"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ravien Invansia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Hana Sakit?
Ryan merasa janggal karena tak ada jawaban saat ia mengetuk pintu rumah Hana. Ia mengitari rumah, mencari celah, atau jendela yang bisa digunakan untuk mengintip.
tok...
tok...
Kembali ke depan, mengetuk lagi dengan lebih keras. "Hana?"
Pintu tiba-tiba terbuka sedikit. Hana mengintip dari celah, mata waspada, tapi wajahnya langsung melunak begitu mengenali Ryan.
"Eh, ternyata kamu," katanya pelan, ada senyum kecil di bibirnya.
Tanpa banyak basa-basi, Hana membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan agar Ryan masuk. "Masuklah."
Begitu masuk, tatapan Hana langsung tertuju ke luka-luka di tubuh Ryan. Namun, sebelum sempat bertanya, Ryan sudah lebih dulu bicara, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
"Han, kenapa kamu nggak masuk kelas tadi? Kamu sakit?"
Ryan menatapnya dalam-dalam, ekspresinya campuran dari putus asa dan cemas. Matanya terlihat kosong, seperti ada sesuatu yang terlepas dari dirinya. Kekhawatirannya tampak begitu tulus, bukan sekadar rasa ingin tahu, bukan karena obsesi, tetapi karena gosip tentang mereka berpacaran di sekolah.
Hana, yang memang tak terlalu memikirkan rumor yang beredar, hanya memilih untuk mengabaikannya. Walaupun kemarin ia sempat mendengar beberapa bisik-bisik teman-temannya, terutama tentang kejadian saat dia menarik Ryan ke atap sekolah dan disaksikan banyak orang ketika mereka berLari bersama.
Hana tersenyum tipis. "Aku cuma sedikit demam," jawabnya pelan, seolah ingin membuat Ryan khawatir.
Di dalam hatinya, Hana merasa sedikit bersalah karena sebenarnya ia tidak benar-benar sakit. Namun, Ryan sudah menunjukkan ekspresi seriusnya.
"Kamu udah minum obat, kan? Jangan sampai sakitnya tambah parah. Pastikan minum air hangat, ya. Dan jangan mandi air dingin."
Hana tersenyum bingung, tak sempat menjawab satu per satu.
"Iya, aku baik-baik aja, tenang," katanya lembut.
"Tapi kalau demamnya naik gimana? Kamu butuh apa? Mau aku belikan apa?"
Hana menggeleng pelan, berusaha menenangkan Ryan. "Nggak usah repot-repot. Aku udah minum obat kok."
Ryan mengangguk, meskipun masih ada sedikit kerutan di dahinya. "Jangan lupa makan juga, ya, Han. Jangan sampai sakitnya tambah parah."
Hana menepuk lengannya lembut, membuat Ryan terdiam sejenak. "Aku benar-benar baik-baik saja. Terima kasih sudah peduli."
Hening menyelimuti ruangan sejenak. Suara jam dinding terdengar di latar.
tik...
tok...
tik...
tok...
Ryan menggaruk kepalanya, canggung. "Maaf kalau aku terlalu khawatir."
Hana tersenyum lebih lebar, mengangguk pelan. "Nggak apa-apa. Aku senang kamu peduli."
Ryan masih berdiri di ruang tamu, bingung setengah mati, merasa kikuk. Hana menatap luka-luka di tubuhnya dengan wajah yang mulai khawatir.
“Darimana asal luka-luka itu?” tanya Hana, nadanya tegas tapi mengandung rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.
Ryan menggaruk kepala, mencoba tersenyum, tapi senyumnya kaku. “Ah, cuma kecelakaan kecil,” jawabnya sekenanya, berharap itu cukup.
Hana menghela napas panjang, pandangannya tetap waspada meski ia enggan memaksa. “Duduk sana di sofa, aku ambil obat,” katanya, sudah mulai berjalan ke arah lemari.
Ryan menuruti, merasa sedikit tak nyaman. Ia meletakkan tas di dekat pintu, tapi matanya menangkap sesuatu yang janggal. Ada dua pasang sepatu tambahan di dekat pintu, jenis sepatu yang biasa dipakai orang penting, mengilap, formal. Padahal terakhir kali dia ke sini, cuma ada sepatu biasa.
‘Siapa yang datang?’ pikirnya sambil menatap lurus ke arah sepatu itu.
Ryan segera duduk di sofa ruang tamu, Hana muncul lagi dengan kotak P3K di tangannya, duduk di sampingnya di sofa, langsung membuka kotak itu tanpa banyak bicara.
“Biar aku yang bersihkan lukamu,” ucapnya cepat, tanpa menunggu jawaban.
Ryan berusaha menolak halus. “Nggak usah repot-repot, aku bisa sendiri kok, Hana-”
“Diam dan biarkan aku saja,” potongnya dengan nada yang tak bisa dibantah.
Ryan tak bisa berkutik saat Hana mulai membersihkan luka-lukanya, kapas menyentuh kulit yang masih mentah.
“Ahh,” rintihnya pelan, merasa perih menyengat ketika kapas itu mengenai lukanya.
Hana mengomel sambil terus bekerja, tangannya tak berhenti bergerak.
“Kau selalu saja terlalu peduli sama orang lain, tapi diri sendiri malah diabaikan.”
“Lihat dirimu ini. Menyuruh orang untuk istirahat, jaga kesehatan… tapi yang nggak sehat malah kamu sendiri. Kau bahkan punya mata panda.”
Ryan hanya bisa diam, mendengar ocehannya sambil meringis, sedikit takut juga mendengar nada Hana yang tak biasanya ini.
Akhirnya Hana membalut luka-luka di lengan dan tangannya, kain putih mulai membungkus luka-luka itu dengan rapi, meski agak terburu-buru.
“Maaf, balutannya agak berantakan,” katanya, tersenyum kecil dengan tawa ringan yang membuat Ryan merasa sedikit lebih nyaman.
“Nggak apa-apa,” jawab Ryan, mencoba tersenyum kembali. “Terima kasih banyak, Hana.”
Mereka duduk dalam hening beberapa saat. Suara detak jam di dinding terdengar samar di antara mereka.
tik...
tok...
tik...
tok...
Hana memandangnya lagi, kali ini lebih lembut, tapi tetap ada ketegasan yang tak bisa disembunyikan. “Kau yakin nggak mau cerita apa yang sebenarnya terjadi?”
Ryan menelan ludah, menghindari tatapan itu. “A-apa maksudmu?” tanyanya gugup, mencoba mencari kata yang tepat.
Hana menarik napas panjang, menahan diri agar tak mendesaknya lebih jauh. “Baiklah, kalau begitu. Aku nggak akan memaksa,” katanya, menyerah, meski jelas masih menyimpan banyak pertanyaan.
...----------------...
Segini aja dulu. BTW makasih refrensi nya kak @花Hana, eh.🤣
Karena MC ada di semua bab, pakai POV bisa lebih mudah. Tapi nggak juga gpp.
Yang saya kurang suka kalau cerita multiplot tapi pakai POV 1 yang berganti-ganti.
Bahasa cerita menurut saya udah bagus, baik itu narasi ataupun dialog.
btw, banyak orang di kehidupan nyata terwakilkan Ryan. Biasanya itu pengalaman penulis lalu di dunia fiksi dia ganti dg tema fantasi misal dapat sistem atau masuk ke dunia game.