Berjuang sendirian sejak usia remaja karena memiliki tanggungan, adik perempuan yang ia jaga dan ia rawat sampai dewasa. Ternyata dia bukan merawat seorang adik perempuan seperti apa yang dirinya sangka, ternyata Falerin membesarkan penghianat hidupnya sendiri.
Bahkan suaminya di rebut oleh adik kandungnya sendiri tanpa belas kasihan, berpikir jika Falerin tidak pernah memperdulikan hal itu karena sibuk bekerja. Tapi diam-diam ada orang lain yang membalaskan semua rasa sakit Falerin. Seseorang yang tengah di incar oleh Faldo, paparazi yang bahkan sangat tidak sudi menerima uangnya. Ketika Faldo ingin menemui paparazi itu, seolah dirinya adalah sampah yang tidak pantas di lihat.
Walaupun Falerin terkesan selalu sendiri, tapi dia tidak sadar jika ada seseorang yang diam-diam melindunginya. Berada di saat ia membutuhkan pundak untuk bersandar, tempat untuk menangis, dan rumah yang sesungguhnya. Sampai hidupnya benar-benar usai.
"Biarin gw gantiin posisi suami lo."
Dukungannya ya guys
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Angel_Enhy17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⋇⋆CHAPTER 16 : BERTAHAN LUKA ⋆⋇
Tangannya ragu untuk sekedar membuka pintu rumahnya sendiri, di sana Harka juga mengantarnya pulang ke rumah dan pria itu berdiri di belakangnya. Memastikan jika wanita itu masuk ke dalam rumah dengan selamat seperti yang di harapkan.
"Aku rasa kamu bisa pulang-"
"Masuk saja dulu, baru aku akan pulang dengan tenang." Ucapan singkat itu membuat Falerin terdiam, ia kembali mengumpulkan niatnya untuk masuk ke rumah yang selama hampir seharian tidak ia jamah.
Sampai di mana ia mulai yakin dan membuka pintu itu tanpa mengetuk sama sekali. Ia berharap semuanya akan baik-baik saja, tapi kenyataannya sepertinya tidak seperti apa yang ia harapkan. Suara aneh memenuhi rumahnya, Harka menunduk melihat ke arah Falerin yang terdiam di sana. Harka hendak menghentikan Falerin untuk masuk lebih jauh, tapi terlebih dahulu Falerin sudah masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat.
Harka mengikuti ke mana arah Falerin melangkah, tepat di sebuah kamar yang ia tahu adalah kamar yang seharusnya adalah tempatnya dan Faldi seharusnya berada.
Tangannya gemetaran, mengepal kuat di sana karena tidak mungkin ia sanggup menghadapi semua ini. Sampai di mana ia membuka pintu itu dengan ekspresi datar, membuat orang yang ada di dalam ruangan itu seketika itu juga terkejut akan keberadaan Falerin yang tiba-tiba saja ada di sana.
"Erin?" Tatapan Faldo seketika terpaku kepada istrinya yang berdiri tegak di depan pintu kamar, dengan sosok pria di belakangnya yang membuatnya semakin tertegun.
Perempuan yang ada di sebelah Faldo juga terkejut dengan kehadiran orang yang tiba-tiba saja masuk, dia bahkan terkejut dengan keberadaan Falerin di sana. Di tambah, tatapan datar itu seolah-olah akan membunuhnya di saat itu juga.
Faldo beranjak dari ranjang dan hendak menghampiri Falerin, tapi bahkan dia sempat menutupi badan telanjang perempuan itu di sampingnya sebelum menghampiri Falerin, istrinya sendiri. Baru beberapa langkah dia akan mendekati Falerin, terlebih dahulu Harka membuat Falerin mundur untuk berdiri di belakangnya, ia tahu jika wanita itu tidak akan bisa melihat semua ini. Dengan ekspresi yang sangat kaku, Harka menatap ke dua orang itu, seraya tertawa pelan.
"Saya rasa anda menikmati malam anda, tanpa istri anda, benar?" Ucapnya dengan santai, seraya dia menahan Falerin agar tetap berdiri di belakangnya tanpa melangkah satu langkah pun.
"Apa maksud mu? Pergi kau-"
Belum satu kalimat di ucapkan olehnya, satu pukulan keras membuat badannya terhempas sampai ke lantai. Pukulan yang bisa dikatakan bukan hanya pukulan untuk bermain-main, di sini Harka terlalu tersulut emosi. Ia tidak menerima semua ini terjadi, tidak bisa, ia sudah tidak bisa menahan dirinya lagi.
Harka melirik ke arah satu sudut rumah, di sana ia tersenyum tipis. Dia kembali berjalan ke arah perempuan yang mencoba menyembunyikan dirinya di balik selimut tebal itu, di dalam selimut yang seharusnya itu adalah milik Falerin.
"Kenapa? Lo mau sembunyikan sesuatu? Bukannya lo udah di unboxing sama kakak ipar lo sendiri?"
"HARKA! TUTUP MULUT MU!" Teriakan Faldo memenuhi ruangan itu, bahkan sampai keluar ruangan itu juga cukup menggema di sana. Falerin menutup matanya sendiri, mencoba menahan air matanya sendiri yang padahal ia sudah tidak bisa menahan kepedihan di dalam hatinya sendiri. Apakah ini petunjuk?
Harka tersenyum, ia menghampiri ke arah Faldo berada. Pria itu berusaha berdiri tegak, mencoba menghadapi Harka yang jelas-jelas sudah di kuasai oleh emosinya. Dia menarik Faldo, memukulnya untuk sekali lagi untuk memenuhi keinginannya sejak dulu untuk memukul pria itu karena sudah membuat wanitanya menderita.
"Kalau lo emang gak mau nikah sama, Falerin... " Ucapannya terjeda dan Faldo menatap ke arah Harka dengan tatapan marah, yang tidak tahu apa artinya.
"HARUSNYA LO GAK PERLU NGIKET DIA DI HUBUNGAN GAK JELAS LO ITU!! LO NYAKITIN CEWEK YANG BAHKAN GAK PERNAH NYAKITIN LO!! DAN LO!" Harka mendorong Faldo, dan menunjuk ke arah Rumi.
Benar, Rumi yang ada di sana. Entah manusia macam apa dia itu, dia bahkan melupakan usaha kakaknya sampai ia tidak perduli dengan kerja keras kakaknya selama ini, hanya untuk mencukupi nya dalam berbagai hal.
"Kakak lo kerja banting tulang buat lo, dan lo juga yang makan nafkah kakak lo. Dan ini yang lo lakuin sama dia? Manusia macam apa lo itu? Gw bahkan gak akan sudi manggil nama lo itu, lo lebih pantes di panggil lonte tau gak? Ngerti?" Setelah itu, dia pun pergi dengan membawa Falerin yang masih menunduk.
Harka membawa Falerin pergi, dari rumah itu. Padahal tujuannya adalah membawa perempuan itu pulang kembali ke rumah, tapi entah kenapa kondisinya seperti ini. Falerin sempat melepaskan tangannya dari genggaman Harka, tapi Harka dengan kuat menggenggam tangan Falerin dan sepertinya sangat enggan melepaskan genggaman itu.
"Har-"
"Gw gak mau ngomong apa-apa, lo mau ikut gw atau lo di sini sama dua babi itu?" Kalimat menusuk, sekaligus ekspresi yang bahkan tidak pernah Harka tunjukan kepadanya. Bahkan kosa kata yang tidak pernah Harka ucapkan kepadanya pada akhirnya keluar untuknya.
Melihat ekspresi Falerin yang berubah, Harka segera sadar dari emosionalnya. Dia melepaskan genggaman itu, dan memukul kepalanya sendiri karena terlalu terbawa emosi. Pria itu melihat ke arah depan dengan lurus, mendapati perempuan itu menangis di depannya, itu sukses membuatnya hancur berkeping-keping.
"Gak, enggak boleh... Enggak boleh, jangan nangis... " Harka menarik badan rapuh itu untuk masuk ke dalam pelukannya. Sampai di mana tangisan mampu ia dengar, tangisan yang tidak ingin ia dengar.
"Enggak, gak pantes nangisin dia... Gak pantes, please won't cry... Falerin, look at me?" Harka memegangi kedua sisi wajah perempuan itu yang sudah merah padam, menahan tangisan di depan orang yang tidak pantas untuk di tangisi, kenapa begitu berat?
"Ada aku di sini, jangan nangisin orang yang bahkan gak tau gimana sakitnya kamu, gimana rasanya jadi kamu... Ayo pulang, mau ya?" Falerin hanya diam, berakhir ia menyetujui ajakan Harka untuk pulang. Untuk sekarang, tidak ke rumah orang tuanya. Jika saja Falerin ke sana dalam keadaan seperti ini, mungkin masalahnya akan tambah besar.
Falerin masuk ke dalam mobil sport milik Harka, dan tidak menoleh ke arah rumah itu sama sekali. Ia memilih menutup kedua matanya, dengan salah satu tangannya yang di genggam erat oleh pria di sampingnya.
"Jangan di lihat jika kamu tidak bisa, setelah ini... Istirahat sejenak, aku akan mengurus semua ini. Tidurlah... " Di sana Harka langsung melaju tanpa berpikir panjang, bahkan security pun tidak pernah ia perdulikan di sana. Ia hanya mau Falerin tenang, tidak menangisi sesuatu yang tidak penting. Di tengah ia fokus dengan jalanan, ia hanya bisa menggerutu dalam hatinya.
Gw yang bakal bales'
Kakinya semakin menekan pedal gas mobilnya, sehingga kecepatannya tidak dapat di hitung. Emosinya seolah tidak dapat di kendalikan lagi, entah kenapa semua ini begitu memuakan. Suami tidak bertanggung jawab itu akan bimbang dengan dua pilihan nantinya, antara dia harus berpisah dengan istri sahnya atau dia masih keras kepala mempertahankan perempuan murahan itu.