Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IKTN 27
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, sampai dua puluh menit berlalu, Raina tak juga keluar dari kamar mandi. Norman mulai was-was, khawatir terjadi sesuatu dengan Raina di dalam sana. Bisa-bisa dirinya diamuk oleh Nero. Kadang memang aneh tuannya itu. Bilang tidak cinta dan tidak peduli, tetapi juga tidak mau ada hal buruk yang terjadi pada Raina. Sungguh, sikap yang sangat sulit diprediksi.
"Coba kulihat saja," gumam Norman sambil berjalan ke kamar mandi wanita, menyusul Raina yang masih ada di sana.
Ketika hampir tiba di depan pintu, Norman berpapasan dengan seorang wanita muda. Dia sendirian dan membawa tas belanjaan yang cukup banyak. Lantas, Norman menghentikannya, karena dari enam ruangan yang berjajar di depannya, tak ada satu pun pintu yang tertutup rapat. Semua terbuka dan tampaknya tak ada orang di dalam sana.
"Maaf, Nona, mengganggu waktunya. Saya mau tanya, apakah tadi Anda bertemu wanita muda yang mengenakan dress biru, rambutnya panjang sepinggang digerai, tubuhnya tinggi langsing, kulitnya putih cantik?" tanya Norman.
Wanita itu menggeleng. "Tidak, Tuan. Waktu saya ke sini hanya bertemu ibu-ibu gemuk dan anaknya yang masih digendong. Itu pun sudah mau pergi, kami hanya berpapasan di depan pintu."
"Anda ... serius?" Norman mulai panik.
"Serius, Tuan. Untuk apa saya berbohong?"
Tanpa menjawab lagi, Norman langsung berlari memeriksa satu demi satu ruang kamar mandi yang ternyata memang kosong. Hanya bekas lantai basah yang ada, sementara tanda-tanda keberadaan Raina sama sekali tak tampak.
"Nona, Anda di mana? Jangan mempersulit saya!" batin Norman dengan pikiran yang mulai kacau. Bagaimana dirinya akan menjelaskan kepada Nero jika Raina hilang. Akankah ada ampun untuknya?
Sambil berjalan pergi, Norman memijit pelipis dan mengingat-ingat kejadian barusan. Ia buat slow motion agar terlihat di mana letak kejanggalannya.
Namun, tak ada. Sepanjang dia berdiri menunggu, tak ada wanita yang serupa Raina keluar dari kamar mandi tersebut. Lalu ... ke mana wanita itu sekarang? Tidak mungkin kan keluar lewat lubang angin, ini bukan cerita fantasi yang mana manusianya bisa berubah menjadi cahaya dan bisa keluar masuk lewat titik kecil, atau menghilang dan langsung pindah tempat hanya dengan kedipan mata.
Tidak! Ini adalah dunia nyata. Sangat mustahil Raina pergi tidak dari pintu, mustahil pula bisa transparan dan tidak terlihat olehnya. Kemungkinkan paling masuk akal hanya satu ... Raina berganti pakaian yang sangat berbeda hingga mengecoh penglihatannya. Namun, untuk apa? Dan ... dari mana mendapatkan pakaian? Bukankah tadi sewaktu masuk ke sana hanya membawa tas kecil yang tak mungkin muat baju meski hanya sepotong?
Ah, tunggu!
Norman tiba-tiba curiga dengan tas belanjaan yang dia bawa. Mungkin ada petunjuk yang tertinggal di sana.
Lantas, dengan cepat Norman berhenti dan mengorek semua barang yang ada di dalam tas tersebut. Sampai kemudian ... dia menemukan kartu kredit milik Nero, terselip di antara alat make up yang dibeli oleh Raina.
"Aku yakin tadi kartu ini ada di dompet Nona. Aku melihat langsung saat Nona mengeluarkannya ketika akan membayar belanjaan. Jika sekarang ada di sini, artinya ... Nona benar-benar kabur. Ah, sial! Dia berhasil mengelabuhiku!"
Tanpa memedulikan barang belanjaan yang kini berserak di lantai, Norman berlari keluar dan menuju tempat parkir. Hanya kartu kredit Nero yang dia bawa, sementara yang lain tidak. Sudah tak ada waktu untuk mengurusi benda-benda tersebut.
Tiba di tempat parkir, Norman menajamkan pandangan ke sana kemari, mencari sosok Raina yang mungkin sudah mengubah penampilannya, entah seperti apa. Namun, setajam apa pun Norman melihat, memang tak ada Raina di sana.
Dalam kepanikannya, Norman berusaha menghubungi nomor Raina. Lagi-lagi usahanya berakhir nihil. Nomor Raina tidak aktif, dan dia yakin itu memang disengaja.
"Sial! Benar-benar sial!" Norman terus mengumpat, sembari masuk ke mobil dan melaju mencari Raina entah ke mana.
Sambil mengemudi, Norman berusaha menghubungi Nero. Beberapa kali panggilan tak ada jawaban, mungkin tuannya itu masih tidur. Sekarang baru jam sembilan, artinya di London masih jam 2 dini hari.
"Jawab, Tuan! Cepat! Ini darurat!" Norman membentak-bentak ponselnya sendiri, sambil tetap menghubungi Nero yang entah sudah keberapa kali.
Namun, tak lama kemudian Norman bernapas lega. Setelah berulang kali menelepon, akhirnya Nero merespon juga.
"Kau menghubungiku sampai sembilan kali. Ada apa, Norman?" tanya Nero dari seberang sana. Dia sudah mencium sinyal buruk dari cara Norman menghubunginya.
"Tuan ... Nona Raina kabur, saya kehilangan jejaknya!" jawab Norman tanpa mengelak.
Bersambung...