Alya harus menjalani kehidupan yang penuh dengan luka . Jatuh Bangun menjalani kehidupan rumah tangga, dengan Zain sang suami yang sangat berbeda dengan dirinya. Mampukah Alya untuk berdiri tegak di dalam pernikahan yang rumit dan penuh luka itu? Atau apakah ia bisa membuat Zain jatuh hati padanya?
Penasaran dengan cerita nya yuk langsung aja kita baca....
yuk ramaikan....
Update setiap hari....
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, subscribe, like, gife, vote and komen ya...
Buat yang sudah baca lanjut terus , jangan nunggu tamat dulu baru lanjut. Dan buat yang belum ayo buruan segera merapat dan langsung aja ke cerita nya, bacanya yang beruntun ya, jangan loncat atau skip bab....
Selamat membaca....
Semoga suka dengan cerita nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Zain membawa sorot matanya ke arah sang adik, yang masih mengomel tanpa henti. Menunjuk-nunjuk Alya, yang hanya diam.
"Kau! Kenapa membawa Alya ke kafe itu? Apakah kau mau masmu ini, diketahui oleh semua orang kalau telah menikah. Apakah itu yang ingin kau ungkapkan pada dunia?"
Kedua pupil mata Farah langsung membesar, ia mendadak speechless dengan sang kakak. Kenapa kakaknya malah membela gadis kampung satu ini?
"Mas! Aku gak begitu. Ini salah Mbak Alya dia-"
"Cukup, Farah. Dia ini tidak akan melakukan hal aneh-aneh. Apalagi sampai bertemu dengan Mira, dan melakukan hal yang membuat masalah jadi rumit. Jelas-jelas kau yang membawanya bertemu Mira. Sampai kapan kau harus menjadi mata-mata Mira, tolong jangan ikut campur urusan pernikahan masmu, ini. Mas sudah pusing dengan banyaknya urusan ini dan itu, karena itu, tolong jangan ikut campur lebih jauh lagi, Dek!"
Kedua tangan Farah terkepal kuat.
"Mas, jahat! Mas berubah! Aku benci, Mas!" Farah berteriak keras keluar dari dalam kamar Zain.
Zain mendesah berat, Alya hanya diam. Tidak ingin menenangkan Zain ataupun mengejar Farah, ini bukan drama ataupun serial televisi.
Alya hanyalah manusia biasa, yang mencoba terbaik untuk orang-orang sekelilingnya. Meskipun demikian Alya tak marah apalagi dendam pada Farah, ia hanya sedikit sedih. Karena Farah masih tidak bisa menerima kehadiran Alya.
***
Alya menarik tirai ke samping, hingga pencahayaan langsung menyerbu masuk ke dalam ruangan yang tadinya temaram. Hanya dibantu oleh pencahayaan dari lampu tidur, ia berdiri di depan kaca transparan.
Tangan Alya bergerak membuka pintu balkon, melangkah mendekati balkon. Aroma laut langsung tercium, sudah berapa lama Alya tidak menghirup aroma segar, ini? Alya hanya menghubungi sang nenek via telepon.
Kala sang nenek berada di luar pulau, Alya mendadak merindukan kampung halamannya. Di sini begitu asing untuk Alya, bertahan dengan ketidak nyamanan.
Apalagi baik ibu mertua sampai adik iparnya sangat tidak menyukai dirinya, Alya selalu diperlakukan seperti seorang pembantu dibandingkan seorang menantu. Bukan maksud hati gadis ini ingin mengeluh, hanya saja ia terkadang ingin disayangi oleh ibu mertuanya. Walaupun tahu harapan itu hanya sebuah harapan semu, untuk Alya dapatkan.
KLIK!
Pintu balkon kamar satu lagi terbuka, derap langkah kaki terdengar. Alya menoleh ke asal suara, Zain terkejut mendapati kehadiran Alya terlebih dahulu berdiri di sana.
Meskipun sudah diberikan kamar yang sama oleh Usman, Zain bukan lelaki bodoh. Ia meminta kamar yang terpisah dengan Alya saat sampai di hotel, pada akhirnya Zain tetap memesan kamar baru.
Keduanya berdiri bersebelahan dengan tembok pentas satu sama lain, dengan jarak yang tidak begitu jauh. Tidak ada yang membuka suara, baik Alya maupun Zain.
Keduanya sama-sama diam, entah diam untuk menikmati pemandangan yang disajikan. Atau diam karena menyelami pemikiran masing-masing. Bali merupakan pulau yang sangat indah, meskipun begitu. Alya merasa pulau Sumba tak kalah dengan pulau Bali.
"Papa meneleponmu, jangan pernah katakan kalau kau dan aku berada di kamar yang terpisah," ujar Zain memberikan peringatan pada sang istri.
"Aku gak mau sampai hal ini tercium oleh orang di rumah. Terutama oleh Papa," lanjut Zain.
"Iya, aku paham, Mas," jawab Alya pelan.
Matanya menatap jauh ke depan sana, ombak yang bergulung dan menabrak karang. Keduanya kembali diam, Alya menghela napas kasar.
"Aku sudah mentransfer uang gajiku pada Mas Zain, mungkin memang jumlahnya tidak banyak setidaknya aku berharap bisa melunasi hutangku." Alya menoleh ke samping, sedikit menengadah mengingat tinggi Zain yang cukup jauh darinya.
Dari ujung ekor matanya, ia berdecak kecil.
"Kau seperti tengah mencicil kredit saja, padaku. Bahkan seumur hidup pun agaknya, masih berat untuk kau membayarnya. Kau cukup jadi istri panjanganku, saja. Menjalani hubungan rumah tangga ini, denganku. Cukup 2 tahun, lalu kita bercerai. Dengan dalih kita tidak sejalan, seluruh hutangmu aku anggap lunas," sahut Zain.
Alya diam, ia menatap Zain dengan pandangan mata yang sebegitu tajamnya. Ia menginginkan sesuatu yang tak seharusnya ia inginkan. Rumah tangga sakinah, mawadah, dan warahmah. Karena lelaki ini menginginkan sosok wanita yang hanya menjadi gandeng dan bertahan demi keuntungan pribadi, bukan menuju ke janah bersamanya.
"Lalu setelah itu, Mas akan menikahi wanita yang kemarin. Wanita yang dengan begitu beraninya menginginkan seorang pria yang sudah menikah, begitu?"
Zain sontak saja langsung menoleh, netra matanya menatap Alya dengan tajam.
"Itu sama sekali, bukan urusanmu. Yang jelas aku sedang memberikan penawaran yang menggiurkan untukmu. Menjadi pendampingku, menikmati apa yang aku miliki. Tanpa kau harus bekerja keras, kau bisa duduk-duduk santai saja, tanpa harus menjadi cleaning servis. Dan setelah kita bercerai, aku bisa memberikan uang tambahan padamu. Agar kau bisa menghidupi nenekmu di sana, dan dirimu sendiri," balas Zain terdengar sangat pongah.
Alya diam, lalu menarik kedua sisi bibirnya ke atas. Apakah Zain memberi pekerjaan sebagai cleaning servis agar Alya mundur, inikah alasannya?
"Saat ini menjadi urusanku, Mas. Karena Mas dan aku adalah pasangan suami-isteri. Terlepas Mas merasa aku ini hanya istri panjang atau bukan," tukas Alya pelan.
Zain membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah Alya.
"Apakah kau mendadak menjadi besar kepala, hanya karena aku membelamu di depan Farah? Gadis sepertimu ini, ada banyak di luar sana. Dan aku sama sekali tidak menginginkan kau maupun gadis sepertimu, kalau bukan karena wasiat dari kakek. Jangan salah, paham," ujar Zain.
Sebelum ia melangkah meninggalkan balkon hotel, Alya tertunduk. Menatap lantai, dengan sorot mata yang sendu.
***
Makan malam di salah satu restoran terkenal di Bali, dengan label halal. Keduanya duduk saling berdampingan, dengan sosok pria lain yang duduk di hadapan keduanya.
Jujur saja Alya maupun Zain terkejut, dengan kehadiran Adam-pengacara keluarga besar Abdullah. Lelaki itu bisa berada di Bali, dan entah itu sudah direncanakan atau bagaimana. Adam berada di hotel yang sama dengan Alya dan Zain, terpaksa Zain memindahkan barangnya kembali ke kamar Alya.
Lantaran Adam berada di sana, mau tak mau. Suka tak suka, yang jelas Zain harus berada di kamar yang sama dengan Alya.
"Siapa yang menyangka kalau kita bertemu di tempat yang sama. Aku sangat senang bisa makan malam bersama Tuan muda Zain, dan Nyonya Alya. Ternyata benar kata Pak Usman, kalau kalian berdua ada di Bali. Dan di hotel yang sama denganku," ujar Adam dengan ekspresi wajah ceria.
Zain terkekeh dibuat-buat mendengarnya, sedangkan Alya. Gadis itu hanya mengulas senyum canggung pada Adam, agaknya kedua suami-istri ini tak percaya. Kalau Adam tidak sengaja berada di sana, yang jelas Zain paham kalau Adam bisa jadi mengecek sendiri.
Bagaimana hubungan antara Alya dan dirinya, mengingat Adam memiliki kuasa untuk membatalkan surat wasiat. Membuat Zain dan keluarga pria ini, tidak mendapatkan sepersen pun harta.
"Ya, begitulah, Pak. Ini benar-benar kebetulan yang sangat tidak terduga. Lantas bagaimana dengan Bapak sendiri, kenapa bisa berada di Bali?" tanya Zain lebih dahulu bersuara.
"Ah, aku lupa ngomong. Sebenarnya di sini ada rumah saudaraku, sekaligus ia katanya mengadakan acara syukuran untuk pembukaan bisnis barunya di sini. Karena aku datang tanpa memberikan kabar, aku menginap di hotel untuk satu malam saja. Dan bertemu dengan Tuan muda," balas Adam yang tak sepenuhnya berdusta.
Kepala Zain mengangguk-angguk sekilas, dan tersenyum.
"Ah, begitu ternyata. Kalau boleh tahu kapan diadakan acara syukurannya, Pak?"