Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjebak di TMII
Saat Adi memutar haluan ke Jalan Taman Mini I menuju jalur selatan, Kimi memutuskan untuk menonaktifkan kembali SIM card di ponselnya. Gadis itu tak mau lagi berurusan dengan tunangan Adi yang membuat tuduhan menyebalkan seperti tadi.
“Kimi, pantau terus petanya!” pinta Adi, sambil terus memacu bajajnya. Jalan di depan masih terlihat lengang, dan Adi berharap bisa menghindari kemacetan yang semakin parah.
“Oke Di!” jawab Kimi sambil memantau kembali peta offline di ponselnya.
Adi kembali fokus mengemudi. Ia segera mengambil rute kiri menuju jalur masuk area TMII. Jalan itu cukup lebar, dan tampaknya mereka akan baik-baik saja. Namun tak lama kemudian, mereka dihadang oleh seorang petugas yang mengangkat tangan menyuruh mereka berhenti.
"Maaf, Pak. Sementara jalur ini tidak bisa digunakan. Sedang ada pawai Nusantara," kata si petugas dengan sopan.
Adi terdiam, mencoba mencerna situasi. "Pawai? Lama nggak, Pak?" tanya Adi mulai panik.
"Paling hanya satu jam, Pak. Kecuali kalau Bapak dan Ibu mau berwisata ke TMII," jawab petugas itu ramah.
Satu jam? Bagi orang yang punya banyak waktu, itu mungkin terdengar sebentar, tapi bagi Adi, satu jam terdengar sangat lama.
"Baiklah, kami akan berwisata, Pak!" jawab Adi cepat, mencoba mencari solusi tercepat. Ia berpikir bahwa mungkin bajajnya dapat menembus pawai dengan memanfaatkan celah yang ada.
Petugas itu tampak ragu sejenak, namun kemudian mengangguk dan mengizinkan mereka masuk. “Silakan masuk, Pak, tapi hati-hati, jalan di depan agak ramai karena pawainya,” katanya sembari memberi isyarat agar mereka melanjutkan perjalanan.
Namun, begitu mereka samai di depan pintu masuk TMII, pawai itu jelas-jelas mematikan jalan. Hampir tidak ada celah. Di sekitar mereka, pedagang-pedagang sibuk menjajakan dagangannya, mulai dari boneka, baju, aksesoris, hingga makanan. Adi menatap jalanan yang padat dan akhirnya bertanya ke Kimi, “Gimana kalau kita masuk ke jalur area taman TMII?”
Kimi membuka peta offline di ponselnya dan memeriksa jalur alternatif. “Sepertinya bisa,” jawabnya ragu-ragu.
Adi pun memutuskan untuk benar-benar masuk ke TMII. Mereka meluncur ke depan, namun tak jauh dari pintu masuk, seorang petugas lain menghentikan mereka.
"Pak, maaf, kendaraan biasa tidak diperbolehkan masuk," kata si petugas sambil menatap bajaj mereka dengan ekspresi heran.
Adi mencoba berargumen, "Biasanya juga bisa, kan Pak?"
"Ini aturan baru, Pak," jawab petugas itu, sambil menatap bajaj mereka. "Sekarang kendaraan biasa tak bisa masuk, harus naik odong-odong atau kendaraan listrik yang sudah terdaftar secara resmi."
“Tolong Pak, sekali ini saja, kami sedang terdesak!”
“Maaf Pak, aturannya memang begitu.”
Adi berusaha mencari jalan keluar. “Kalau begitu, kami akan mendaftar secara resmi, boleh Pak?” tanyanya, meski tak yakin dengan idenya sendiri.
Si petugas memandangi bajaj mereka sejenak sebelum berkata, "Ini hanya kendaraan biasa, Pak. Biasanya untuk kendaraan wisata harus ada perubahan. Harus ada dekorasi." Jawab si petugas, mencari-cari alasan.
Adi menoleh ke Kimi, matanya penuh harap. “Kimi, kamu bisa menghias bajaj ini? Mungkin kita bisa beli beberapa boneka dan hiasan lain dari pedagang-pedagang di sini.”
Kimi terdiam sejenak, merenungkan ide itu. “Kamu yakin mau daftar resmi?” tanyanya.
“Tidak ada jalan lain,” jawab Adi tegas, meski dalam hatinya masih ragu.
Adi pun memutar arah mendekati para pedagang. Di sana Adi segera membeli beberapa boneka dan hiasan-hiasan lain. Sementara Kimi membeli kain batik dari seorang pedagang baju, serta sebuah gunting dan beberapa tali rami. Tadinya ia mencari benang dan jarum, tapi mereka bukan sedang di pasar serba ada, jadi hanya itu yang mereka dapatkan.
"Kamu yakin dengan semua ini kamu bisa mendekor bajaj kita?" tanya Adi, masih bingung.
Kimi menatap Adi dengan penuh percaya diri. “Beri aku waktu sepuluh menit,” katanya tegas.
Dengan sigap, Kimi melipat kain batik menjadi bentuk persegi empat, kemudian menempatkan boneka-boneka di atasnya. Dengan teliti gadis itu mengikat boneka-boneka itu dan hiasan-hiasan lainnya ke kain batik yang sudah diberi lubang menggunakan tali rami yang mereka beli. Kain batik yang sudah penuh hiasan boneka dan bunga lucu itu kemudian diletakkan di atas bajaj, dan keempat sisinya diikat ke badan bajaj dengan kuat.
“Cara ini tak akan merusak bajajnya. Kita tahu kita harus mengembalikan bajaj ini dengan utuh, meski kamu masih harus mengganti biaya perbaikan bodi yang sedikit penyok,” kata Kimi sambil menatap badan bajaj yang sedikit penyok akibat insiden sebelumnya.
Adi kagum melihat keterampilan Kimi. Ia tak menyangka Kimi bisa begitu cekatan dalam hal ini. Bajaj mereka kini terlihat berbeda, seperti kendaraan wisata yang unik.
Mereka pun kembali menemui si petugas, membawa bajaj yang sudah dihias itu. Petugas tersebut menatap bajaj itu dengan tatapan aneh, bingung apakah yang dilihatnya adalah bajaj biasa atau kendaraan wisata resmi.
Adi keluar dari dalam bajaj, lalu dengan percaya diri ia bertanya, "Bagaimana Pak, apa sekarang kami sudah bisa mendaftar?" Si petugas memandang bajaj itu dengan cermat, lalu berkata dengan nada skeptis, "Tidak bisa, Pak. Walaupun sudah dihias, kendaraan Anda tidak masuk kualifikasi."
Adi dan Kimi terkejut. "Tapi, Pak, kami sedang terdesak!" ujar Adi, mencoba meyakinkan si petugas.
Si petugas tampak berpikir sejenak, lalu dengan gerak-gerik mencurigakan, ia mendekat. "Sepertinya kalian benar-benar membutuhkan pekerjaan. Ya, akhir pekan ini TMII memang sangat ramai, kalian mungkin bisa mendapat banyak uang di sana," katanya sambil melirik keramaian di area masuk TMII. "Baiklah, tapi... ada biaya pendaftaran," lanjutnya dengan nada yang lebih rendah, jelas berusaha memanfaatkan situasi.
Adi dan Kimi saling pandang. "Berapa biayanya, Pak?" tanya Kimi dengan nada penuh waspada.
"Dua ratus ribu!" jawab si petugas tanpa ragu.
Adi dengan cepat meminta uang yang dititipkan di tas Kimi sebanyak dua ratus ribu rupiah. "Deal! Ini uangnya. Mana formulir pendaftarannya?" Adi menyerahkan uang itu sambil menunggu si petugas bertindak.
Si petugas tampak bingung sejenak, kemudian berpura-pura pergi ke loket dan kembali dengan secarik kertas. "Untuk sementara, saya catat data Anda di sini. Nanti kami pindahkan ke formulir, kebetulan... kebetulan formulirnya habis," katanya terbata-bata.
"Baiklah," kata Adi dengan sedikit curiga namun terpaksa menerima. Ia pun menandatangani kertas pendaftaran yang tampak konyol itu, sementara si petugas memberikan sebuah kertas lain yang ditandatangani tanpa cap resmi. "Ini tanda izinnya," kata si petugas dengan wajah tidak yakin.
Dengan izin aneh itu di tangan, Adi dan Kimi akhirnya berhasil masuk ke area TMII. "Kimi, sekarang beri tahu aku jalannya," kata Adi sambil mulai bergerak pelan di antara kerumunan pengunjung.
TMII memang ramai, dengan orang-orang yang mengantri naik odong-odong maupun kendaraan listrik resmi. Adi bergerak dengan percaya diri, bermodalkan secarik kertas izin yang diragukan keasliannya. Namun, saat mereka mulai memasuki area yang lebih padat, Kimi tiba-tiba panik.
"Ya ampuuun, Di! Aku tak sengaja mengeluarkannya! Aku harus memulai lagi," kata Kimi, terlihat panik.
"Ya sudah, cepat masuk Google Maps lagi," ujar Adi, sedikit kesal namun tetap berusaha tenang.
Kimi pun buru-buru mengaktifkan kembali SIM card-nya dan memproses peta. Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan perjalanan, mereka dikejutkan oleh seorang anak kecil yang menangis keras sambil memohon kepada ibunya untuk naik bajaj mereka berkeliling TMII.
Ibunya, yang tak tega melihat anaknya menangis, akhirnya menghampiri bajaj itu. "Maaf, Pak, Bu, anak saya sangat ingin naik odong-odong ini. Boleh kami ikut berkeliling?" tanya sang ibu dengan sopan.
Adi dan Kimi saling pandang, bingung dengan situasi yang mendadak ini. Namun, melihat anak kecil yang memandang mereka dengan mata penuh harap, mereka pun tak tega menolak.
"Kita benar-benar berhasil membuat bajaj ini terlihat lucu," keluh Adi kepada Kimi dengan seutas senyum yang dipaksakan. “Tapi kita tidak akan mengajak mereka kan?”
“Di, kasihan. Lihat anak itu menangis, dia benar-benar ingin naik odong-odong kita…” kata Kimi.
“Ini bajaj, bukan odong-odong, dan sekarang kita sedang dalam misi mendesak!” tegas Adi, mengingatkan.
“Mau bagaimana lagi, kita memang petugas odong-odong resmi kan?” sahut Kimi, mengingatkan balik.
Adi menatap kertas izin itu sesaat, kemudian dengan sedikit enggan, Adi pun akhirnya sepakat untuk mengajak ibu dan anak itu berkeliling TMII. Kini mereka berempat di dalam bajaj, perlahan melintasi jalanan taman mini yang dipenuhi keramaian, sembari mencari arah tujuan mereka sebenarnya.
Dalam perasaan campur aduk antara kasihan kepada si anak dan keinginan untuk cepat-cepat pergi, tiba-tiba ponsel Kimi berbunyi. Nomor yang tertera di layar membuatnya sedikit tegang—nomor Karin. Dengan enggan, Kimi pun mengangkat panggilan. "Halo, assalamu'alaikum..." sapanya, mencoba terdengar tenang.
"Hey, perempuan murahan! Kenapa kamu mematikan ponsel? Dari tadi aku hubungi kok nggak bisa? Mana Adi? Aku ingin bicara dengan Adi!" Suara Karin terdengar tajam dan penuh tuduhan.
Kimi merasa kesal dipanggil dengan sebutan kasar lagi. "Adi masih sibuk!" jawabnya dengan nada ketus, mencoba menahan emosinya.
Tiba-tiba, si anak kecil yang duduk di samping Kimi berseru riang, "Lihat, Ma! Ada istana boneka di sana!" Mata anak itu berbinar-binar saat ia melihat Istana Anak-anak Indonesia di kejauhan, dengan warna-warni bangunannya yang mencolok dan suasana ceria di sekitarnya.
Karin yang mendengar suara anak itu langsung bereaksi, "Suara anak siapa itu?" tanyanya dengan nada curiga.
"Bukan anak siapa-siapa!" jawab Kimi, berusaha tetap tenang meskipun hatinya bergejolak.
"Jangan bohong! Oh tidak, anak siapa itu? Kalian benar-benar selingkuh ya? Atau jangan-jangan sudah menikah diam-diam? " tuduh Karin dengan nada semakin panik.
"Kalau iya, terus kenapa?” tantang Kimi.
“Apa?!!” Karin terdengar sangat syok.
“Kamu mulai ngaco. Sudah, kami sedang sibuk," ujar Kimi, mencoba mengakhiri percakapan. Tanpa menunggu tanggapan dari Karin, ia langsung mematikan panggilan dan kembali menonaktifkan SIM card-nya. “Astaghfirulloohaladziim…” gumam Kimi berusaha menenangkan diri.
Mereka melanjutkan perjalanan, berkeliling ke berbagai objek wisata di kawasan TMII. Bajaj yang mereka naiki melewati banyak tempat menarik, mulai dari Taman Legenda Keong Emas, yang dipenuhi anak-anak yang antusias ingin melihat pertunjukan, hingga Anjungan Daerah yang menampilkan replika rumah adat dari seluruh Indonesia. Semuanya tampak menarik perhatian si anak kecil yang terus mengoceh riang di sepanjang perjalanan, membuat Kimi ikut tersenyum di balik cadarnya.
Bersama dua penyewa dadakan itu bajaj pun menghabiskan waktu berkeliling hampir setengah jam, dan itu membuat Adi merasa frustrasi. Rencananya untuk mendapatkan jalan pintas malah membuatnya benar-benar menjalankan pekerjaan sebagai sopir odong-odong. Sementara itu, Kimi mencoba menikmati setiap pemandangan dan suasana yang ada bersama si ibu dan anak, mencoba mengabaikan kekacauan yang baru saja terjadi.
Dalam keputusasaan, Adi berbisik kepada Kimi, "Kimi, kita harus bagaimana? Aku nggak tahan lagi."
Kimi menjawab dengan tenang, "Kita hanya harus jujur, Adi. Kita sudah mendaftar resmi sebagai petugas odong-odong, maka kita harus menjalankan tugas."
Jawaban Kimi yang enteng itu justru membuat Adi semakin frustrasi. Ia menghela napas panjang, merasa terjebak dalam situasi yang tidak ia harapkan.
Akhirnya, setelah berkeliling cukup lama, mereka sampai kembali di tempat semula. Si anak kecil tampak sangat senang, tersenyum lebar sambil melompat-lompat kegirangan. Kimi ikut merasa senang melihat keceriaan anak itu, merasa setidaknya ada hal positif yang muncul dari situasi ini.
Namun, Adi, sebaliknya, hanya merasa lelah dan ingin cepat keluar dari situasi aneh ini. Dengan memaksakan senyum, ia menerima upah dari si ibu, yang memberikan beberapa lembar uang sebagai tanda terima kasih. Sementara si ibu dan anaknya berjalan pergi dengan wajah bahagia, Adi hanya bisa menatap uang itu dengan perasaan campur aduk, masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Meski tak ia pungkiri, di balik kelelahan dan keengganannya, terselip juga sedikit rasa bangga—jerih payahnya mengendarai bajaj tadi ternyata membawa kebahagiaan kecil bagi orang lain.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.