Tawanya, senyumnya, suara lembutnya adalah hal terindah yang pernah aku miliki dalam hidupku. Semua yang membuatnya tertawa, aku berusaha untuk melakukannya.
Meski awalnya dia tidak terlihat di mataku, tapi dia terus membuat dirinya tampak di mata dan hatiku. Namun, agaknya Tuhan tidak mengizinkan aku selamanya membuatnya tertawa.
Meksipun demikian hingga di akhir cerita kami, dia tetaplah tersenyum seraya mengucapkan kata cinta terindah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sweet Marriage 17
Hari demi hari Ravi melakukan hal yang sama. Setiap siang dia akan datang ke DCC dan membawakan makanan untuk Leina.
Dan apa yang dilakukan oleh Ravi tersebut diketahui oleh semua orang di perusahaan DCC. Kalimat pujian pun sering Ravi dapatkan tapi dia sama sekali tidak peduli karena apa yang dia lakukan bukan untuk mendapat pujian melainkan untuk merawat sang istri.
Rasa takut kehilangan yang Ravi rasakan semakin besar, terlebih dia menjadi begitu nyaman dengan kebersamaan mereka.
" Mas, apa nggak masalah Mas tiap hari datang nganterin makan siang buat aku? Mas Ravi juga anter jemput aku. Mas, aku bisa kok bawa mobil sendiri seperti biasanya. Aku nggak mau ngrepotin kamu."
" Lei, kita ini suami istri, jadi nggak ada hal yang merepotkan dengan apa yang aku lakukan untukmu."
" Tapi Mas, kita kan cuma suami istri karena kesepakatan."
Degh
Rasanya begitu nyeri saat Leina bicara demikian. Meskipun itu adalah sebuah fakta tapi entah mengapa saat itu keluar dari mulut Leina, Ravi merasa tidak suka.
Dari ucapan Leina, agaknya dia masih ingin melanjutkan rencananya. Istrinya itu masih ingin pergi untuk meninggalkan semua orang dengan membawa penyakitnya sendiri.
Ckiiit
Ravi menepikan mobilnya, membuat Leina kebingungan terlebih mereka saat ini berada di jalan bebas hambatan. Dimana di jalan itu tidak diperkenankan untuk berhenti jika tidak ada kendala sama sekali.
" Mas, kita kok stop sih. nanti kena tilang polisi lho."
Leina terlihat panik, dia yakin mobil yang dinaiki mereka berdua itu tidak memiliki masalah apapun saat ini.
Namun Ravi hanya bergeming. Pria itu diam saja sambil mencengkeram erat setir kemudi mobilnya. Dan sekarang ia menundukkan kepalanya hingga bunyi 'tuk' terdengar di telinga Leina.
Ravi saat ini sebenarnya tengah kesal dan ia berusaha keras untuk menahannya. Ia tahu bagaimana posisi Leina dan tidak salah juga wanita itu bicara demikian.
Sudah hampir sebulan tidur bersama, mereka juga tidak melakukan apapun. Tapi naluri kelelakian Ravi rupanya menginginkan lebih.
Apakah saat hati dan pikirannya sudah tidak menganggap Leina sebagai teman? Apakah saat ini Ravi mulai memandang Leina sebagai seroang wanita yang telah menjadi istrinya?
Entahlah, Ravi sendiri belum tahu persis mengenai hatinya. Hanya saja yang ia rasakan terhadap Leina menjadi berubah.
Setiap kali menatap bibir Leina ketika tidur, ia ingin menciumnya. Ia juga ingin meraup dan menelannya bulat-bulat. Ia juga ingin mendekap tubuh Leina sepenuhnya.
" Mas," panggil Leina. Dia terlihat khawatir, takut kalau polisi menghampiri mereka. Padahal mereka sama sekali tidak sedang berada dalam masalah.
" Lei, apa kamu masih berniat buat pergi dari semua orang?"
" Ya? Mengapa Mas tiba-tiba bahas hal yang udah lama nggak kita bahas. Mas kan tahu apa yang aku inginkan."
" Tapi Lei, sekarang kan ada aku bersamamu. Apa kamu masih ingin pergi dariku juga?"
" Mas, dari awal kan aku nggak pernah minta kamu buat selalu ada disampingku. Kamu punya kehidupanmu sendir! Kamu nggak harus menghabiskan hidupmu yang berarti buat nemenin aku! Aku nggak minta itu Mas!"
Jegleeeer
Ravi amat sangat terkejut melihat luapan emosi dari Leina. Mata wanita itu membara, emosinya mencuat seperti letusan gunung berapi.
Sebelumnya Ravi belum pernah melihat Leina seperti ini. Selama puluhan tahun mengenal, Ravi belum pernah melihat Leina yang seperti ini.
Tapi setelah beberapa saat ia menjadi maklum. Dari jurnal yang ia baca dan juga penjelasan dari dokter yang menangani Leina, perubahan emosi dan juga ketidakstabilan emosi jadi hal yang wajar bagi penderita alzheimer.
Secara tidak langung sikap dan sifat penderita bisa berubah seiring waktu berjalan.
" Lei, maaf ya. Aku nggak maksud begitu, ya udah kita pulang aja ya. Sekali lagi aku minta maaf."
Tangan Ravi mengulur lalu membelai kepala Leina yang tertutup dengan hijab. Sentuhan lembut tangan Ravi seketika meredakan emosi Leina yang sempat mencuat.
" Nah ayo pulang ya, maaf aku tadi berhenti mendadak."
Leina hanya mengangguk, dia tidak memberi jawaban melalui mulutnya.
Sepanjang jalan, Ravi terus berpikir. Tidak seharusnya dia memancing emosi Leina seperti itu. Sepertinya Ravi harus banyak berkonsultasi dengan kondisi Leina yang semakin hari semakin berberda dari sikap asli Leina.
" Dokter Sapto, aku harus menemuinya. Tapi Bandung terlalu jauh buat sekedar konsultasi. Apa aku harus ke RSMH, tapi jika itu dilakukan maka semua orang seketika akan tahu. Tapi bentar, Dokter punya kode etik kan yang nggak akan menyebarkan informasi pasien atau kata lain dokter harus bisa menjaga rahasia. Ya, besok aku akan ke RSMH buat konsultasi perihal Leina."
Ravi agaknya sudah memutuskan sekiranya dengan apa yang akan dilakukannya. Meskipun resiko ketahuan akan besar tapi tidak ada salahnya untuk mencoba karena dia hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Leina.
TBC
😭😭😭😭😭😭😭
Bnr" nih author,sungguh teganya dirimuuuuu
Semangat berkarya thoor💪🏻💪🏻👍🏻👍🏻
gara" nangis tnp sebab
😭😭😭😭😭
bnr" nih author
pasti sdh ada rasa yg lbih dari rasa sayang kpd teman,cuman Ravi blum mnyadarinya...
bab". mngandung bawang jahat😭😭😭😭😭
Mski blum ada kata cinta tapi Ravu suami yg sangat peka & diandalkan...
aq padamu mas Ravi😍