(Warning !! Mohon jangan baca loncat-loncat soalnya berpengaruh sama retensi)
Livia Dwicakra menelan pil pahit dalam kehidupannya. Anak yang di kandungnya tidak di akui oleh suaminya dengan mudahnya suaminya menceraikannya dan menikah dengan kekasihnya.
"Ini anak mu Kennet."
"Wanita murahan beraninya kau berbohong pada ku." Kennte mencengkram kedua pipi Livia dengan kasar. Kennet melemparkan sebuah kertas yang menyatakan Kennet pria mandul. "Aku akan menceraikan mu dan menikahi Kalisa."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sayonk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 17
"Apa maksud mu? Memangnya wajah ku pasaran?" Kennet tidak terima jika wajahnya di anggap semua pria mirip dengannya.
Bernad berdecak kesal. Kali ini ia benar-benar ingin menyentil ginjal bosnya itu. "Maksud saya tuan Kennet, anak Nyonya Livia mirip dengan wajah tuan Kennet. Bukankah berarti ada kemungkinan anak nyonya Livia anak tuan Kennet, begitu tuan bos." Dengan hati-hati dia memberikan keyakinan.
Kennet menoleh namun mobil Livia perlahan berjalan menjauh. "Kenapa diam saja? Ikuti dia bodoh!" Ia menatap lurus ke arah Bernad.
Bernad melirik, ia seperti di tatap oleh hantu penasaran. "Tuan ..."
"Apa kau yakin? Maksud ku anak Livia anak ku?"
Bernad mengangguk. "Kemungkinan Tuan. Bukankah anak dan ayah bisa sama persis?"
Bernad menambah kecepatannya agar tidak ketinggalan jauh dari mobil Livia. Dia pun menghentikan mobilnya saat Livia menghentikan mobilnya di depan toko buku.
"Tuan nyonya Livia turun."
Lima anak itu pun turun dan menuju ke toko alat tulis. Kennet dan Bernad pun ikut turun. mereka menyebrangi jalan dan masuk ke dalam toko itu. Kennet melihat kanan kiri. Lima anak itu berpencar.
"Dimana anak itu?" tanya Kennet.
Bernad mencari anak yang lebih tinggi itu. Ternyata anak yang di carinya berada di rak tiga sedang mengambil buku gambar dan buku dongeng.
"Tuan." Bernad memberikan kode pada tuannya dengan menggunakan tangannya seakan memanggil hewan peliharaannya. "Dia di situ."
Kennet perlahan melangkah, ia menatap anak yang tingginya hampir sejajar dengan pahanya. Dia menatap anak itu dari samping dan melihat wajahnya dari samping.
"Kakak." Sapa Khanza.
Caesar menoleh ke arah adiknya. "Adik kau mencari buku apa?"
"Mencari buku dongeng." Jawab Khanza. Tatapannya beralih menatap Kennet yang menatap ke arahnya. "Eh Om jahat kenapa kau di sini?"
Caesar memutar tubuhnya. Kennet memundurkan langkahnya. Dia melihat bayangan dirinya saat masih kecil. Dia lansung memutar tubuhnya dan Bernad mengikutinya keluar dari toko itu.
"Tuan, tuan Kenapa?" tanya Bernad.
Jantung Kennet maju mundur, degupnya sangat kencang bahkan ia sendiri bisa mendengarkannya dengan jelas. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Tidak mungkin, apa benar mereka anak ku? Oh Tuhan ini sangat tidak mungkin." Ia tidak percaya karena ia ingat dengan jelas bahwa ia memang mandul dan memiliki anak sangat kecil. "Bagaimana mungkin?" Ia tidak mempercayainya, tapi kenapa selama ini ia tidak menyadarinya. Ia begitu bodoh hingga tidak menyadarinya wajahnya yang mirip dengannya. Ia teringat dengan ucapan mereka yang mengatakan mereka tidak memiliki ayah.
"Tuan sebaiknya test DNA. Aku yakin bahwa mereka anak Tuan."
Kennet mengusap wajahnya dengan kasar. Dia bingung, ingin sekali ia menanyakannya pada Livia siapa anak itu. Akan tetapi ia tidak memiliki cukup keberanian untuk menanyakannya padanya. Ia sangat takut karena sudah menyakitinya bahkan ia pernah beberapa kali bersikap kejam pada anak-anaknya itu.
"Apa yang harus aku lakukan? Kalau mereka memang anak ku? Aku takut Bernad." Ia sangat takut, dadanya panas namun kulitnya terasa dingin. Bahkan tatapan anak perempuan itu dan anak yang di panggil Caesar juga terkejut. "Bernad aku harus bagaimana?"
"Betapa bodohnya ia bertengkar beberapa kali dengan anak Livia. Sudah pasti citranya buruk dan mereka tidak mau menerimanya."
...
Khanza melangkah sambil mengingat wajah Kennet. Dia begitu jelas saat Caesar, kakaknya dan pria yang ia yakini jahat itu wajahnya mirip. Mereka seperti saudara kembar namun beda umur.
"Khanza kamu kenapa?" tanya Damian. Ia pikir masih ada sesuatu yang ingin di belinya tadi dan mungkin ketinggalan. "Apa kau ingin membeli sesuatu? Kau melupakannya."
"Tidak, aku sudah membeli semuanya Kak." Dia menoleh ke belakang dan melihat Charles dan Killian sedang berbicara dengan ibunya dan Caesar berada di hadapannya sambil melangkah dengan kepala menunduk.
"Kakak." Sapa Khanza. Dia ingin mengatakan sesuatu pada Caesar.
"Ada apa adik?"
"Aku ingin berbicara dengan kakak berdua saja."
Caesar mengiyakan. "Baiklah."
Kini Caesar dan Khanza berada di teras samping. Dia melihat sekelilingnya tidak ada orang. "Kakak, Om jahat itu. Wajahnya mirip sekali dengan Kakak. Apa kakak anaknya atau kita itu anaknya." Tutur Khanza.
Dari semua kakaknya dan juga dirinya, hanya Caesar yang tidak mengikuti gen ibunya. Dia beda sendiri, sedangkan ketiga kakaknya dan juga ia mirip dengan Livia.
"Kau juga merasakannya. Sebenarnya aku juga merasakannya. Tetapi aku tidak suka sekali pun dia ayah ku. Dia terlalu jahat untuk ayah kita. Bisa saja Mama pergi karena dia bersikap jahat."
"Aku juga tidak suka jika dia ayah kita. Kenapa dia meninggalkan kita atau jangan-jangan dia sudah memiliki istri?" tebak Khanza. "Kalau itu benar, kita tidak perlu mengakuinya sebagai ayah kita. Dia sudah meninggalkan kita dan malah menikah. Mama menghidupi kita, mencari nafkah tanpa sosok ayah seperti teman-teman lainnya. Mama sendirian yang merawat kita. Pokoknya aku tidak mau sama om Jahat itu." Ia masih ingat ucapannya yang menyakitinya itu saat berada di rumah Anita. Ia dan juga saudaranya tidak ada yang pernah mengatakan pada ibunya karena takut membuat ibunya sedih.
"Khanza jangan bilang pada Mama dan pada Killian, Damian dan Charles."
Khanza mengangguk, dia mantap tidak akan mengatakannya.
"Sayang, kok kalian di sini? Mama sudah mengupas mangga." Livia melihat dua anaknya berpisah dengan saudaranya yang lain. "Kalian sedang apa? Sepertinya berbicara serius?" Dari jauh ia melihat bagaimana Khanza dan Caesar berbicara dengan wajah serius.
"Tidak ada Mama, Khanza ingin mengajak kita main di luar. Tetapi, aku tidak membolehkannya karena terlalu panas," jawab Caesar asal.
"Oh begitu, ya sudah kalian masuk. Nanti sore main di luar lagi." Karena cuacanya yang sedang panas ia berpikir anak-anaknya butuh sesuatu yang segar. Ia pun menuju ke kulkas dan membuat es buah untuk anak-anaknya dan juga dirinya.
Pada malam harinya.
Karena gelisah, Kennet tidak bisa berpikir. Dia selalu merasa takut, gelisah, dan sakit hati. Dia selalu mengingat ucapan anak-anak itu. Ia merasa menjadi pria yang bodoh. "Erland, dia pasti memberikan aku solusinya."
"Bernad kita ke rumah Erland."
Bernad melajukan mobilnya dengan kencang karena titah sang bos yang ingin secepatnya sampai. Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka sampai. Kennet masuk dengan setengah berlari. Dia meneriaki nama Erland.
"Erland! Erland!"
Erland dan Anita terkejut dengan suara Kennet seperti orang yang sedang marah. Erland beranjak, begitu pun dengan Anita. Mereka menghampiri asal suara dan meninggalkan Zelo.
"Kennet kau berteriak-teriak di rumah orang? Bikin tak enak saja." Geram Erland. Apa susahnya datang baik-baik ke ruang makan.
"Aku tidak peduli." Seperti biasa pikiran arogannya akan keluar. "Aku ingin kau membantu ku. Aku menemukan anak ku."