Nadia, seorang gadis desa, diperkosa oleh seorang pria misterius saat hendak membeli lilin. Hancur oleh kejadian itu, ia memutuskan untuk merantau ke kota dan mencoba melupakan trauma tersebut.
Namun, hidupnya berubah drastis ketika ia dituduh mencuri oleh seorang CEO terkenal dan ditawan di rumahnya. Tanpa disangka, CEO itu ternyata adalah pria yang memperkosanya dulu. Terobsesi dengan Karin, sang CEO tidak berniat melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Dua
Pandangannya terfokus pada bak mandi yang kosong. Dia membuka keran, membiarkan air dingin mengalir hingga penuh. Ketika uap dingin mulai naik, ia melangkah masuk, tubuhnya segera tersentak oleh dinginnya air.
Dia tahu ini tindakan bodoh, tetapi baginya, ini satu-satunya cara untuk melawan. Jika Samuel ingin mengurungnya, maka ia akan menyiksa dirinya sendiri untuk menunjukkan bahwa dia tidak akan tunduk. Setiap detik dalam air itu seperti tusukan pisau, tetapi ia tetap bertahan.
Ketika akhirnya ia keluar dari bak mandi, tubuhnya menggigil tak terkendali. Namun, ia merasa puas. Ini pemberontakan kecilnya, meski hanya ia yang tahu.
Nadia rentan terhadap penyakit, terutama pada cuaca dingin. Meski belum pulih sepenuhnya dari flu sebelumnya, tubuhnya kembali tersiksa. Seperti yang dikhawatirkan, mandi air dingin menyebabkan demam di tengah malam.
Pagi itu, saat sarapan, Samuel menyadari kursi Nadia kosong. Ia meliriknya sekilas, lalu bertanya pada Randy, "Dia masih tidur?"
Randy menjawab dengan sopan, "Haruskah saya membangunkan Nona Nadia, Tuan Samuel?"
Samuel menggelengkan kepala. "Tidak perlu. Biarkan dia istirahat. Mungkin obat flu membuatnya mengantuk."
Setelah sarapan, Samuel pergi bekerja untuk menghadiri negosiasi kontrak penting. Namun, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, Nadia masih belum bangun, membuat Randy merasa khawatir. Ia akhirnya mengetuk pintu kamar Nadia beberapa kali hingga suara lemah dari dalam menjawab.
Saat pintu terbuka, Randy terkejut melihat wajah pucat Nadia. "Nona Nadia! Apa yang terjadi dengan Anda?"
Ia membantu Nadia kembali ke tempat tidur dan segera mengukur suhu tubuhnya. Termometer menunjukkan angka 37,8°C. Penuh kecemasan, Randy memanggil dokter pribadi Samuel, Dr. William, dan melaporkan kondisinya pada Samuel melalui telepon.
Namun, panggilannya tidak dijawab. Samuel sedang berada dalam rapat dan menyetel ponselnya dalam mode senyap. Dua jam kemudian, setelah rapat selesai, Samuel melihat panggilan tak terjawab dari Randy dan segera menelepon balik.
"Apa yang terjadi, Randy?" tanyanya dengan nada serius.
"Nona Nadia sakit parah, Tuan Samuel. Suhunya mencapai 37,8°C pagi ini," jawab Randy.
"Apakah dokter sudah memeriksanya?"
"Sudah, Tuan. Dr. William meresepkan antipiretik dan memastikan ia makan dengan baik."
Samuel menghela napas lega sejenak. "Baik. Jaga dia dengan baik. Beri tahu saya jika ada perkembangan."
Setelah menutup telepon, pikiran Samuel berputar. Semalam, Nadia tampak sehat dan hampir sembuh. Tapi kini, kondisinya memburuk tanpa alasan jelas.
Begitu selesai bekerja, Samuel langsung pulang. Di vila, Dr. William sedang memantau kondisi Nadia. Walaupun demamnya telah turun berkat obat, pileknya semakin parah. Saat Samuel tiba, Randy memberikan laporan.
"Suhu tubuhnya sudah normal, Tuan Samuel, tetapi pileknya masih parah. Ia sekarang beristirahat di kamarnya," jelas Randy.
Samuel melepas mantelnya dan melonggarkan dasinya sebelum duduk di sofa. Ia melirik William dengan tatapan penuh tanya. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Dr. William, yang terlihat gugup di bawah tatapan tajam Samuel, berusaha menjelaskan. "Aku yakin ini bukan karena kesalahan medis atau obat-obatan yang aku berikan, Samuel. Setelah pemeriksaan awal, aku rasa penyebabnya sama seperti sebelumnya: dia masuk angin."
Randy, yang mendengar dari dekat, segera menambahkan, "Tapi, aku sudah memastikan dia dirawat dengan baik setiap hari. Tidak mungkin dia masuk angin begitu saja."
Dr. William mengernyit, seolah ragu untuk melanjutkan. "Ini mungkin... akibat ulahnya sendiri."
Samuel menatapnya dengan lebih tajam. "Jelaskan."