Karena sebuah mimpi yang aneh, Yuki memutuskan untuk kembali ke dunia asalnya. Walaupun Dia tahu resikonya adalah tidak akan bisa kembali lagi ke dunianya yang sekarang. Namun, saat Yuki kembali. Dia menemukan kenyataan, adanya seorang wanita cantik yang jauh lebih dewasa dan matang, berada di sisi Pangeran Riana. Perasaan kecewa yang menyelimuti Yuki, membawanya pergi meninggalkan istana Pangeran Riana. Ketika perlariaannya itu, Dia bertemu dengan Para Prajurit kerajaan Argueda yang sedang menjalankan misi rahasia. Yuki akhirnya pergi ke negeri Argueda dan bertemu kembali dengan Pangeran Sera yang masih menantinya. Di Argueda, Yuki menemukan fakta bahwa mimpi buruk yang dialaminya sehingga membawanya kembali adalah nyata. Yuki tidak bisa menutup mata begitu saja. Tapi, ketika Dia ingin membantu, Pangeran Riana justru datang dan memaksa Yuki kembali padanya. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hari Yuki dan Pangeran Riana. Semua di sebabkan oleh wanita yang merupakan bagian masa lalu Pangeran Riana. Wanita itu kembali, untuk menikah dengan Pangeran Riana. Ketika Yuki ingin menyerah, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Namun, sesuatu yang seharusnya menggembirakan pada akhirnya berubah menjadi petaka, ketika munculnya kabar yang menyebar dengan cepat. Seperti hantu di malam hari. Ketidakpercayaan Pangeran Riana membuat Yuki terpuruk pada kesedihan yang dalam. Sehingga pada akhirnya, kebahagian berubah menjadi duka. Ketika semua menjadi tidak terkendali. Pangeran Sera kembali muncul dan menyelamatkan Yuki. Namun rupanya satu kesedihan tidak cukup untuk Yuki. Sebuah kesedihan lain datang dan menghancurkan Yuki semakin dalam. Pengkhianatan dari orang yang sangat di percayainya. Akankah kebahagiaan menjadi akhir Yuki Atau semua hanyalah angan semu ?. Ikutilah kisah Yuki selanjutnya dalan Morning Dew Series season 3 "Water Ripple" Untuk memahami alur cerita hendaknya baca dulu Morning Dew Series 1 dan 2 di profilku ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Yuki berusaha bangkit, rasa dingin menyengat merayap di kulitnya. Ia merasakan kelemahan di seluruh tubuh, tetapi ia tahu ia harus bergerak. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia meraih botol air minum yang tergeletak di sampingnya. Ia membuka tutupnya dan meneguk air, merasakan kesegaran yang sedikit menghidupkan semangatnya.
Setelah meminum air, ia merenung sejenak, menatap dinding kuil yang dingin. Menatap sekeliling ruangan, mencari tahu apa yang bisa membantunya. Dengan tenang, Yuki mulai merapikan dirinya, memastikan mantel hangatnya masih terpasang. Ia berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang, berfokus pada kebutuhannya untuk tetap waspada.
Saat ia melihat tasnya berserakan di sudut, keinginan untuk mengambilnya muncul. Namun, ia mengabaikannya. Yuki akan mengambilnya nanti. Ia perlu keluar dari sini.
Dengan hati-hati, Yuki melangkah menuju pintu kuil.
Yuki menatap sekeliling dengan kebingungan yang masih tersisa di pikirannya. Kepalanya berdenyut, dan dalam hati, ia bertanya-tanya berapa lama ia telah pingsan. Rasa waktu seakan hilang, dan dunia di sekitarnya terasa asing. Saat ia mendorong pintu terbuka, udara dingin musim dingin langsung menyambutnya. Warna putih menyebar di hadapannya—salju tebal menutupi setiap sudut tanah di Garduete. Musim dingin telah tiba dengan penuh kekuatan.
Angin dingin menggigit kulitnya, dan Yuki refleks memegang kepalanya yang terasa sakit. Pusing yang ia rasakan semakin menyulitkan langkahnya, tapi ia tahu ia harus terus berjalan, meninggalkan kuil ini dan mencari bantuan.
Yuki berbisik pada diri sendiri, dengan lelah “Tak ada gunanya tinggal di sini… Aku harus menemukan seseorang… Harus keluar dari tempat ini.”
Ia melangkah ke luar, kakinya menjejak salju yang dingin, namun ia dihantam oleh aroma yang begitu familier. Aroma yang sudah lama ia lupakan, aroma yang dulu sangat tidak disukainya. Bau yang dulu menyertainya ketika pertama kali tiba di dunia ini—sebuah aroma dunia yang asing, keras, dan penuh ancaman.
Yuki berhenti sejenak, tubuhnya menegang saat ingatan tentang bangsawan Dalto menyeruak dalam benaknya. Kematian Dalto adalah titik balik dalam kehidupannya di dunia ini, dan aroma yang sekarang memenuhi udara seolah mengembalikannya pada saat-saat itu.
Angin musim dingin terus berhembus, tetapi kali ini, udara yang dingin tidak lagi membuat Yuki menderita seperti dulu. Dahulu, setiap helaan napas yang dipenuhi hawa beku terasa seperti menyayat luka lama yang tak kunjung sembuh, tetapi sekarang rasanya berbeda. Meski dingin tetap menusuk, Yuki menyadari satu hal—lukanya telah sembuh. Atau, setidaknya itulah yang ia pikirkan.
Ia berhenti berjalan dan mengangkat wajahnya sedikit, membiarkan angin dingin menyapu wajahnya. Sebuah perasaan hampa namun tenang menyelimuti dirinya. Namun, di balik ketenangan itu, ada satu bayangan yang masih bersemayam di hatinya. Sesosok pria yang pernah memberikan banyak arti di dunia ini: Bangsawan Dalto.
Ia menghela napas panjang, perlahan menahan rasa sakit yang muncul saat mengingat Bangsawan Dalto. Dulu, ketika musim dingin membawa kabar kematian bangsawan itu, Yuki merasa dunianya runtuh. Namun, waktu berlalu, dan meski luka itu tidak sepenuhnya hilang, seseorang telah membantu menenangkannya.
Pangeran Sera-lah yang membalut luka itu. Dia yang memulihkan Yuki sedikit demi sedikit. Bukan dengan janji atau kata-kata, tapi dengan kehadirannya, dengan caranya yang diam-diam melindungi Yuki.
Yuki menggenggam mantelnya lebih erat, rasa hangat dari ingatan tentang Pangeran Sera perlahan mengisi ruang hatinya yang dingin. Pangeran Sera, yang selalu ada di sisinya, menjadi seseorang yang bisa ia andalkan di tengah semua kekacauan.
Dengan perasaan yang lebih kuat, Yuki kembali melangkah. Meskipun musim dingin membawa kenangan yang menyakitkan, ia tahu bahwa ia tidak lagi terperangkap dalam masa lalu. Bangsawan Dalto mungkin sudah pergi, tapi di tengah rasa kehilangan, Pangeran Sera telah memberikan Yuki kekuatan untuk melanjutkan hidup.
Setiap jejak kakinya di atas salju nyaris tak bersuara, seolah dunia mengizinkannya untuk bergerak tanpa menarik perhatian. Kuil di mana ia terbangun tadi terletak di sebelah timur istana Pangeran Riana, dan Yuki masih mengingat jelas jalan pintas yang pernah ia lalui sebelumnya.
Udara musim dingin membuat suasana semakin sunyi. Pepohonan yang memayungi jalan setapak dipenuhi salju, menggantung rendah di atas kepala Yuki seolah menjaga rahasia kehadirannya. Setiap sudut jalanan ini terasa begitu akrab baginya.
Ia berjalan dengan tenang, setiap langkahnya penuh keyakinan. Jalan pintas ini akan membawanya ke taman tengah, dan dari sana ia bisa langsung mencapai kamarnya. Meski dingin menusuk, Yuki merasa lebih nyaman dengan pemikirannya sendiri. Sesuatu tentang tempat ini selalu membuatnya merasa… terperangkap.
“Pangeran Riana… apa yang akan dia katakan ketika aku tiba?” Bayangan tentang Pangeran Riana dan tatapan posesifnya muncul di benaknya, membuat dada Yuki terasa berat.
Yuki tiba di taman tengah, tempat di mana semuanya tampak tenang dan damai, kontras dengan gejolak yang dirasakannya. Salju yang tebal menutupi setiap jalan setapak, seakan menyembunyikan jejak-jejak orang yang pernah melewati tempat ini.
Suasana sunyi menyelimuti istana, tidak ada tanda-tanda kehidupan selain bayangan pangeran itu sendiri. Yuki tahu betul, Pangeran Riana tidak mengizinkan sembarang orang tinggal di dalam istananya. Sebuah tempat yang sunyi, tertutup, namun mengandung kekuasaan yang tak terlihat.
Meski keheningan meresapi udara, memikirkan pertemuan dengan Pangeran Riana membuat hati Yuki sedikit melompat senang. Ada rasa yang sulit dijelaskan—kehangatan yang bercampur dengan ketakutan dan harapan.
Namun, saat ia berbelok di jalan kecil yang ada di taman, sosok Pangeran Riana tertangkap oleh pandangannya. Duduk bersandar dengan tenang di sebuah gazebo yang berada di atas kolam ikan, pangeran itu memandang lurus ke depan, segelas anggur merah di tangannya. Ketenangan yang memancar dari posturnya selalu mampu mempengaruhi Yuki.
Yuki hendak memanggilnya, namun tiba-tiba ia terhenti. Ada seseorang bersama Pangeran Riana. Seorang wanita.
Wanita itu jauh lebih dewasa dibanding Yuki. Tubuhnya ramping dan anggun, dengan wajah cantik yang menunjukkan darah bangsawan. Mereka tampak berbicara serius, tetapi keintiman di antara mereka terasa sangat jelas. Hati Yuki mulai berdebar, perasaannya berkecamuk.
Yuki mengamati bagaimana wanita itu dengan lembut mengusap rambut Pangeran Riana, menyentuhnya dengan kasih sayang yang begitu nyata. Tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata wanita itu membuat tubuh Yuki membeku di tempat. Mereka tidak terlihat seperti orang asing. Tidak, mereka seperti… sepasang kekasih.
Pangeran Riana tidak menolak. Ia diam saja, menerima setiap sentuhan wanita itu. Saat Yuki hendak memanggil namanya, suaranya tersangkut di tenggorokan ketika ia melihat wanita tersebut mengalungkan tangannya di leher Riana dengan manja, lalu mendekatkan bibirnya ke bibir sang pangeran. Ciuman yang begitu lembut, namun terasa begitu… biasa, seolah ini adalah hal wajar di antara mereka.
Pikiran Yuki kacau. Ia tidak bisa bergerak, tidak bisa berkata apa-apa. Pemandangan itu membuatnya terpaku di tempat, hanya bisa menyaksikan hubungan yang begitu intim antara Pangeran Riana dan wanita bangsawan itu. Hatinya terasa hancur, tetapi tubuhnya tak mau bereaksi. Ia hanya bisa menatap dalam kebisuan.
Seolah waktu berhenti.
Setiap detak jantungnya terasa seperti sebuah pukulan yang mengguncang perasaannya, dan dia tidak dapat memalingkan pandangan dari apa yang sedang terjadi. Namun, keheningan itu tiba-tiba terpecahkan oleh suara Ibu Jaena.
Ibu Jaena, pelayan kepercayaan Ibu Suri, muncul dengan tergopoh-gopoh, wajahnya penuh kekhawatiran saat melihat Yuki berdiri di sana. Tanpa mempedulikan rasa sakit di lututnya, ia memanggil dengan suara keras, berharap bisa menarik perhatian Pangeran Riana.
“Putri Yuki! Anda sudah kembali!”
Suara Ibu Jaena menggema di taman yang sunyi, menciptakan momen ketegangan yang tak terduga. Yuki merasakan jantungnya berdegup kencang dan ketidaknyamanan membanjiri dirinya. Dia merasa seperti ditangkap basah, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Ibu Jaena terus melangkah mendekati Yuki, wajahnya bersinar dengan kebahagiaan. Dia mengabaikan kekacauan di sekeliling mereka, penuh percaya diri saat berbicara.
“Aku sudah menduga ini benar, Putri! Senang sekali bertemu denganmu lagi! Akhirnya, Putri kembali!”
Yuki hanya bisa terdiam, menatap Ibu Jaena dengan tatapan kosong.
Dengan ragu, Yuki berusaha menyusun kata-kata, tetapi kepalanya terasa berat, seolah setiap kata yang ingin diucapkan terjebak di tenggorokannya. Pangeran Riana dan wanita bangsawan itu kini menoleh ke arah mereka, dan Yuki tahu bahwa dia tidak bisa melarikan diri dari situasi ini lagi.
Yuki tersenyum lemah saat membalas ucapan Ibu Jaena, meski tenggorokannya terasa kering dan penuh kepedihan. Namun, saat matanya kembali mencari Pangeran Riana, pandangan mereka bertemu sesaat. Namun, Yuki tidak bisa bertahan lebih lama. Dia segera memalingkan wajahnya, hati yang bergejolak semakin berat.
“Permisi, Ibu Jaena…”
Dengan suara yang hampir tak terdengar, Yuki berusaha untuk bersikap tenang. Berkat kehadiran Ibu Jaena, Yuki merasa sedikit lebih terkontrol. Dalam sekejap, ia mundur dengan cepat, berbalik, dan melangkah menjauh dari pemandangan yang menyakitkan itu.
Setiap langkahnya penuh dengan kebingungan, mengabaikan panggilan Pangeran Riana yang menyebut namanya.
Ketika mendengar namanya dipanggil, hatinya bergetar, namun rasa sakit yang menyertainya jauh lebih kuat. Tidak, dia tidak bisa bertahan di sini.
“Yuki! Tunggu!”