Selama 2 tahun menjalin mahligai rumah tangga, tidak sekali pun Meilany mengucapkan kata 'tidak' dan 'tidak mau' pada suaminya. Ia hanya ingin menjadi sosok seorang isteri yang sholehah dan dapat membawanya masuk surga, seperti kata bundanya.
Meski jiwanya berontak, tapi Mei berusaha untuk menahan diri, sampai pada akhirnya ia tidak bisa menahan lagi ketika suaminya meminta izinnya untuk menikah lagi.
Permintaan itu tidak membuat Mei marah. Ia sudah tidak bisa marah lagi ketika sudah kehilangan segalanya. Tapi ia juga tidak bisa tinggal di tempat yang sama dengan suaminya dan memilih pergi.
Selama 7 tahun Mei memendam perasaan marah, sampai pada suatu ketika ia menemukan kebenaran di dalamnya. Kebenaran yang sebenarnya ada di depan matanya selama ini, tapi tidak bisa ia lihat.
Bisakah Mei memperbaiki semuanya?
*Spin off dari "I Love You, Pak! Tapi Aku Takut..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jnxdoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17 - Putus
\= Kantor TJ Corp. Beberapa hari kemudian \=
"Terima kasih banyak, Mei. Maaf sudah merepotkanmu, padahal kau sedang mengambil cuti saat ini."
Wanita itu tersenyum sopan. Tampak ia mulai membereskan laptopnya di meja.
"Tidak masalah, pak Herman. Justru mumpung saya masih di Indonesia, Anda bisa tetap menghubungi saya selama masih diperlukan, jadi bisa langsung saya follow up."
"Sampai kapan kau di sini?"
Masih tersenyum, Mei menjawab santai, "Hari Jumat ini rencananya saya kembali ke NY, pak."
Herman mengangguk. Pria itu berdiri dan merapihkan jasnya. Tampak ia menoleh pada bawahannya.
"Kalau begitu, nanti biar Aslan yang mengurus semuanya. Kau sudah menerima semuanya kan, Ash?"
Pria berkacamata itu mengangguk kaku. Pandangannya masih tertunduk ke arah berkas di atas meja.
"Sudah pak. Ibu Meilany nanti bisa langsung koordinasi dengan saya kalau ada yang masih kurang."
"Bagus."
Kembali Herman menatap Mei dan kali ini, tersenyum menyesal.
"Maaf, Mei. Tapi saya masih ada meeting setelah ini. Kau tidak apa kan langsung dengan Aslan?"
"Tidak masalah pak Herman."
Menepuk bahu Aslan yang duduk, Herman pamit sekali lagi.
Ditinggal berdua dalam ruangan itu, suasana sangat hening. Hanya terdengar suara kertas sedang dibolak-balik oleh pria berkacamata yang berwajah kaku di depannya.
Situasi ini mulai membuat Mei tidak nyaman. Ia sebenarnya terbiasa untuk ribut. Adu mulut. Tapi sejak ia menikah, sifatnya itu menghilang entah kemana. Mungkin karena ia segan pada mertuanya, atau justru pada suaminya. Yang jelas, saat mengingatnya lagi, ia sedikit benci pada versi dirinya 7 tahun yang lalu.
Menatap Aslan yang anteng di duduknya, Mei menyadari betapa jauh sifat mereka berdua. Suaminya ini pria pasif. Introvert. Tidak banyak bicara, tapi langsung bertindak. Sangat jarang pria ini mempertanyakan sesuatu, kecuali hal itu memang hal yang sangat penting.
Sayangnya, ketika dulu diminta menikah lagi oleh bundanya, pria itu malah menerimanya begitu saja.
Lagi-lagi hati Mei sakit. Ter*mas di dalam. Hatinya untuk Aslan berdarah dan hancur. Kemarahan selama bertahun-tahun pada mertua dan juga suaminya, perlahan ia rasakan mulai muncul ke permukaan.
"Apa masih lama, pak? Saya masih harus pergi ke tempat lain setelah dari sini."
Pertanyaan dingin cenderung ketus itu membuat kepala Aslan sedikit tertunduk. Pria itu menutup map berisi berkas di depannya. Jakunnya sedikit bergerak saat ia menelan.
"Tidak. Data-datanya sudah lengkap, bu. Tidak ada masalah. Setelah dicek, akan saya kembalikan ke ibu."
Hembusan nafas kasar terdengar dari hidung Mei. Ia mulai berdiri dan menenteng laptopnya.
"Baguslah. Kalau begitu saya-"
"Apa yang buat kamu jijik sama mas, Mei?"
Suara pelan dan lirih itu membuat langkah Mei terhenti. Tubuhnya tegak dan kaku.
Tidak ada niat sama sekali dari wanita itu mengkonfrontasi suaminya saat datang ke Indonesia beberapa hari lalu. Tadinya ia hanya akan mendampingi Conrad ke beberapa perusahaan rekanan dan langsung pulang. Keinginan memperpanjang kunjungannya itu tiba-tiba saja muncul saat kakinya menyentuh airport.
Pertemuannya dengan suaminya ini hanya membuka luka lamanya yang masih berdarah. Tidak ada gunanya.
Mei akui, ia masih mencintai Aslan. Tapi bukan berarti akan kembali padanya. Terlalu banyak sakit hati dan juga rasa marah yang ia rasakan, saat masih bersama pria itu. Masalahnya, sumber kebenciannya itu adalah orang yang sangat dihormati suaminya. Bundanya sendiri.
Mau seperti apapun perlawanannya, Mei tahu ia tidak akan pernah menang dari ibu pria itu.
"Mei?"
Suara roda kursi terdengar bergeser, menandakan pria itu berdiri. Tapi Mei tidak berbalik.
Memutuskan mengakhiri semuanya, Mei berkata kaku, "Mas sudah nyentuh perempuan lain, kan?"
Tuduhan itu membuat kening Aslan berkerut dalam.
"Nyentuh perempuan lain? Demi Allah, Mei. Mas ga pernah nyentuh wanita lain selain kamu."
"Christine juga engga?"
Kali ini, Aslan terdiam. Tangannya mulai mengepal. "Mei..."
"Maaf, mas. Mei ga bisa dengan orang yang sudah bekasan dari wanita lain, apalagi mas melakukan itu waktu masih terikat pernikahan dengan Mei. Mei anggap itu perselingkuhan, meski sah secara agama."
"Mei, demi Allah! Mas ga pernah-"
"Jangan bawa-bawa nama Allah saat sedang bohong mas! Mei paling benci denger orang memakai dalih agama, hanya untuk bersumpah palsu!"
Pria itu menelan ludah beberapa kali, matanya mulai memerah. Tatapannya nanar, saat ia menatap belakang kepala isterinya yang sama sekali tidak mau memandangnya.
"Segitunya kamu ga percaya sama mas, Mei?"
"Bukannya Mei ga percaya, tapi Mei lihat dengan mata kepala Mei sendiri. Mas Aslan dan Christine pegangan tangan, dan mas ga nolak. Kalau saat itu Mei ga mergokin, apa yang akan mas lakukan? Mas mau cium dia?"
Rahang Aslan mengeras. Kejadian di kedai kopi itu masih diingatnya jelas. Kejadian yang sangat ingin dia lupakan. Apa yang terjadi saat itu, membuatnya kehilangan segalanya.
Campuran kesedihan dan kesakitan yang tidak bisa diungkapkannya, membuat nada pria itu sedikit tinggi.
"Kalau hanya pegangan tangan kamu sudah jijik sama mas, bagaimana dengan kamu yang sudah nyentuh barang-barang orang itu! Kamu juga ga jengah kan masuk kamar dia hanya berduaan saja? Seharusnya-"
"Jangan membalikkan keadaan, mas! Mei ga pernah melakukan apa yang mas lakukan dengan Christine! Ini bukan cuman pegangan tangan atau salaman! Bukan juga soal nyentuh barang orang lain! Ini soal hubungan paling sakral antara suami-isteri! Mas sudah melakukan itu, kan?"
Sejenak Aslan diam, suara beratnya mulai bergetar, "Mei... Mas bersumpah, mas ga pernah-"
Dengusan geli dan mencemooh terdengar dari hidung Mei.
"Apa mas harap Mei percaya? Mas Aslan kira, Mei wanita bodoh yang akan percaya begitu saja? Setelah Mei memberi mas izin nikah lagi, apa mas berharap Mei percaya mas Aslan ga pernah nyentuh Christine? Apalagi yang mengikat kita sudah ga ada! Sudah mati! Mei juga sudah ikut mati! Apa selama 7 tahun ini, mas bener-bener berharap Mei tetep jadi wanita naif dan polos seperti dulu? Jangan konyol mas!"
Mata cokelat Aslan mulai meneteskan air, tapi pria itu sudah tidak bisa berkata-kata. Lidahnya sangat kelu. Semua yang dikatakan isterinya, membuatnya perlahan hancur di dalam.
"Maaf, mas. Mei memang isteri durhaka. Ceraikan saja Mei, mas. Mei sudah siap. Dari sejak 7 tahun lalu."
Selesai mengatakan ultimatum itu, Mei langsung keluar ruangan.
Sama seperti pada Conrad kemarin, wanita itu meninggalkan hati Aslan patah di belakang. Bedanya, Mei pergi meninggalkan pria yang selama bertahun-tahun berjuang dalam kubangan kolam putus asa.
Mei belum tahu, apa yang telah dilakukannya hari ini, membuat pikiran pria itu perlahan menjadi gelap.
Apa yang tadinya seutas tali harapan yang dipegang erat Aslan tahunan, kini benar-benar telah putus.
thorrr" bikin Mei hamil thorrr....
biar rumah tangga mu bahagiaa...
percaya Mei setia dan hanya mencintaimu.
Segera laksanakan bulan madu pemberian Pak Hagen sebelum pengangkatanmu sebagai Direktur.