Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Tiga - Kita Tes DNA
Eliana menggelengkan kepalanya melihat kelakuan menantunya itu. Bisa-bisanya Amara langsung naik ke atas tanpa menyapa dirinya. Eliana kesal sekali rasanya. Amara sekarang sudah berani cuek pada dirinya dan Vira. Bahkan kata Vira sekarang Amara sudah berani membantah ucapannya.
“Lihat istrimu, Varo! Di sini padahal ada mama dan kakak kamu, tapi dia langsung nyelonong gitu aja tanpa menyapa kami! Benar-benar tidak tahu adab dan sopan santun!” ucap Eliana, sampai terdengar oleh Amara. Amara hanya mengendikan bahunya, biar saja ibu mertuanya bicara begitu, Amara tidak akan memedulikannya.
“Sudah lah, Ma. Lagian tangan Amara kotor, dia baru saja memperbaiki tanaman-tanaman dia, kemarin sempat dibuat berantakan, karena Alea main di sana, tapi gak apa-apa, semua sudah teratasi. Makanya dia langsung ke kamar, mau bersih-bersih,” jelas Alvaro. Amara juga masih bisa mendengarkan ucapan Varo itu, tapi ia tidak ingin ambil pusing, dia melajutkan langkahnya untuk masuk ke dalam kamar, membersihkan diri, supaya lebih tenang dan fresh pikirannya.
“Dasar kampungan! Lama hidup di kampung, di kota pun masih saja mainan tanah! Punya menantu kok gitu amat, pikirannya masih kuno, sudah gitu gak ada sopan-santunnya!” gerutu Eliana.
“Sudah sih, Ma? Memang Amara begitu?” bela Alvaro. “Oh iya, Mama manggil aku ke sini ada apa?” tanya Alvaro.
“Mama mau bicara sesuatu, duduklah,” perintah Eliana.
“Kayaknya serius, Ma?” ucap Varo.
“Ya sangat serius. Mama ingin kamu memikirkan kembali soal kamu dengan Cindi. Nak, Amara itu gak bisa punya anak, mama ingin kamu menikahi Cindi, dia memang janda, sudah memiliki anak, tapi lihatlah? Cindi lebih segalanya dari Amara, bahkan Cindi bisa hamil. Lagi pula, kamu juga dekat dengan Alea. Dia juga butuh ayah, apa kamu gak kasihan? Lihatlah, dia begitu dekat dengan kamu?” ucap Eliana dengan lembut, ia takut Alvaro akan marah lagi jika membahas hal demikia.
Alvaro hanya diam, memijit keningnya. Mamanya masih bersih keras memaksa dirinya menikahi Cindi. Sesekali Alvaro melirik ke arah Cindi yang hanya menundukkan kepalanya. Dulu, dia adalah wanita yang paling dia cintai, tapi Cindi memilih jalan sendiri, memilih laki-laki pilihan orang tuanya kala itu. Alvaro padahal membuktikan pada kedua orang tua Cindi, bahwa dirinya layak menjadi suami Cindi, akan tetapi orang tua Cindi sedikit pun tidak mau melihat niat baik Alvaro saat itu. Hingga pada akhirnya hubungan keduanya kandas.
“Mama sudah sangat menyayangi Alea, Varo. Mama sudah menganggap dia cucu mama sendiri, dengan Cindi pun demikian, mama sangat menyayangi Cindi, mama juga sudah menganggap dia seperti anak mama sendiri. Mama sudah tua, Varo, apa kamu tidak kasihan sama mama, mama hanya ingin memiliki cucu darimu, Varo” lanjut Eliana.
Alvaro makin muak dengan ucapan Mamanya, meski terdengar pelan dan lembut, tetap saja Alvaro sangat marah. Bahkan mamanya tidak menganggap Amara yang menantunya, jangankan sayang dengan Amara, menganggap menantunya saja tidak?
“Varo, sebetulnya Alea anak kamu dan Cindi, kan? Dia butuh kamu, Varo, untuk menjadi ayahnya!” ucap Vira. Dia memberanikan diri mengatakan hal itu pada Varo, padahal itu rekayasa dirinya, supaya Alvaro menikahi Cindi. Alvaro langsung menatap tajam Sang Kakak yang bicara sembarangan seperti itu.
“Apa maksud kamu, Mbak?!” tanya Alvaro dengan geram.
Sedangkan Cindi mulai panik, ingin sekali merutuki Vira yang berkata asal seperti itu. Cindi memutar otaknya, untuk melanjutkan sandiwara yang Vira buat secara dadakan itu.
“Sialan, Vira! Bisa-bisanya dia bicara seperti itu, tapi tidak memberikan kode denganku dulu dari kemarin? Kalau Varo marah bagaimana? Aku harus bicara apa?” ucap Cindi dalam hati.
“Iya, kan? Alea anak kamu dengan Cindi?” ucap Vira lagi.
“Apaan ini? Jelas bukan, lah!” geram Alvaro.
“Alvaro, benar begitu? Jadi Alea cucu mama? Cucu kandung mama?” ucap Eliana dengan meraih tubuh Alea dan memeluknya.
“Ini gak benar! Dia bukan anakku! Apa-apaan ini, Cindi? Sandiwara apa lagi yang kamu buat, Cin! Kapan aku melakukannya dengan kamu! Aku gak pernah nyentuh kamu!” teriak Alvaro di depan Cindi dengan mencengkeram kedua bahu Cindi dan mengguncangkan tubuhnya dengan begitu mara.
“Varo ... a—aku minta maaf,” ucap Cindi lirih.
“Kita memang lama pacaran, Cin, tapi aku tidak pernah menyentuhmu! Pantang bagi diriku menyentuh perempuan yang belum menjadi istriku! Aku selalu memegang prinsip itu, Cin! Kita pacaran selama tujuh tahun, tapi kita pacaran sehat, gak pernah aku seperti itu!” ucap Alvaro dengan tegas.
“Kamu ingat saat kita bertemu dulu, saat kamu cerita kamu sudah menikah karena dijodohkan dengan perempuan lain yaitu Amara? Kamu mabuk, Varo! Kamu mabuk berat saat itu! Iya saat itu aku juga aku sedang ada masalah dengan suamiku, kita saling curhat, saling menguatkan satu sama lain, kamu minum-minuman, dan akhirnya kamu mabuk saat itu! Ingat tidak? Kita melakukan di apartemen kamu saat itu!” ucap Cindi, akan tetapi dia tidak berani menatap Varo, karena takut ketahuan dia berbohong.
“Heh, kamu pikir aku percaya sama akal bulus kamu, Cindi? Kamu pikir kamu bisa membodohiku? Iya, memang aku mabuk, tapi ada Dika saat itu, dia aku suruh antar kamu pulang, bukan? Aku memang mabuk, tapi pikiranku masih waras! Kalau mau jebak aku, pakai otak!” bentak Alvaro pada Cindi.
Dika adalah asisten Varo yang paling setia, setiap ada urusan apa pun dia selalu melibatkan Dika, ke mana pun dia pergi. Termasuk saat menemui Cindi, bahkan dulu saat Cindi melahirkan pun Dika turut menemaninya. Di mana ada Varo, di situ ada Dika. Karena Varo sudah menikah, dia tahu batasan dengan Cindi, meski dia sama sekali belum mencintai Amara, dan tidak menerima Amara sedikit pun di hatinya.
“A—aku gak bohong, Varo! Kita melakukan itu saat malam itu kamu mabok! Kamu mabuk berat, jadi kamu gak ingat, gak ada Dika, karena Dika sedang keluar!” ucap Cindi, dan masih sama tak mau menatap lawan bicaranya, karena apa yang Alvaro katakan itu benar adanya, dirinya diantarkan pulang oleh Dika ke rumahnya. Mereka saat itu ada di Australia, Varo ke sana, karena Cindi yang minta, Cindi saat itu tengah ada masalah dengan suaminya, dia mengalami KDRT yang dilakukan suaminya, Alvaro hanya membantunya saja, dan memang malam itu Alvaro mabuk, dia stres dengan hidupnya, harus menikah dengan wanita yang tidak dicintainya, sedang orang dicintainya malah disiksa suaminya.
“Heh, kalau bicara itu tatap lawan bicaramu, Cindi!” Alvaro dengan kasar mengangkat dagu Cindi. “Tatap aku, dan jawab pertanyaanku, Cindi! Apa kita melakukan sejauh itu? Aku hanya melakukan dengan Amara, meski aku tak cinta saat itu, tapi dia perempuan yang sah menjadi istriku! Katakan padaku, Cindi, benar yang kamu bilang tadi?!” ucap Alvaro dengan mencengkeram rahang Cindi.
“Benar, Alvaro! Kita melakukannya malam itu! Aku tidak bohong!” jawab Cindi dengan memberanikan diri menatap Alvaro, tapi tetap saja Alvaro tidak percaya dengan apa yang Cindi katakan. Tetap saja Alvaro melihat ada kebohongan di mata Cindi.
“Cukup, Varo! Kalian jangan begini, kasihan ada Alea, dia anak kalian!” teriak Eliana.
“Bukan, dia bukan anakku, Mama!” ucap Alvaro dengan menatap tajam Alea.
“Kamu tidak boleh mengatakan hal seperti itu, Varo! Dia anakmu!” ucap Vira tak mau kalah.
“Bukan!” bentak Alvaro.
“Kita bisa lakukan Tes DNA, untuk membuktikan Alea itu anak suamiku atau bukan!”
Semua yang mendengar ucapan itu menoleh ke sumber suara. Amara berkata seperti itu dengan berjalan mendekati mereka dengan begitu tenang. Amara mendengar semua yang mereka katakan tadi. Saat mereka sedang ribut demikian, Amara mendengar semuanya, dan Amara yakin mereka sedang menghasut Alvaro. Sedang Alvaro, dia panik melihat Amara yang setenang itu, Alvaro mulai takut, Amara akan marah dan meninggalkannya, meski itu tidak benar, tetap saja Alvaro takut Amara pergi darinya. Entah dia bisa merasakan takut kehilangan Amara, sedangkan cintanya belum bisa bersemi untuk Amara.
“Amara, ini tidak seperti yang kau pikirkan,” ucap Alvaro dengan panik.
“Aku sudah mendengar semuanya, Mas. Makanya kita lakukan tes DNA, anak itu benar anakmu dengan dia bukan,” ucap Amara dengan menatap Cindi dan Alea bergantian.
“Baik, kita akan tes DNA, untuk membuktikan Alea anakku atau bukan!” ucap Alvaro tegas, sedangkan Cindi terlihat sangat gugup dan panik, Amara bisa melihat jelasa wajah takut, panik, dan gugup Cindi saat ini. Amara yakin dia bohong.
“Siapa takut! Kalau Alea anakmu, kau harus nikahi Cindi! Dan kau, harus bisa merelakan dan merestu mereka!” ucap Vira.
“Bahkan aku tidak takut dan tidak ragu untuk bercerai dengan Mas Varo, jika semua itu benar adanya!” ucap Amara tegas.
“Ara!” ucap Alvaro dengan keras, saat mendengar Amara mengucapkan itu. Namun, Amara memalingkan wajahnya dari Alvaro, dia memilih pergi dan kembali ke kamarnya karena sudah pusing dengan masalah itu.
“Sebaiknya kalian pulang!” usir Alvaro pada mereka.