Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Pertama
Larisa terbangun dengan kepala yang berat, tapi tetap dia paksakan turun dari atas tempat tidur. Bergegas dia masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri karena harus segera pergi bekerja. Saat telah keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang lebih segar, barulah dia teringat jika hari itu adalah hari libur. Gadis itu pun urung mengambil pakaian kerja dari dalam lemari, lalu beralih mengambil satu stel pakaian rumahan dan segera mengenakannya.
Dengan langkah gontai, Larisa keluar dari dalam kamarnya untuk turun ke lantai bawah. Namun, belum juga mencapai tangga, langkahnya seketika terhenti di depan sebuah kamar yang dulunya adalah kamar Lalita. Entah kenapa, dia seperti terhipnotis hingga tanpa sadar masuk ke dalam kamar tersebut.
Larisa memandangi setiap sudut kamar, sebelum akhirnya duduk di pinggiran tempat tidur. Dulu ini adalah kamar miliknya. Tapi karena Lalita menginginkannya, Larisa pun mesti menyerahkan kamar tersebut pada sang adik, meski telah bersusah payah mendekorasi interior kamar sesuai dengan seleranya.
Kamar yang dimiliki Lalita kala itu tentu saja jauh lebih besar dan mewah daripada yang diberikan Arfan pada Larisa. Lalita meminta kamarnya dihiasi berbagai macam pernak-pernik ala negeri dongeng, sedangkan Larisa yang mulai beranjak remaja tak lagi menyukai hal kekanakan semacam itu. Dia menata kamarnya dengan gaya minimalis yang simpel, tapi nyaman. Kenyamanan yang pada akhirnya membuat Lalita juga merasa betah dan tak mau lagi menghuni kamarnya sendiri.
Lalita kecil memang manja dan akan sangat mudah merajuk jika keinginannya tak dipenuhi. Semua itu tak lain karena semua orang mempelakukannya dengan istimewa. Salah satu sifat jeleknya adalah seringkali menginginkan sesuatu milik orang lain meski dia sendiri sudah memilikinya.
"Kak Risa, boneka Kakak lucu. Aku belum punya yang warnanya seperti ini. Ini buatku saja."
"Kak, pita rambut Kakak kok bagus sekali. Buatku, ya?"
"Ini komik edisi terbatas. Kakak dapat dari mana? Aku sudah lama pengen beli, tapi tidak pernah kebagian. Buat aku saja, ya, Kak. Nanti Kakak bisa beli yang baru."
"Kak Risa, gaun ini sepertinya lebih cocok kalau aku yang pakai. Kakak pesan gaun lain saja, ya. Aku mau pakai yang ini."
Rengekan seperti itu hampir setiap saat Larisa dengar dan tak akan berhenti sebelum Lalita mendapatkan apa yang dia mau. Larisa hampir tak pernah benar-benar memiliki barang-barangnya, meski itu didapat dari hasil kerja kerasnya sendiri. Jika Lalita melihat, maka gadis itu akan menginginkannya. Tentu dia tak punya pilihan selain memberikannya pada Lalita sembari tersenyum, seakan hal tersebut bukanlah masalah.
Semua itu hanyalah sebagian kecil dari ingatan Larisa tentang Lalita. Terkadang, ada kalanya Larisa merasa marah dan terima karena harus selalu mengalah. Tapi dia selalu diingatkan seperti apa posisinya di rumah itu. Arfan membawa dirinya dan sang mama tak lain karena membutuhkan figur seorang ibu dan saudara untuk Lalita. Larisa mesti menahan setiap tingkah menyebalkan yang selalu Lalita tunjukkan padanya jika ingin semuanya baik-baik saja.
Namun, dari semua itu. Kehilangan kasih sayang sang mama adalah hal yang paling menyakitkan untuk Larisa. Riani benar-benar menjelma menjadi sosok ibu yang sempurna bagi Lalita, tapi tidak untuk dirinya. Setiap kali Lalita menangis, tangan Riani tak akan segan memberikan pukulan padanya, seolah setiap tangis Lalita, dirinyalah yang menjadi penyebab semua itu. Bahkan, saat dia dan Lalita sama-sama sakit, Riani akan sibuk menjaga Lalita saja, sedangkan dirinya hanya diberi obat dan diminta untuk beristirahat saja.
Sekali lagi, Larisa sadar jika hal itu memang yang seharusnya Riani lakukan. Itulah alasan kenapa mereka dibawa ke rumah ini. Karenanya, Larisa tak pernah sekalipun protes meski seringkali hatinya menjerit. Arfan ingin memberikan Lalita keluarga utuh yang penuh dengan kasih sayang, makanya Larisa dan Riani dihadirkan oleh lelaki tersebut di hadapan Lalita, meski dengan cara yang kurang tepat.
Umur Lalita baru dua tahun saat Larisa dan Riani pertama kali datang. Bocah yang baru saja kehilangan ibu kandungnya itu melangkah tertatih-tatih menghampiri Riani sembari memanggil perempuan itu mama. Hal itu tak lain karena Riani memiliki wajah yang mirip dengan mendiang ibu kandungnya yang meninggal mendadak karena sebuah kecelakaan. Sejak saat itu, Riani dan Larisa pun menjelma menjadi ibu dan kakak yang selalu ada untuk Lalita, tanpa Lalita tahu jika kedua orang tersebut tak memiliki ikatan apa-apa dengannya.
Larisa memejamkan matanya, lalu menghela nafas panjang. Sejatinya dia tak membenci Lalita, terlebih semakin dewasa, sikap buruk Lalita semakin berkurang. Hanya saja, seringkali kenangan menyesakkan itu datang dan membuatnya tak bisa lepas dari belenggu masa lalu. Belenggu yang terus membuatnya tersiksa, di manapun dia berada.
Sementara itu, di tempat yang berbeda, Lalita tampak baru saja selesai memasukkan barang-barangnya ke dalam kopernya. Dia lalu mandi dan berganti pakaian, kemudian meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang.
"Om Hendro, surat panggilan dari Pengadilan Agama untuk Erick sudah datang. Sekali lagi, saya minta tolong supaya Om bisa membantu mengurus proses perceraian saya tanpa membuat orang-orang heboh. Saya tidak akan hadir nanti. Saya akan serahkan semuanya pada Om. Untuk urusan Papa, Om jangan khawatir, saya akan urus itu. Sekarang saya mau pergi dulu ke suatu tempat selama beberapa hari. Mungkin nomor ponsel saya tidak akan aktif untuk sementara." Lalita akhirnya mengirimkan voice note pada Hedro karena lelaki tersebut tak kunjung menjawab panggilannya.
Lalita menyimpan ponselnya kembali, kemudian meraih amplop yang sebelumnya dia ambil dari kotak surat di halaman rumahnya. Amplop yang tertera logo Pengadilan Agama dan menyertakan nama Erick sebagai penerimanya. Dia meletakkan amplop tersebut ke atas nakas bersama dengan sebuah surat yang dia tulis sendiri. Setelah itu, Lalita akhirnya keluar dari kamarnya sembari menyeret sebuah koper. Dia pergi tanpa diketahui oleh siapapun, termasuk oleh asisten rumah tangga di rumahnya yang saat ini sedang sibuk di dapur.
Tak lama kemudian, Erick turun dari lantai atas, bersamaan dengan Bu Risnah yang telah selesai membuat sarapan dan menatanya di atas meja makan.
"Lita belum bangun?" tanya Erick pada Bu Risnah sembari mengisi piringnya dengan nasi goreng seafood yang perempuan paruh baya itu siapkan.
"Sudah, kok, Tuan. Tadi Nyonya sudah pergi ke halaman malah, tapi sepertinya balik ke kamar lagi," sahut Bu Risnah.
"Tolong panggilkan dia. Dia mesti sarapan," pinta Erick. Padahal itu hanya alasan agar dia bisa melihat wajah istrinya itu.
Bu Risnah mengiyakan, kemudian berlalu dari hadapan Erick. Namun, tak lama, perempuan paruh baya itu kembali dengan tergopoh-gopoh sembari memasang wajah panik.
"Nyonya tidak ada di kamarnya, Tuan. Sebagian barang-barang pribadinya juga sudah tidak ada di kamar," ujar Bu Risnah memberitahu.
"Apa?" Erick terlihat mengerutkan keningnya.
""Nyonya ... Nyonya meninggalkan ini di kamarnya. Sepertinya ini untuk Tuan," ujar Bu Risnah lagi sembari menyerahkan dua buah amplop yang dia temukan di kamar Lalita.
Bersambung ....