Saphira Aluna, gadis berusia 18 tahun yang belum lama ini telah menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah menengah atas.
Luna harus menelan pil pahit, ketika detik-detik kelulusannya Ia mendapat kabar duka. Kedua orang tua Luna mendapat musibah kecelakaan tunggal, keduanya pun di kabarkan tewas di tempat.
Luna begitu terpuruk, terlebih Ia harus mengubur mimpinya untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.
Luna kini menjadi tulang punggung, Ia harus menghidupi adik satu-satunya yang masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah pertama.
Hidup yang pas-pasan membuat Luna mau tak mau harus memutar otak agar bisa terus mencukupi kebutuhannya, Luna kini tengah bekerja di sebuah Yayasan Pelita Kasih dimana Ia menjadi seorang baby sitter.
Luna kira hidup pahitnya akan segera berakhir, namun masalah demi masalah datang menghampirinya. Hingga pada waktu Ia mendapatkan anak asuh, Luna malah terjebak dalam sebuah kejadian yang membuatnya terpaksa menikah dengan majikannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ina Ambarini (Mrs.IA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepatu
Hari ini mendadak, Ica dan Brian meminta untuk ditemani sekolah oleh Luna. Brian dan Ica bersekolah di sekolah yang sama, hal itu di lakukan Khafi untuk mempermudah ketika mengantar jemput keduanya.
"Mami, Papi. Hari ini Ica sama Mas Brian mau di antar sama Kak Luna sekolahnya, boleh?" Tanya Ica.
"Gak bisa dong, Ca. Kak Luna kan harus jagain Rena," sela Khafi.
Ica tampak kecewa, melihat itu Selina langsung bereaksi.
"Boleh." Selina mengizinkan.
Khafi menoleh, mempertanyakan maksud jawaban sang istri.
"Loh, terus Rena siapa yang jaga. Gak mungkin Kamu jagain Ren..."
"Kenapa gak mungkin? Aku Ibunya, Mas. Aku bisa jaga anakku, jangan Kamu remehin Aku kayak gitu!" Selina tampak tersinggung dengan ucapan suaminya.
Khafi menghela nafasnya, Ia menyesal karena telah berucap seperti tadi.
"Maaf Sayang, bukan maksud Aku untuk remehin Kamu. Aku cuma..."
"Udah. Kamu pergi ke kantor, terus anterin anak-anak ke sekolah. Oh iya, sekalian anterin adiknya Luna juga. Kasihan, pasti Dia bingung jalan ke sekolah." Selina menuturkan.
"Eh, gak usah, Bu. Nuka biar berangkat sendiri aja," ucap Luna. Ia merasa tidak enak jika harus merepotkan bosnya.
"Gak apa-apa. Sekolah Nuka dimana?" Tanya Lina.
"Di SMP sedayu," jawab Luna.
"SMP Sedayu, searah sama Kamu kalau ke kantor, kan Mas?" Tanya Lina pada Khafi.
Khafi mengangguk, Ia tak berkata sepatah katapun.
"Nah, kan. Udah sekarang Kalian siap-siap, nanti telat. Luna, panggil Nuka juga ya!" pinta Lina.
Luna mengangguk, lalu Ia berpamitan untuk memanggil adiknya.
"Sayang. Kamu kenapa sih sebaik itu sama Luna, Kita belum lama kenal Dia, loh?" Tanya Khafi.
Belum sempat menjawab, pertanyaan Khafi di jawab tiba-tiba oleh anggota keluarganya yang juga hendak ikut sarapan.
"Karena Luna itu memang orang baik. Mamah bisa rasain itu kok, Fi." Ibu Khafi menyela.
"Bener, itu. Mamah juga ngerasain yang sama kok," timpa Ibu Selina.
"Kalau Papah sih, ikut jawaban terbanyak aja. Feeling ibu-ibu itu kuat, Fi. Jarang meleset," ujar Ayah Khafi.
Khafi tak berkutik, Ia tak melanjutkan perbincangannya dan memilih untuk segera sarapan.
"Cepat, Ica, Brian habiskan sarapannya!" Pinta Selina.
Sementara itu, Luna bergegas meminta Nuka untuk segera bersiap. Ia tak mau jika bosnya menunggu lama, Ia juga merasa sungkan karena harus merepotkan majikannya lagi.
"Nuka, udah sarapannya?" Tanya Luna.
"Udah. Kakak udah sarapan? Jangan lupa..."
"Ayo siap-siap, sekolah. Hari ini Kamu berangkat sekolah ikut mobilnya Pak Khafi, jangan sampai Dia nunggu lama. Cepat!" Pinta Luna.
"Iya." Nuka segera memasukan buku ke dalam tasnya, dan juga memakai sepatunya.
"Ayo!" Ajak Luna.
Keduanya pun berjalan cepat menuju meja makan, dan bersiap untuk pergi ke sekolah.
Sesampainya di meja makan, Luna meminta maaf jika Ia merepotkan.
"Maaf, Pak, Bu. Nuka lama," ucap Luna.
"Gak apa-apa, Luna. Ya udah berangkat semuanya, gih. Hati-hati di jalan ya!" Seru Selina.
Ica dan Brian berpamitan, begitu juga dengan Luna dan Nuka. Sebelum itu, ada suatu hal yang membuat orang rumah terdiam dengan sikap Luna dan Nuka.
Keduanya mencium tangan para anggota keluarga, termasuk kedua orang tua Khafi dan Ibu dari Selina.
"Pak, Bu. Saya pergi mengantar Ica dan Brian dulu, hubungi Saya jika Rena membutuhkan Saya." Luna berucap.
"Emm, iya. Kamu hati-hati!" Pinta Lina.
Luna mengangguk, dan Ia menggandeng Nuka untuk segera keluar dari rumah.
Selina menatap punggung Luna yang hendak keluar dari rumah, terselip senyuman di wajah Selina.
"Anak itu, sopan sekali." Lina bergumam.
"Artinya orang tuanya, berhasil mendidik anak-anak Mereka. Lihat, sopan sekali Kakak beradik itu." Ibu Khafi menimpali perkataan menantunya.
Di luar rumah, Khafi meminta kedua anaknya untuk segera masuk ke dalam mobil.
Ica dan Brian segera masuk dan duduk di kursi belakang, Brian pun mengajak Nuka untuk duduk di sampingnya. Setelah semua anak-anak masuk ke dalam mobil, tersisa Luna dan Khafi.
Khafi berjalan menuju pintu kemudinya, sedangkan Luna Ia tampak berjalan menyusul adiknya yang duduk di kursi belakang.
"Heh. Mau kemana?" Tanya Khafi dengan dingin.
"Mau duduk, Pak." Luna menjawab dengan gemetar.
"Kamu pikir Aku supir! Duduk di depan!" Pinta Khafi yang langsung masuk ke dalam mobil juga.
Luna terdiam, Ia selalu merasa takut saat berhadapan dengan Khafi.
Luna pun membuka pintu, dan duduk di kursi depan bersama bosnya.
Selama perjalanan menuju sekolah, tak ada percakapan antara Khafi dan Luna. Sedangkan di kursi belakang, terdengar ramai percakapan yang di lakukan Brian dengan Nuka.
"Kak Nuka kelas berapa sekarang?" Tanya Brian.
"Baru kelas satu, sebentar lagi naik ke kelas dua. Kalau Kak Brian?" Tanya Nuka yang masih sungkan.
"Jangan panggil Kakak, usiaku 9 tahun. Kalau Ica 7 tahun, jadi seharusnya Aku dan Ica yang manggil Kamu Kakak." Brian menuturkan.
Nuka menganggukkan kepalanya, Ia merasa senang karena bisa berbincang dengan anak dari bos Kakaknya.
Sekilas Brian memperhatikan seragam yang di kenalan oleh Nuka, tatapannya kini tertuju pada sepatu Nuka.
"Kak Nuka, maaf. Sepatunya udah ada yang jebol,"
Ica ikut melirik ke arah bawah, dan memperhatikan sepatu Nuka.
"Oh, iya. Kok masih di pakai, Kak?" Tanya Ica.
Nuka tersenyum tipis, "gak apa-apa, masih bisa di pakai kok. Jebolnya dikit, nanti bisa minta Kak Luna buat jahitin ke tukang sol sepatu." Nuka berucap dengan besar hati.
Luna memalingkan wajahnya ke arah luar, Ia menahan air matanya agar tak terjatuh.
Khafi yang menyadari hal itu, sekilas melirik ke arah Luna.
"Gak usah di jahit. Lagian warnanya udah jelek, Kak. Minta beliin sepatu baru aja sama Kak Luna," ujar Ica.
"Gak bisa, uang untuk beli sepatu belum cukup. Kalau pun ada, mending uangnya untuk kebutuhan lain." Nuka kembali menuturkan hal yang membuat siapapun yang mendengarnya merasa sedih.
"Oh, gitu. Kalau Kak Luna belum punya uang, gampang kok. Minta beliin aja sama Papi, bolehkan, Pi?" Tanya Brian.
Khafi terkesiap, lalu Ia segera menjawab pertanyaan putranya itu.
"Iya. Nanti Kita beli," jawab Khafi.
Luna sontak menoleh, menatap ke arah Khafi.
Khafi yang terlihat santai, tak bereaksi secara berlebihan.
Luna kembali memalingkan wajahnya, Ia berusaha untuk bersikap sewajarnya.
Sesampainya di sekolah, Luna beserta kedua anak Khafi turun dari mobil.
Mereka berpamitan pada Khafi.
"Papi, Aku dan Ica sekolah dulu. Papi hati-hati di jalan, ya!"
"Iya. Belajar yang rajin, ya! Papi kerja dulu."
Khafi melajukan mobilnya, tersisa Ia dan Nuka saja.
Nuka merasa canggung, Ia tak berani untuk berkata sepatah katapun.
"Pak. Maaf kalau Nuka merepotkan," ucap Nuka dengan hati-hati.
Khafi melirik kaca spion di atas kepalanya, Ia melihat Nuka di balik cermin itu.
"Gak apa-apa." Khafi menjawab seadanya.
"Sepatumu ukuran berapa?" Tanya Khafi.
Nuka terdiam, Ia tak langsung menjawab pertanyaan dari Khafi.
"Nuka." Khafi memanggil.
"Euh, 38, Pak." Nuka menjawab.
"Oh, iya." Khafi tak melontarkan perkataan lagi.
Sesampainya di sekolah Nuka, Nuka turun dari mobil.
Tangannya refleks terulur, dan mencium tangan Khafi.
Khafi terdiam, melihat sikap Nuka yang sopan.
"Terima kasih, Pak." Nuka berucap.
"Sama-sama. Ya sudah Kamu masuk, Saya pergi." Khafi masuk ke dalam mobil, dan menyalakan mesin mobilnya.
"Emm, Pak maaf. Saya hanya ingin memberitahu kalau, Kak Luna belum makan apapun." Nuka merasa khawatir pada Kakaknya.
Khafi tak menjawab, Ia bahkan tak menggubris ucapan Nuka.
Khafi lalu menancapkan gas, dan berlalu meninggalkan Nuka yang masih berdiri di tempatnya.