Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Tiga - Kenapa Harus Malu?
Sebentar lagi jam istirahat tiba, Amara baru saja melepas lelahnya. Ia duduk dengan bersandar dinding menghadap ke arah loker. Kali ini Amara selesai lebih cepat dari rekan kerjanya. Tidak tahu kenapa semangatnya hari ini berapi-api, bahkan ia tidak peduli dengan perasaannya yang semalam dikecewakan oleh suaminya.
“Kamu, yang lain masih kerja, malah santai-santai!” hardik Bu Tutik, kepala kebersihan kantor pada Amara.
“Saya sudah selesai kerja kok, Bu? Semua sudah saya bersihkan! Sebentar lagi kan jam istirahat juga, Bu? Paling lima menit lagi?” ucap Amara.
“Kerja itu yang benar! Yang teliti kerjanya! Ini Pak Yadi komplain dengan pekerjaan kamu! Kamu disuruh untuk membersihkan ruangannya lagi!”
“Bukannya tadi saya baru bersihkan? Yang terakhir ruangan Pak Yadi, dan saya sudah pastikan ruangannya bersih?” jawab Amara.
“Berani melawan kamu! Kalau dikomplain itu lihat dulu! Sana bersihkan lagi ruangan Pak Yadi! Kamu bisa geser jam istirahat kamu!” perintah Bu Tutik dengan kasar.
“Baik, Bu!” ucap Amara pasrah.
Amara langsung mengambil lagi peralatan kerjanya, lalu dia ke ruangan Pak Yadi. Setelah mendapat izin masuk ke dalam ruangannya, Amara langsung masuk ke dalam.
“Kata Bu Tutik masih ada yang kotor, Pak? Bagian mana yang kotor, Pak? Bair Saya bersihkan kembali,” tanya Amara sopan.
“Tuh lihat sendiri!” Yadi menunjukkan lantai yang kotor karena jejak sepatu basah dengan begitu angkuhnya.
“Baik, permisi saya akan bersihkan,” ucap Amara.
Tanpa banyak bicara Amara segera membersihkan lantai yang kotor itu. Amara yakin Pak Yadi sengaja melakukan itu, supaya Amara kembali membersihkan lantai di ruangannnya. Amara merasakan sentuhan di bagian balakang tubuhnya. Sentuhan tangan seseorang dengan lembut, lalu sedikit meremas.
“Hentikan! Apa yang anda lakukan, Pak!” hardik Amara dengan penuh amarah pada Yadi yang sudah melakukan tindakan di luar batas.
“Kenapa? Sok jual mahal sekali kamu? Bukannya kamu mau jadi janda? Gak usah sok begitu lah! Suami kamu sudah gak mau kamu, bagaimana kalau kamu coba dengan saya?” ucap Yadi dengan tatapan yang nakal.
Amara menahan amarahnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Baru kali ini dia harga dirinya diinjak-injak oleh orang sampai seperti ini.
“Jangan macam-macam, Pak! Saya bisa laporkan anda dengan kasus pelecehan terhadap saya!” ucap Amara dengan geram.
“Silakan saja! Kamu malah yang akan malu, dan sudah pasti perusahaan akan memecat kamu!” ancam Yadi.
“Saya tidak peduli, mau saya dipecat atau tidak! Saya akan melaporkan anda, jika anda sudah kelewat batas perbuatannya!” geram Amara.
“Kamu menantang saya?” Yadi mendekati Amara lagi, Amara berjalan mundur, dia begitu takut dengan tatapan Yadi yang seperti singa hendak menerkam mangsanya.
Suara ketukan pintu membuat Yadi tak lagi melakukan aksi jahatnya pada Amara. Dia kembali merapikan jas nya, lalu kembali duduk di kursi kebesarannya.
“Masuk!” perintah Yadi dengan ramah dan tegas.
Seoarang wanita masuk ke dalam ruangan Yadi dengan berjalan angkur. Dia menatap Amara angkuh. Amara sangat mengenal siapa perempuyan itu, jelas sangat kenal, karena perempuan itu adalah Vira, kakak iparnya.
“Eh ternyata ada babu di ruangan kamu, Yadi?” ucap Vira dengan senyuman puas melihat Amara sedang membersihkan ruangan, dengan menggunakan seragam kebersihan. Amara hanya diam saja, biar saja kakak iparnya itu bicara seperti itu.
“Buatkan tamu saya minum!” perintah Yadi, dan Amara langsung keluar dari ruangan Yadi, menuju ke Pantri untuk membuatkan minuman Vira.
Amara sudah sangat takut saat tadi Yadi mendekatinya. Tidak tahu nasibnya akan seperti apa, jika Vira tidak datang. Amara sesekali mengusap air matanya yang menetes. Ia masih sangat takut dengan perlakuan Yadi.
Amara mendengar ponselnya berdering. Dia langsung mengambil ponsel di saku celananya, ia melihat nama suaminya di layar ponselnya. Amara dengan cepat meredakan tangisnya, sebisa mungkin dia harus terdengar baik-baik saja saat menerima telefon suaminyna.
“Halo, Mas. Ada apa?” tanya Amara.
“Kamu sudah makan siang?”
“Sudah tadi, kenapa, Mas?” jawab Amara bohong.
“Kamu menangis, Ra?”
“Tidak! Mas, aku lanjut kerja lagi, ya? Sudah mau habis jam istirahatnya, sampai jumpa nanti!” ucap Amara.
“Baiklah, kalau ada yang mengganggumu bilang padaku, nanti aku jemput kamu pulangnya,” ucap Varo.
“Iya, Mas,” jawab Amara.
Amara menghapus air matanya lagi. Ia berusaha menenangkan lagi hatinya. Setelah itu dia membuatkan minum untuk kakak iparnya. Amara tidak mau terlihat lemah di depan orang yang tidak menyukainya. Selesai membuatkan minuman, Amara langsung membawanya ke ruangan Pak Yadi. Amara mengetuk pintu, lalu terdengar Yadi menyuruhnya masuk ke dalam. Amara meletakkan dua cangkir teh dengan satu toples cemilan di meja.
“Jangan sampai Varo dan orang lain tahu tentang pekerjaanmu! Aku saja yang melihatnya malu dan jijik!” cemooh Vira dengan menelisik pandangannya pada Amara dari atas sampai bawah.
“Buat apa malu, aku kerja gak merugikan orang lain? Kerjaku halal kok,” ucap Amara.
“Kamu dan mulutmu memang cocok dengan pekerjaan ini!” desis Vira kesal.
“Tentu saja sangat cocok! Karena Kak Vira sendiri yang merekomendasikan aku untuk pindah bagian ini bukan?” ucap Amara yang membuat Vira kembali tersulut emosi.
“Ka—kamu, ya!” hardik Vira.
“Sudah, kamu keluar sana! Jangan bikin keributan di sini!” perintah Yadi.
Yadi tidak mau ada pertengkaran di ruangannya, karena jika itu terjadi, pasti akan memengaruhi reputasinya di kantor, dan di mata atasannya nanti.
^^^
Seperti yang dikatakan Varo tadi, Varo menjemput Amara di kantornya. Baru saja Amara keluar dari lobi, sudah telihat mobil suaminya terparkir di depan. Amara langsung masuk ke dalam mobil suaminya, dan duduk di sebelah Alvaro, menyandarkan kepalanya karena sedikit pusing.
“Apa kamu baik-baik saja? Kamu pucat sekali wajahnya, apa kamu sedang tidak enak badan?” tanya Varo.
“Enggak, aku lelah sekali, dan ngantuk sekali,” jawab Amara.
“Apa mau periksa ke rumah sakit?”
“Tidak usah, Mas. Aku pengin tidur saja, bangunkan aku saat sudah sampai, aku ngantuk sekali, tolong jangan ganggu aku,” ucap Amara.
Alvaro hanya mengangguk, membiarkan istrinya tertidur. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah sampai rumah, ia tidak tega membangungkan Amara. Alvaro menggendong tubuh Amara, dan membawanya ke kamar. Amara benar-benar terlihat sangat lelah sekali, sampai Alvaro tak tega membangunkannya, padahal Amara belum makan malam.
Amara terbangun dari tidurnya, entah kenapa dia sudah berada di kamar dan dia hanya sendiri di dalam kamarnya, tidak ada Alvaro sama sekali. Mungkin Alvaro sedang di ruang kerjanya, pikir Amara.
Amara beranjak dari tempat tidurnya, dia langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri, karena tadi belum bersih-bersih saat pulang. Dia benar-benar ngantuk dan lelah sekali, bahkan sampai tak sadar kalau sudah sampai rumah, dan sekarang juga sudah hampir pukul sepuluh malam.