Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sembilan
Karin mengalihkan pandangannya dari Raka, enggan menatap suaminya. Di benaknya, perasaan campur aduk berkecamuk.
“Makanlah yang banyak! Aku tidak mau Ayah berpikir kalau aku tidak memberimu makan.,” ujar Raka sambil tersenyum cerah sebelum melangkah keluar dari kamar.
‘Aduh, apa yang harus aku lakukan?’ batin Karin, merasa seolah dunia menekan bahunya. Ia sudah kehilangan selera makan, dan dengan berat hati menaruh mangkuk berisi nasi di meja samping tempat tidur. Suasana hatinya pun semakin mendung.
Ia membaringkan tubuhnya kembali ke tempat tidur, merenungkan apa yang akan terjadi setelah ini. Rasa cemas menyergapnya.
Sore itu, berita baik akhirnya datang. Ardi, ayah Karin, telah dinyatakan pulang dari rumah sakit. Meski ia belum sepenuhnya pulih, Karin tak sabar untuk segera melihatnya.
Setelah bersiap-siap, Raka berjalan berdampingan dengan Karin. Mereka mengenakan masker dan kacamata hitam, seperti dua agen rahasia yang sedang dalam misi, sesuai permintaan Karin. Raka tahu betul bahwa dengan statusnya, ia bisa menarik perhatian banyak orang.
“Kau akan lebih menderita jika tidak segera menceraikanku,” bisik Karin sambil melirik ke arah Raka, menghindari tatapan matanya yang tajam.
“Kalau begitu, biar kutunjukkan semuanya agar semua orang tahu siapa istriku,” Raka menggoda, berniat melepaskan kacamata hitamnya.
“Cukup! Aku tidak mau dituduh sebagai wanita simpanan,” Karin menarik lengan Raka, matanya menyala dengan ketidakpuasan.
Begitu mereka memasuki ruangan tempat ayahnya dirawat, Karin segera merasakan kehangatan dari pelukan Ardi.
“Ayah, aku merindukanmu!” serunya sambil memeluk tubuh Ardi erat-erat.
“Oh, sayang. Kamu terlihat lebih kurus!” Ardi mengamati wajah anaknya dengan cermat setelah melepaskan pelukannya.
“Ah... ya. Beberapa hari ini, aku tidak punya selera makan,” jawab Karin, menghindari penjelasan lebih lanjut.
Raka, yang masih berdiri di samping, tersenyum. “Raka bilang kau akan pergi berlibur? Ke mana kau pergi?” tanya Ardi dengan nada penasaran.
“Uh, kami... kami pergi... ke Jepang, Ayah. Untuk menikmati bunga sakura,” Karin menjawab terbata-bata, berusaha menciptakan gambaran indah meskipun jujur ia tidak tahu bagaimana melakukannya.
“Bukankah sekarang musim dingin?” tanya Ardi, wajahnya mengerut bingung.
“Lebih indah kalau kita berbulan madu di musim dingin, Ayah. Lebih romantis,” Raka menambahkan dengan senyum percaya diri.
Karin nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan Raka. ‘Bulan madu? Serius?!’ pikirnya, sambil mengerutkan dahi dan menatap Raka seolah ingin membakar dengan tatapan tajamnya.
“Kau benar. Bulan madu akan indah di musim dingin,” Ardi mengangguk, tampak setuju dengan pemikiran Raka.
Karin tidak bisa menahan diri. Ia mencubit pinggang Raka dengan keras, membuatnya menyeringai kesakitan. “Karin, segera periksakan kesehatanmu ke dokter selagi kita masih di rumah sakit! Mungkin kamu sedang hamil saat ini,” kata Ardi, nada suaranya berisi kekhawatiran.
Karin merasa tercekik mendengar pernyataan ayahnya. Saking terkejutnya, dia ingin muntah saat itu juga.
Membayangkan dirinya hamil dan terjebak dalam rumah tangga ini sungguh membuatnya ngeri. “Tidak!” serunya tiba-tiba, membuat Ardi dan Raka saling berpandangan bingung.
“Sayang, ada apa denganmu?” tanya Raka, khawatir.
“Ah... tidak... tidak apa-apa,” jawab Karin cepat, menggaruk kepalanya yang terasa panas. Wajahnya memerah menahan malu.
“Ayah, sebaiknya kita pulang,” Karin memutuskan, tidak ingin berlama-lama memikirkan hal-hal yang membuatnya pusing.
Setelah beberapa saat, mereka kembali ke vila, tempat yang lebih aman dan jauh dari keramaian.
Di vila, mereka disambut oleh Bibi Xia.
“Bagaimana keadaan Ayahmu?” tanya Bibi Xia, menyuguhkan minuman segar.
“Dia sudah baik-baik saja. Terima kasih, Bibi,” jawab Karin, sambil membantu ayahnya berjalan ke kamar di lantai bawah, agar ia tidak perlu menaiki tangga.
Setelah memastikan ayahnya nyaman, Karin kembali ke kamar yang biasa ia tempati. Ia berjalan maju mundur, menggigiti ujung kukunya, merasa gelisah.
Pintu kamar terbuka, dan Raka baru saja masuk.
“Kenapa kamu belum tidur? Apa kamu menungguku?” tanyanya dengan senyum sinis, terlihat santai.
“Aku tidak ingin kita tidur di satu ranjang,” jawab Karin langsung, berusaha menunjukkan ketegasannya.
“Baiklah, aku akan tidur di sofa,” Raka mengangkat bahu, lalu melangkah ke kamar mandi.
Karin terkejut mendengar jawabannya. Ia menyangka Raka akan marah, tetapi kini justru merasa tidak enak jika pria itu tidur di sofa sementara ia menikmati kenyamanan ranjang.
Sebelum Raka selesai mandi, Karin segera mengambil selimut dari lemari dan menatanya di sofa agar Raka lebih nyaman.
“Hoaam.” Karin menguap, matanya terasa berat. Beberapa malam terakhir, ia tak bisa tidur nyenyak, memikirkan cara untuk keluar dari rumah Raka. Usahanya tampaknya sia-sia.
Raka keluar dari kamar mandi, matanya melirik tempat tidur kosong sebelum tertuju pada sosok Karin yang sudah terbungkus selimut di sofa. Ia tersenyum melihat penampilan Karin yang tampak seperti kepompong.
Namun, tiba-tiba, Karin berguling tanpa sadar, dan…
“Duh!” teriaknya ketika ia terjatuh. Kepalanya membentur lantai, menimbulkan rasa sakit yang cukup berarti.
Ia perlahan berusaha duduk, setengah sadar.
“Bukankah sudah kubilang? Aku akan tidur di sofa,” Raka mengatakan dengan nada mengerutkan kening, menatapnya dengan prihatin.
Karin yang masih setengah sadar berdiri, mengembalikan selimut ke sofa dengan sedikit terburu-buru. Namun, tanpa disengaja, bagian bawah selimut berkibar ke atas, memperlihatkan paha mulusnya.
“Ah!” Karin segera menutup selimut, merasa malu dan panik.
Raka mendekat, menatap Karin tanpa berkedip. Wajahnya terlihat tegang, dan tangannya dengan lembut mencengkeram pergelangan tangan Karin. Terbersit keinginan kuat dalam tatapan pria itu, namun ia menahan diri. Dengan tarikan napas panjang, Raka memutuskan untuk menunda hasratnya.
"Ada apa?" Karin bertanya dengan mata setengah terpejam, kantuk yang berat tampak jelas di wajahnya.
“Tidak ada. Tidurlah,” ucap Raka pelan.
Ia berbalik dan masuk ke kamar mandi, merendam wajahnya dalam air dingin. Rasa panas di dalam dirinya sulit untuk diatasi. Bagi seorang pria normal, sulit menahan diri bila hidup bersama wanita yang ia cintai, terutama jika wanita itu adalah istrinya sendiri.
---
Hari ini, Karin kembali bekerja di perusahaan setelah beberapa hari tidak masuk. Rencana awalnya adalah datang bersama Raka, tapi di tengah jalan, Karin meminta untuk turun dan memilih naik taksi agar tiba di perusahaan tanpa menarik perhatian.
Karin masuk ke dapur perusahaan, menyeduh secangkir kopi, dan melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia punya sedikit waktu untuk bersantai.
Karin baru saja menyesap kopinya ketika seseorang memanggilnya dari belakang. "Karin, ke mana saja kamu akhir-akhir ini?" Jean, temannya, menyapa sambil meletakkan tas di atas meja.
"Hai, Jean. Maaf, aku kurang sehat beberapa hari ini," jawab Karin tersenyum kecil sambil menyesap kopinya lagi.
Jean mendesah, mengerutkan bibirnya. "Kamu bahkan nggak kasih kabar! Nomormu nggak aktif."
"Oh, iya, lupa mengaktifkannya," Karin tertawa kecil, lalu bertanya, "Kamu jadi pergi ke bioskop Sabtu lalu?"
Jean mendengus kesal. "Aku pergi sendiri, lho! Semua orang datang berpasangan. Nyesek banget, deh."
Karin menatap Jean dengan senyum simpul. "Maaf ya. Sabtu depan, kita nonton lagi, aku yang traktir tiket."
Jean langsung sumringah. "Beneran? Ajak juga Beni."
Karin tersenyum kikuk. "Nggak tahu, deh, apakah Beni mau diajak."
Jean mendekat sambil tersenyum jahoil. "Mau kok! Dia suka sama kamu, tahu."
Karin hanya tersenyum, mengalihkan pembicaraan sambil menyelesaikan kopinya. Setelah itu, ia mengenakan seragam kerja dan mulai berkeliling mengambil peralatan pembersihnya.
Setelah sampai di lantai lima, Karin mendudukkan tubuhnya di bangku panjang yang ada di sana untuk menghilangkan lelah setelah naik tangga, lalu memasang earphone dan mulai mendengarkan musik sambil memainkan ponselnya.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan sosok Manajer Han muncul dengan wajah merah karena marah.
"Karin!" teriaknya, berusaha menahan emosi. Karin tak mendengar teriakan itu karena sedang asyik mendengarkan musik. Manajer Han semakin tak sabar dan menepuk pundaknya dengan keras.
Karin tersentak kaget, dan ponselnya jatuh. "Ponselku!" serunya, melihat perangkat itu meluncur ke tepi bangku dan terlempar keluar jendela. Dia hanya bisa melihat ponselnya jatuh ke bawah.
"Karin, jadi ini yang kamu lakukan selama ini?" bentak Manajer Han, suaranya nyaris memecahkan gendang telinga Karin.
"Maaf, Manajer. Saya cuma istirahat sebentar," Karin mencoba membela diri.
"Lihat! Alat bersih-bersihnya bahkan belum kamu pakai!" gerutu Manajer Han sambil menendang ember yang ada di dekatnya.
"Baik, saya akan segera mulai," Karin meraih sapu dan mulai bekerja dengan malas.
Semenjak kecil, Karin tak pernah melakukan pekerjaan seperti ini. Namun, dia harus menahan diri untuk tetap profesional.
"Kalau kamu ketahuan lagi seperti ini, bersiaplah untuk dipecat!" ucap Manajer Han kemudiam meninggalkan Karin yang masih menggerutu.
---
Karin melanjutkan pekerjaannya, masih kesal dengan insiden ponselnya. Sambil membersihkan, bibirnya terus mengerucut, tanda jelas dari kekesalannya. Begitu selesai, ia berjalan keluar dari kamar dengan langkah pelan, mengumpulkan peralatan.
Namun tiba-tiba, seorang anak kecil berlarian dan tak sengaja menabrak Karin. Tubuh mungil anak itu jatuh terlentang di atas tangan Karin.
"Hati-hati, ya!" Karin mengerutkan dahi, namun segera tersenyum ketika melihat wajah anak laki-laki itu—kulit putih, mata cokelat sipit, dan potongan rambut mangkuk yang membuatnya tampak menggemaskan.
"Maaf, aku nggak sengaja," ucap anak itu polos, mengulurkan tangannya untuk membantu Karin berdiri.
Karin tersenyum, menerima uluran tangannya. "Tidak apa-apa. Kamu sedang buru-buru ya?"
Anak itu mengangguk. "Iya, aku nggak sabar ketemu seseorang."
"Apa namamu?" tanya Karin, menahan senyum melihat tingkah lucunya.
"Namaku Rio. Dan kamu, Bibi siapa?"
Karin tersenyum kecil. "Namaku Karin. Senang bertemu denganmu, Rio."