Hi hi haaayyy... selamat datang di karya kedua akuu... semoga suka yaaa 😽😽😽
Audrey dipaksa menggantikan adiknya untuk menikah dengan seorang Tuan muda buangan yang cacat bernama, Asher. Karena tuan muda itu miskin dan lumpuh, keluarga Audrey tidak ingin mengambil resiko karena harus menerima menantu cacat yang dianggap aib. Audrey yang merupakan anak tiri, harus rela menggantikan adiknya. Namun Asher, memiliki rahasia yang banyak tidak diketahui oleh orang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qaeiy Gemilang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dagdigdug serrr
“Sayang, sini biar aku bersihkan lukamu-“
“Menyingkir! Jangan sentuh aku saat aku sedang kesal!” Devan menepis tangan Callie yang hendak membersihkan darah dan beberapa pecahan kaca kecil menancap di wajahnya.
Saat ini, Devan, Callie dan Brianna sudah meninggalkan toko dan sedang menuju ke arah rumah sakit.
“Tapi... Aku benar-benar khawatir, sayang. Aku takut jika ada pecahan kaca yang mengenai matamu,” ucap Callie dengan hati-hati.
Devan meringis masih merasakan perih yang luar biasa di wajahnya. “Aku tidak akan buta, bodoh! Sebelum si brengsek itu membenturkan wajahku, aku menutup mataku!” geramnya murka.
“Calon anak menantu, apakah anda tahu Asher itu siapa? Sepertinya dia benar-benar berkuasa-“
“Diam!” bentak Devan yang membuat Brianna menutup mulutnya. “Yang berkuasa di kota ini hanya Keluarga Flavio! Aku akan memperkarakan kejadian ini!” sambung Devan yang masih berselimut emosi.
Callie dan Brianna tidak lagi menjawab dan memilih untuk mengabaikan Devan ketika wajah pria itu masih dipenuhi amarah. Daripada mereka terkena imbas, lebih baik ibu -anak itu berdiam diri selama mobil melaju.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Audrey mendorong kursi roda ke dalam kediaman saat mereka baru saja tiba. “Tuan, ada apa denganmu?” tanya Kane berlari menghampiri Asher saat melihat wajah pria itu pucat dengan bekas darah di buku-buku tangan Asher.
“Aku tidak apa-apa. Kamu tolong berikan obat untuk Audrey, pipinya bengkak-“
“Tidak, tolong obati dulu tangan Asher. Tadi, ada pecahan kaca yang tertancap,” potong Audrey dengan cepat.
Asher membuang nafas. “Lukaku, aku ingin Audrey yang mengobatinya,” ucap Asher pelan, bahkan nyaris tak terdengar. Asher malu karena ingin mendapatkan perhatian dari Audrey.
Audrey tersenyum sambil menatap ke arah Kane. “Hmm... Kane, aku minta tolong. Antar beberapa obat untuk luka. Aku akan mengantarkan Asher ke kamar.”
Kane mengangguk dan segera pergi ke ruang obat. Audrey buru-buru mendekati Asher, menggenggam tangan pria itu dengan penuh kelembutan. Dia tahu betapa kerasnya Asher pada dirinya sendiri, dan dia ingin memberikan dukungannya sebagai pasangan.
“Kenapa kamu malu untuk meminta bantuan, Asher?” Audrey bertanya dengan lembut.
Asher menatap Audrey dengan penuh keraguan. “Hmm... Tidak ada. Antar aku ke kamar!” Perintah Asher sambil membuang wajah, mencoba menyembunyikan kedua pipinya yang terasa panas.
Audrey merasa geli melihat sikap Asher seperti itu. Dia pun tersenyum sambil mendorong kursi tersebut ke kamar.
“Apa kamu ingin tiduran?” tanya Audrey saat mereka sudah tiba di dalam kamar.
“Tolong bantu aku untuk berbaring.”
Audrey membantu Asher berbaring dengan hati-hati. Pria itu terlihat lelah dan tak berdaya. Dalam keadaan seperti ini, Audrey merasa lebih dekat dengan Asher. Dia ingin memberikan kenyamanan dan dukungan yang penuh selama proses pemulihan Asher.
Setelah Asher berbaring, Audrey menutupinya dengan selimut yang lembut. Dia duduk di samping tempat tidur. “Apakah kamu merasa sakit?” tanya Audrey.
Asher menggelengkan kepala pelan. “ Itu tidak seberapa. Aku lebih khawatir tentang kondisimu. Apa pipimu sakit?”
Audrey tersenyum. “Pipi ini hanya memar kecil, tidak apa-apa. Yang penting sekarang, kamu harus istirahat dan sembuh sepenuhnya. Aku akan selalu ada di sini untukmu.”
Asher menarik nafas dalam-dalam. Dia merasa beruntung memiliki Audrey di sisinya. Meski mereka baru dalam hubungan yang masih dalam tahap awal, Asher merasa Audrey adalah orang yang dapat menguatkan dan memberinya ketenangan di tengah kesulitan. Pria itu pun memejamkan mata.
"Apa yang kamu lakukan?" Asher tiba-tiba terlonjak kaget ketika Audrey memegangi kakinya.
"Memijit. Kan, kakimu sakit."
Asher tampak gugup, tubuhnya tremor saat Audrey menyentuhnya. Bagi seorang pria yang tertutup seperti Asher, hal seperti ini adalah hal pertama kali. Asher merasa begitu canggung dengan sentuhan fisik yang Audrey lakukan.
"Kamu akan lelah. Jadi hentikan!" pinta Asher yang menyembunyikan rasa gugupnya.
Tok tok tok
"Nyonya, aku mengantarkan obat!" seru Kane di depan pintu kamar.
Asher yang kaget, refleks mendorong tubuh Audrey. "Aduh, Asher, apa yang kamu lakukan? Kenapa mendorongku-“
“Masuk!” Asher berteriak.
Kane masuk ke dalam kamar dengan ekspresi heran. “Apa yang terjadi?”
Asher merasa wajahnya memanas. Tidak ada!” jawabnya tergesa-gesa.
Kane mengangguk mengerti dan memberikan obat kepada Asher. “Baiklah, jika begitu. Aku akan meninggalkan kalian berdua sekarang.”
Setelah Kane pergi, Asher menatap Audrey dengan rasa malu. “Ini, obati!” perintah Audrey sambil menjulurkan tangannya yang terluka dengan membuang wajahnya ke arah berlawanan.
Audrey membuang nafas, dia masih belum mengerti dengan sifat suaminya yang kadang-kadang aneh. Karena sikapnya yang selalu berubah-ubah.
“Baiklah, aku akan mengobatinya,” kata Audrey sambil mengambil obat dan mulai mengobati luka Asher dengan hati-hati.
Asher merasa campur aduk antara malu dan senang. Asher merasa bahwa dia tidak pantas mendapatkan perawatan dan perhatian seperti ini, tetapi pada saat yang sama, dia menyukainya. Asher hanya berharap bahwa Audrey dapat melihat melalui kerentanannya dan menerima dia sepenuhnya.
'Aku benar-benar payah. Mengapa aku jadi gugup begini saat berdua saja? Bisakah Audrey mengobati tanganku lebih cepat?' Asher membatin.
"Ini sudah selesai. Jika sudah tidak ada yang aku lakukan, aku akan keluar," ucap Audrey setelah selesai mengobati luka Asher.
Asher mengangguk dengan cepat, masih merasa gugup. "Baiklah, terima kasih atas bantuanmu." Dia berusaha mengendalikan rasa gugupnya dan tersenyum kepada Audrey, mencoba menunjukkan bahwa segala sesuatunya baik-baik saja.
Audrey mengembalikan senyuman itu, meskipun dia bisa melihat ketidak nyamanan Asher. "Jika ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk memanggilku.”
Belum sempat Asher menjawab ucapan Audrey, ponsel Asher berdering. Dengan cepat, Asher meraba-raba sakunya, dan dengan cepat menggeser tombol hijau.
“Ada apa Franklin?”
“Tuan, Kakek Hansel meminta anda untuk datang ke perusahaan untuk mengikuti rapat direksi.”
Asher mengangkat alisnya heran. “ Rapat direksi? Oh, baiklah, beritahu Kakek Hansel bahwa aku akan segera datang.”
Audrey melihat kebingungan di wajah Asher dan bertanya, “Ada masalah apa? Apa yang terjadi di perusahaan?”
Asher merasa berat hati untuk menjelaskan semuanya kepada Audrey. “Kakek Hansel meminta aku untuk mengikuti rapat direksi yang mendesak. Sepertinya ada isu-isu penting yang sedang terjadi di perusahaan. Aku harus segera pergi.”
Audrey melihat ketegangan dalam wajah Asher dan mengerti bahwa ini adalah masalah yang harus dihadapi Asher sendiri. “ Baiklah, aku mengerti. Perhatikan dirimu sendiri dan berhati-hatilah di luar sana.”
Asher tersenyum padanya dengan penuh penghargaan. “Terima kasih atas pengertiannya. Aku akan segera kembali setelah rapat selesai.”
Audrey berdiri setelah mendengar penjelasan Asher. Sebelum dia keluar, Audrey mendekatkan wajahnya di dahi Asher. Asher terpaku dengan sikap Audrey, dia mematung.
“Semoga rapatnya berjalan lancar, ya!” Audrey mengecup kening Asher dengan lembut lalu disusul dengan senyuman manis.
Dada Asher seketika ingin meledak saat mendapatkan ciuman dari Audrey. “Aku keluar, ya!” pamit Audrey.
Asher hanya mengangguk sambil memperhatikan punggung Audrey yang hilang di balik pintu.
mampir juga dikarya aku ya jika berkenan/Smile//Pray/