkah Kanaya. Berhasil mendapatkan pergelangan tangan dan menghempasnya dengan kasar.
"Jangan cari gara-gara, kamu tau kan istri kamu itu bagaimana?"
Mata Kanaya masih merah, dan dia menatap tajam Gibran dengan sejuta dendam di sana. Sakit sekali sebenarnya, hanya karena hal sepele Gibran meluapkan sakit hati dengan cara yang begini pada Kanaya.
"Kamu nangis lagi, Kanaya? Khaira sedang pergi, di sini hanya ada kita berdua."
Tak puas dengan menggenggam satu pergelangan tangan Kanaya, kini dia justru menggenggam keduanya. Kanaya mundur beberapa langkah dan menatap khawatir pintu kamar adik tirinya.
"Kamu jangan gila, Mas!! Lepaskan aku."
Harinya sudah cukup hancur, dan kini semakin hancur jika Gibran bertindak semaunya. Genggaman tangan pria itu masih sama, nampaknya hal yang dahulu sempat Gibran tuntut dan tak kesampaian menjadi alasan dia begini.
"Ayolah, Kanaya ... Mas paham seberapa rindunya kamu, kita hidup serumah tapi kamu cuma bisa liat aku memeluk adik tirimu." Sakit memang, Kanaya akui memang ada rasa itu, bohong jika dia bilang tidak.
"Bagaimana? Hm? Sakit ya?" tambah Gibran menarik sudut bibirnya, terlihat jelas bahwa pria itu benar-benar puas dengan apa yang terjadi pada Kanaya saat ini.
"Cih, menjijikkan! Dasar benalu."
Rahang Gibran mengeras kala mendengar ucapan yang lolos dari bibir Kanaya. Pria itu meradang begitu dan matanya kian tajam menatap Kanaya. Ingin sekali ia hancurkan sejak pertama kali tinggal serumah sebenarnya.
"Woah, berani sekali kamu ya? Apa karena sudah mendapatkan pria selain aku, Kanaya? Aku tidak yakin dia lebih baik dariku ... huft aku jadi penasaran, bagaiamana kamu bisa mendapatkan pria sekaya dirinya," ucap Gibran menatap remeh Kanaya, sangat-sangat meremehkan.
"Bukan urusanmu!" sentak Kanaya mendorong tubuh Gibran hingga pria itu hampir terjatuh lantaran terlalu lengah dan mengira Kanaya tidak akan melawan.
"Hahaha, masih sama. Kamu galak, Nay ... kehormatanmu masih terjaga kan? Siapa tahu kan kamu jual murah demi laki-laki kaya itu."
Dada Kanaya terhenyak, pasokan udara di ruangan ini rasanya tak cukup untuk melegakan pernapasannya. Ucapan itu terlalu menyakitkan dan Gibran berhasil membuatnya lemah dengan satu tudingan.
"Diam!! Kamu tidak berhak menghinaku, benalu sepertimu seharusnya tidak hidup di keluargaku." Kanaya berkata dengan begitu santainya, sama sekali tak ada beban dan dia yakin kalimat yang ia ucapkan ini adalah serangan paling bermutu untuk menjatuhkan mental Gibran.
"Mulutmu perlu aku berikan pelajaran, Kanaya," ucapnya tertahan emosi yang kini meluap-luap, batinnya Benar-benar terguncang akibat hinaan dari mulut Kanaya.
Kesempatan baik, selagi di sini hanya ada mereka, Gibran nekat melampiaskan kemarahannya pada Kanaya.
Pria itu mendorong tubuh Kanaya hingga membentuk tembok, menatap Kanaya begitu tajam dan tanpa pikir panjang mulai mengikis jarak hingga menghimpit Kanaya.
"Lep-lepaskan aku, bangshat!!"
Meski dengan posisi berdiri, tapi sungguh Gibran seakan terpacu untuk melakukan yang lebih pada Kanaya. Pria itu mengunci kedua tangan Kanaya dan tangan sebelah kirinya mulai menjelah area pinggangnya.
"Dasar brengsheek!! Kamu bener-bener gatau diri!!" jerit Kanaya berusaha melepaskan diri, teriakannya cukup kencang berharap akan ada yang mendengarnya.
"Kamu belum pernah merasakan sentuhanku yang begini kan, Kanaya?" bisik Gibran persis di dekat telinga Kanaya, deru napasnya mulai berbeda dan Kanaya sadar jika Gibran menginginkan tubuhnya.
"Bbbhh, badjingan!! Menjauh dariku!!" teriak Kanaya memalingkan muka demi menghindari jangkauan bibir Gibran yang berusaha mendapatkan kelembutan.
"Kanaya, cukup diam dan nikmati, kamu pasti menyukainya." Dia masih berusaha walau berontaknya Kanaya sempat membuatnya lemah, hingga pria itu baru tersadar seorang wanita paruh baya datang dari arah dapur sembari membawa sapu rumah.
"Non!!"
"Bi-bi tolong!!" teriak Kanaya yang membuat Gibran mau tidak mau melepaskan Kanaya secara paksa.
Matilah dia, Gibran terlalu percaya diri bahwa di rumah ini tidak ada orang lain. Buktinya Bi Murni ada bersama mereka.
Tertangkap basah, dan kini Kanaya berlalu meninggalkan Gibran yang tengag mematung di sana. Dia harus cepat bertindak, wanita tua itu harus tutup mulut dan jangan sampai Khaira mengetahui hal ini.
"Bi Murni!!" Gibran menghampiri wanita itu dengan tatapan mautnya, tentu saja akan mengancam wanita itu.
"I-iya tuan," jawab Murni gugup, sebab dia masih tak percaya dengan apa yang tadi ia lihat.
"Tutup mulut jika mau selamat, ingat itu."
Berlalu usai mengancam Murni dengan caranya, jangan coba macam-macam jika tak ingin bernasib sama seperti temannya. Beberapa hari lalu Gibran memecat pekerja lainnya dan Khaira tak protes tentang hal itu.
Saat ini yang dipercaya oleh keluarga ini adalah Gibran. Mereka semua percaya tentang kesempurnaan seorang Gibran dan tidak ada sedikitpun celah yang membuat Gibran terancam jika mereka tidak melihat sendiri.
-
.
.
.
Malam mulai datang, bersamaan dengan sinar sang rembulan yang kian benderang. Ibra menatap arloji di pergelangan tangan kirinya. Pria itu sudah siap dengan pakain rapih yang begitu cocok dengan postur tubuhnya.
Tubuh yang menjadi andalan dan hal yang membuat perempuan jatuh cinta selain dengan wajah yang nyaris sempurna.
Meski Kanaya sudah mengatakan berkali-kali untuk jangan datang malam ini, tetap saja Ibra akan memenuhi undangan makan malam yang telah ia setujui.
"Akan kutuntaskan malam ini, Kanaya ... akan lebih baik jika kau menjadi milikku," ucapnya menarik sudut bibir, langit malam tak terlalu kelam, dan Ibra sangat suka memandangnya.
Pergi sendiri, tanpa didampingi Gavin yang biasanya ada di sampingnya. Malam ini, sejarah akan mencatat hal penting dalam hidup Ibra.
Bagaimanapun akhirnya nanti, dia akan nekat melakukan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Sebelum semua terlambat, dan Ibra tak ingin menyesal untuk kedua kali dalam hidupnya.
Makan malam yang mungkin nantinya akan menjadi peperangan, walau sebenarnya Ibra bingung kenapa Kanaya setakut itu untuk mengakui kesalahan yang mereka lakukan.
"Daddy's Coming, My little boy."
Berseri sekali, padahal wujudnya bahkan belum bisa dipastikan tapi Ibra memperlakukannya seolah hendak mememui anak yang sudah lahir. Dadanya berdebar tiap kali mengingat perkataan dokter yang mengucapkan selamat kepadanya, sungguh Ibra dibuat luluh hari ini.
TBC ❣️