Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Pamungkas benar-benar tengah di buat pusing oleh masalahnya.
Dia tak mengerti kenapa hanya karena Nur, hidupnya jadi kacau seperti ini.
Tadi saat mengantar Sisil, kekasihnya itu bahkan selalu mengancam untuk mengakhiri hubungan mereka, sebab Sisil tak mau di cap buruk oleh orang-orang.
Pamungkas benar-benar bingung. Dia sudah menceraikan Nur dan dirinya juga yakin jika mantan istrinya itu tak akan mau rujuk dengannya.
Lalu dia harus bagaimana?
.
.
Keesokan harinya Bisma bangun dengan wajah murung.
Pamungkas yang melihatnya menghela napas panjang.
"Maafkan papah udah bentak kamu tadi malam ya dek. Setelah ini papah janji kehidupan kita akan kembali normal. Nanti papah akan carikan ART. Adek jangan sedih lagi."
"Apa aku udah ngga bisa ketemu mamah pah?"
"Bisma, biarkan mamah menenangkan diri dulu, nanti juga kalau mamah udah baikkan, kalian bisa ketemu mamah lagi."
Bisma kemudian meninggalkan meja makan dengan lesu. Dia sungguh merindukan ibunya. Dia juga merasa sedih karena sang ibu tak berpamitan padanya.
.
.
Di kediaman Zahra, Nur sendiri sudah sibuk di dapur membantu adiknya. Meski tinggal di rumah sang adik, tak lantas membuat Nur berpangku tangan.
Wati yang melihat Nur menatap wanita itu dengan sinis.
"Pasti kamu lagi ada masalah sama suami kamu ya Nur?" ucap Wati tiba-tiba.
"Iya Bu, biasalah masalah rumah tangga," jawab Nur jujur.
"Alah, bilang aja masalah kamu besar, sampai kamu minggat. Ingat Nur, Zahra itu sendiri udah berumah tangga. Kamu jangan jadi beban, apalagi ipar itu adalah maut—"
"Bu!" tegur Zahra yang kesal karena ibu mertuanya menyudutkan sang kakak.
"Zahra! Kenapa kamu membentak ibu?" tegur Farid tak terima.
Farid memang mengetahui keberadaan kakak iparnya itu dari sang istri. Namun sebelum Zahra menjelaskan masalah sang kakak, Farid sendiri sudah di wanti-wanti sang ibu agar tak membiarkan Nur tinggal di rumah mereka lebih lama.
Wati sudah memprovokasi sang putra dengan berbagai kemungkinan buruk jika Nur tinggal di rumah mereka dan bodohnya Farid setuju dengan pemikiran sang ibu.
"Minta maaf sama ibu Ra!" pinta Farid tegas.
Zahra sebenarnya tak terima, tapi ia tak bisa membantah sang suami.
"Maafkan Zahra bu," ucapnya terpaksa.
"Kamu ini Ra. Baru juga semalam kakakmu ini menginap di sini tapi sudah mulai berani sama ibu, gimana kalau kakakmu ini tinggal lebih lama lagi di sini," sindir Wati.
Nur hanya bisa menunduk, dia tak tahu lagi bagaimana harus membela dirinya.
"Zahra tahu bu, tapi mbak Nur kakak Zahra, hanya ini yang bisa Zahra lakukan untuk membantunya."
"Bukan apa-apa Ra. Ibu cuma takut kakakmu itu membawa pengaruh buruk sama kamu. Lihat aja, dia pergi dari rumah tanpa membawa anaknya kan?"
Merasa sudah tak sanggup lagi di pojokkan oleh mertua sang adik, Nur lantas menatap Wati dengan berani.
"Maaf kalau keberadaan saya membuat ibu dan Farid enggak nyaman, saya janji hanya sementara, setelah saya mendapatkan pekerjaan, saya akan keluar dari sini," ucap Nur sendu.
"Nah lihat, kamu bahkan keluar dari rumah tanpa membawa apa-apakan? Entah kesalahan apa yang kamu buat sampai di usir suamimu!"
Zahra hanya bisa mengepalkan tangannya menahan amarah. Sebenarnya dia sangat tak terima dengan ucapan ibu mertuanya.
Namun jika dia menjawab, dirinya yakin sang suami akan menegurnya lagi. Biarlah nanti dia meminta sang suami untuk menasehati ibunya, pikir Zahra.
Zahra juga tak mengerti mengapa ibu mertuanya seperti tak menyukai kakaknya.
"Kamu tahu kan Nur, perekonomian Zahra sama Farid ini kan masih merangkak, mereka memerlukan banyak uang buat masa depan Cici. Jadi sebagai kakak harusnya kamu jangan jadi beban adikmu, lagi pula dalam agama, bertamu juga kan ada aturannya, paling lama tiga hari."
Astaga, Zahra benar-benar panas mendengar ucapan ibu mertuanya yang secara tak langsung ingin mengusir sang kakak.
"Benar kata ibu saya mbak. Maaf, bukan Farid keberatan mbak ada di sini, cuma Farid enggak mau kami semua terseret dalam masalah rumah tangga mbak sama mas Pamungkas," sela Farid yang mendukung pernyataan ibunya.
"Mas!"
"Sudah Ra, ayo kita harus bekerja! Jangan sampai kamu terlambat, kita ini masih harus banyak menabung. Banyak keinginan kita yang belum tercapai, apalagi kebutuhan kita kini bertambah!"
Sungguh ucapan dari adik iparnya itu melukai harga diri Nur. Namun dia tak bisa apa-apa karena kenyataannya dia merasa begitu. Andai dia memiliki sedikit saja uang, dirinya pun tak ingin merepotkan adiknya itu.
Zahra benar-benar merasa bersalah pada sang kakak. Dia tak menyangka sikap suami dan ibu mertuanya sangat berubah drastis.
Setelah berpamitan dan meminta maaf pada sang kakak, Zahra bergegas pergi bekerja bersama sang suami.
Sepeninggal Zahra, Wati menatap Nur dengan dingin. Dirinya sudah mendengar pembicaraan mereka kemarin.
Sebenarnya kalaupun Nur bercerai dengan suaminya, Wati juga tak peduli. Tadinya dia berpikir mungkin saja dirinya dan sang putra bisa memanfaatkan Nur dari pembagian harta gono-gininya.
Namun sayang, apa yang Wati pikirkan ternyata jauh dari kenyataan, Nur menjelaskan jika dirinya di cerai tanpa bisa mendapatkan hak pembagian harta mereka.
Lalu untuk apa dirinya berbuat baik pada Nur. Dirinya juga tak rela Nur menikmati hasil kerja keras anak dan menantunya.
"Jangan lupa membereskan rumah. Setidaknya kamu harus tahu diri kalau menumpang!"
.
.
.
Lanjut