"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Honeymoon...??!!!!
Haris dan Liana sudah kembali ke kamar mereka setelah mengantar keluarga pulang sampai pintu depan.
"Apa yang kamu bicarakan sama mama?" tanya Haris membuka obrolan.
"Nggak ada. Cuma saling tukar cerita." begitulah jawaban Liana.
"Oh, iya. Mama minta kita menginap di rumah kapan-kapan." imbuhnya.
"Em." hanya itu balasan dari Haris.
"Siapkan segala keperluan buat hari sabtu. Kita akan pergi ke Labuan Bajo." ujar Haris.
"Hah?!" Liana tertegun.
Sebenarnya Liana mendengar apa yang diucapkan Haris, hanya saja dia merasa aneh. Haris tidak pernah membicarakan ini sebelumnya. Bahkan saling sapa saja tidak pernah. Liana juga cenderung diabaikan ketika sedang bicara padanya. Dan malam ini, sekalinya ngobrol langsung mengajak Liana ke Labuan Bajo.
"Hellooo..., dia masih sehat kan?" gumam Liana dalam hati.
"Untuk berapa hari, mas?" tanya Liana dengan hati-hati.
Dia tak ingin terlihat terlalu exited. Walaupun sebenarnya dia benar-benar bahagia karena akan diajak pergi ke tempat yang terkenal sekali dengan keindahannya.
"Tergantung, bawa saja secukupnya. Dan ingat, jangan sentuh barangku. Aku akan merapikannya sendiri!" Haris kembali mengingatkan sang istri untuk tidak menyentuh barang pribadinya.
Liana tidak membalas lagi. Dia hanya menghembuskan nafasnya.
"Nggak apa-apa, sih. Malah enak kan, nggak nyusahin." batin Liana yang memang tak pernah ambil pusing setiap perkataan suaminya.
___
Liana sudah mempersiapkan diri dan juga segala perlengkapan yang sekiranya diperlukan. Sebelumnya dia juga sudah searching mengenai tempat yang akan dia kunjungi bersama Haris. Sehingga nanti ketika berada di sana dia tidak plonga-plongo, dan sekaligus meminimalisir cemoohan yang kiranya akan dilontarkan oleh Haris. Maklumlah, bagi Liana nilai Haris masih di bawah angka 60 karena perangainya yang tak bagus di mata Liana. Jadi pikiran negatif sering kali berseliweran di benak Liana.
Haris pun demikian, pikirannya tak kalah buruk jika sudah menyangkut tentang Liana. Seperti pagi ini, dia menelisik penampilan Liana dari ujung rambut hingga kaki. Kemudian tersenyum miring.
"Tidak ada menarik-menariknya. Apa yang kakek banggakan darinya..?? Kecuali dia penurut. Sudah seperti kerbau yang dicocok hidungnya saja."
Liana memang tidak pernah tampil berlebihan, seperti merias wajah atau berpakaian mencolok. Dia selalu memilih tampilan yang sederhana. Seperti pagi ini, dia hanya mengenakan celana jeans dan atasan kaos lengan panjang warna putih polos yang dibalut outer warna biru muda. Wajahnya juga hanya dipoles pelembab dan sunscreen, tanpa dempul dan rekan-rekannya. Pada bagian bibir hanya disapu dengan lip serum. Meski Anisa sudah mencoba membujuknya agar berdandan tipis-tipis, tapi Liana tetap kekeh tidak mau.
Mereka pun segera pergi ke bandara diantar oleh seorang supir. Sepanjang jalan tak obrolan di antara mereka. Haris sibuk dengan HP di tangannya. Liana pun hanya menikmati pemandangan sepanjang jalan, sesekali membalas pesan dari Nunik dan Damar. Dia mulai merindukan kedua teman baiknya itu. Sejak persiapan pernikahan hingga saat ini, mereka belum pernah bertemu.
Singkat cerita, tibalah mereka di bandara. Keduanya sudah memasuki pesawat, dan seorang pramugari sedang membantu menunjukkan kursi mereka. Alangkah terkejutnya Liana, karena melihat sosok Vanya yang sedang bicara via handphone di salah satu kursi penumpang.
"Rupanya kita bertiga..." gumam Liana dalam hati setelah melempar senyuman pada Vanya.
Namun Liana tidak begitu peduli, dia memilih duduk di kursinya sambil menatap pemandangan yang lapang di luar jendela.
Hal yang sama dialami juga oleh Vanya. Saat dia mencium aroma parfum milik Haris, dia tersenyum. Namun senyuman itu kemudian sirna begitu saja, karena dia melihat Liana tersenyum padanya di belakang Haris. Vanya pun menyudahi obrolannya. Lalu dia menatap Haris minta penjelasan.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan, sayang. Duduklah dengan tenang." ujar Haris sambil menahan pundak Vanya yang hendak berdiri.
"Ta..., tapi..., mas...?!" balas Vanya yang merasa tidak enak hati.
Sepengetahuan Vanya, mereka hanya pergi berdua. Dan sesuai kesepakatan, mereka akan bertemu di bandara. Tapi ternyata Haris datang bersama Liana.
"Jangan-jangan ini perjalanan bulan madu mereka. Tapi mengapa mas Haris membawaku...?" begitu batin Vanya yang merasa risau.
"Tidak Vanya, jangan merasa tak enak begini. Kalau memang tujuan mereka berbulan madu, dan mas Haris mengajakmu. Bukankah ini artinya mas Haris masih menjadi milikmu seutuhnya. Dia masih belum menerima keberadaan Ana. Dia masih ada di genggamanmu, Vanya..." begitulah suara sisi hatinya yang lain.
"Maaf, permisi tuan. Kursi ini milik beliau." seorang pramugari mendekati Haris yang duduk di samping Vanya, sambil menunjuk seorang ibu menggunakan ibu jarinya dengan sopan.
"Maaf, nyonya. Bisa saya bertukar tempat duduk dengan anda?" tanya Haris yang tak kalah sopan dengan pramugari cantik di hadapannya.
Ibu itu setuju begitu saja, tanpa banyak tanya dan protes. Namun dia tampak tersenyum aneh setelah membelakangi Haris.
"Permisi, nona..." si ibu duduk dengan penuh wibawa di samping Liana.
"Ah, iya. Silahkan, bu..." balas Liana dengan ramah.
___
Haris tak pernah jauh dari Vanya. Bahkan dia menarik tangan Vanya agar tetap di sisinya ketika hendak mendekati Liana. Dalam taksi juga mereka duduk berdua, Liana berada di samping pak supir. Sampai tiba di hotel pun sama, bahkan Haris membawa masuk kopernya dan milik Vanya di kamar yang sama.
Liana hanya diam, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia masuk ke kamarnya dan langsung menguncinya. Dia tidak menyangka hari yang sebenarnya sangat dia nantikan, nyatanya memberi dia sambutan yang mengecewakan di awal perjalanan.
"Mengecewakan...??!! Nggak, kenapa aku harus kecewa...? Dari awal memang aku dan pernikahan ini tidak diinginkan oleh mas Haris." Liana berusaha menenangkan hatinya.
"Tapi kenapa mas Haris sampai melakukan ini? Kalau memang nggak ingin pergi bersamaku, dia harusnya bilang. Bukan malah menjadikan aku obat nyamuk begini."
Suara handphone membuat Liana tersentak. Sebuah pesan dari suaminya.
Mas Haris : Aku sudah transfer uang, lakukan apapun yang kamu mau. Tapi jangan merepotkanku.
Liana hanya membacanya, tak berniat membalasnya. Dia mengecek sebuah aplikasi banking, dan benar saja uang puluhan juta sudah masuk dan menambah saldonya.
"Banyak sekali yang kasih uang jajan, kakek, mertua, suami-suamian. Aku bisa mendadak kaya kalau begini..." gerutunya sambil merebahkan tubuhnya di kasur yang super nyaman.
Bukan berarti Liana menikmati semuanya. Dia sama sekali tidak tertarik. Meski sebelumnya dia tidak pernah memegang uang sebanyak itu, nyatanya uang-uang itu tidak membuatnya terbuai.
"Tapi uang-uang ini nggak bisa membeli kebahagiaanku." ujarnya dengan suara pelan.
"Aku rindu bunda, ayah, rumah, teman-temanku..." gumamnya.
Liana tidak bisa diam saja di kamar, dia tidak akan menyia-nyiakan liburan gratis dari Haris. Dia pun pergi keluar untuk menikmati pemandangan indah di sekitar hotel.
Liana berjalan-jalan keliling hotel. Melihat beberapa fasilitas mewah yang disediakan untuk kenyamanan para pengunjung. Setidaknya dengan aktivitas ringan itu, dia tidak sibuk memikirkan sikap Haris yang menyebalkan itu.
"Iya, sungguh. Aku melihat Haris tidak duduk bersama istrinya. Tapi dengan perempuan lain."
Mendengar nama Haris disebut-sebut, membuat Liana menghentikan langkahnya dan mempertajam pendengarannya. Apalagi dia kenal dengan suara itu.
"Aku akan terus mengawasinya di hotel ini. Aku melihat taksi itu membawa mereka kemari. Hanya saja aku tidak bisa mendapatkan informasi lebih, karena pihak hotel yang sangat menjaga privasi pengunjungnya. Cepat perintahkan orangmu kemari, karena besok aku ada acara dan tidak bisa mengawasi mereka."
......................