Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HANYA BISA DIAM DAN PATUHI
Dengan lihainya Marsha berimajinasi dengan kuas yang menari-nari di atas kanvas. Semburat jingga mulai mengintip sore ini, cahaya redup yang menyinari wajahnya tidak membuatnya terusik dan menghentikan kegiatannya melukis. Ia terus menggoreskan warna pada kanvas putihnya yang mulai penuh akan bercak hitam yang mendominasi.
"Lukis apa?" suara Alan yang tiba-tiba disampingnya membuat keheningan dan konsentrasinya hilang seketika.
Ia mengehentikan kegiatannya, memandangi Alan yang sudah berganti pakaian dan terlihat jauh lebih segar dengan tatapan teduhnya, Marsha mengalihkan pandangannya ia tidak ingin terjerat.
'Dasar laki-laki mesum, munafik, penipu!' batinnya kesal.
Alan bisa melihat lukisan abstrak seorang wanita berdiri kehujanan dengan payung yang terbuka ditangannya namun tidak memayunginya, justru payung itu menampung hujan yang turun turut membasahi wanita dalam lukisan itu.
"Kenapa nggak dipakai payungnya?" tanya Alan penasaran, jika memang ingin melukis wanita yang menyukai hujan harusnya Marsha tidak perlu menggambar payung disana kan.
"Hujan itu berkah, jadi tidak perlu payung untuk melindungi." Marsha berkata lirih, ia berdiri berniat meninggalkan Alan.
"Tapi kan bukan begitu konsepnya," Alan berusaha menahan Marsha beranjak dari tempatnya. Ia melihat tidak ada hubungannya lukisan dengan pernyataan Marsha barusan.
"Saya yang lukis, suka-suka lah mau seperti apa konsepnya." jawab Marsha ketus,
Sebenarnya ia asal menjawab saja tadi karena apa yang dilukis hanyalah menunjukkan rasa kekecewaannya saja.
Marsha melangkah hendak meninggalkan Alan, tapi tangannya langsung ditahan oleh Alan.
"Kamu marah sama saya?" tanyanya khawatir,
Marsha terdiam, ia menatap Alan sejenak. "Nggak tahu ya, emang saya boleh marah atau tidak sebenarnya? Saya ada di sini juga tidak lebih sebagai alat pelancar segala urusan dari dua belah pihak kan. Saya boleh apa selain diam dan patuhi perintah, um?"
Marsha menepis tangan Alan dan pergi meninggalkan Alan yang masih bergeming mencoba mencerna setiap kata dari Marsha.
Keesokan paginya saat perjalanan ke sekolah Marsha masih memilih banyak diam dan menghindari bersitatap dengan Alan, Alan pun tidak menuntut walaupun sebenarnya ia sungguh gelisah dengan sikap yang ditunjukkan oleh Marsha.
"Hari ini Saya mau menginap dirumah Mama." ucap Marsha memecahkan keheningan diantara mereka.
"Kenapa?" Alan tampak kaget, ia bahkan sampai dua kali menoleh kearah Marsha memastikan istrinya memang serius mengatakannya.
"Sarah mau menginap dirumah, saya nggak mungkin bawa dia ke rumah kan? Maksudnya ke Villa Bella."
Alan tampak ragu, "Berapa lama?" akhirnya Alan pasrah, ia juga tidak bisa mengekang Marsha.
"Emang boleh lama?" Marsha malah balik bertanya,
"Nggak, sehari aja." Alan menyahut dengan cepat membuat Marsha sedikit kaget, ia pun membuang mukanya seraya memajukan bibir bawahnya mengejek.
"Ngapain tanya-tanya kalau gitu." kekinya kesal.
"Kenapa?" Alan kembali menoleh melihat Marsha.
"Apa sih lihat sini mulu, lihat depan sana ah, Om." Marsha kesal karena sebentar-sebentar Alan menoleh melihat kearahnya, mengalihkan pandangannya dari jalanan didepan.
"Kamu panggil saya apa??" tuh kan Alan kembali menoleh kearahnya membuat Marsha juga panik kalau nabrak.
"Ohhh Mas ganteng lihat jalan lah! Lihat ke depan sana!" kini Marsha mendorong dan memutar wajah Alan dengan paksa melihat ke depan. Alan hanya tersenyum simpul melihat tingkah Marsha.
"Senyum-senyum lagi, dasar Om-om gila." gumam Marsha pelan.
"Saya dengar ya," menoleh lagi Alan melihatnya,
'Bodo amat!' Marsha hanya bisa membatin seraya menutup wajahnya dengan frustrasi.
~
Pertemuan Marsha dengan wanita berkacamata hitam itu membuat Marsha ingin menghindari Alan, ia bersyukur niat Sarah justru membantu mewujudkannya. Menjauhi dari Alan untuk sesaat. Marsha butuh waktu untuk merenung, sebelum menanyakannya pada Alan.
Marsha sudah mengabari Nadia akan rencananya bersama Sarah hari ini, saat pulang sekolah Sarah dengan antusias menunggu kedatangan Basuki untuk memastikan ia tidak dipecat oleh Marsha karena sudah sangat lama tidak kelihatan.
"Pak Basukiii!" Seru Sarah senang begitu membuka pintu mobil, "Sehat Pak?" sapa Sarah sambil menaiki mobil dan disusul oleh Marsha.
"Sehat Non Sarah." jawab Basuki sopan.
Sepanjang perjalanan Marsha memikirkan Alan yang tidak lagi ia kabari selain pagi tadi saat berangkat sekolah, ia juga belum mengabari jika sudah berangkat kerumah Nadia. Ia masih kesal, mencoba untuk mengabaikannya.
Marsha mengelus lembut cincin dijari manisnya, ia juga tidak benar-benar menatap kearah cincin pernikahannya itu. Ia hanya bingung harus mengabari Alan atau tidak.
"Jadi itu cincin dari siapa?" bisik Sarah mengedipkan satu matanya menggoda, Marsha hanya melirik Sarah sekilas lalu mengedikkan bahunya.
"Rahasia nih ceritanya," Sarah melipat kedua tangannya di dada ia pura-pura ingin merajuk.
"Nggak apa-apa kalau lo merajuk gue sih bebas," celetuk Marsha cuek karena ia tahu Sarah bukan tipe sahabat yang tukang ngambek.
Sesampainya di rumah Sarah berlari menyapa semua penghuni rumah dengan semangat karena ini waktu terpanjang tidak berkunjung.
"Kangen banget nginap disini, apa-apa bareng. Kenapa akhir-akhir ini kita nggak barengan ya Sha?" tanya Sarah heran sambil tidur-tiduran di atas kasur Marsha.
"Lo nggak ada ngajak, gue kan selama ini pengikut lo aja Sar." jawab Marsha yang memang apa adanya.
Selama ini Sarah yang selalu memberikan ide ini dan itu, nanti Marsha yang akan menimbang baik dan tidaknya, sia-sia atau bermanfaat. Tapi sebenarnya memang akhir ini Marsha yang sengaja berusaha agar Sarah tidak mencetuskan idenya sehingga ia tidak perlu harus seperti saat ini. Pulang kerumah yang bukan rumah utamanya sekarang.
"Iya juga ya," Sarah tampak berpikir, kenapa ia sampai mengabaikan salah satu kebiasaannya.
Sarah turun dari kasur, ia beranjak ingin mengambil baju ganti di lemari Marsha. Matanya mengerjap melihat isi lemari yang sangat sedikit.
"Sha, baju-baju lo pada kemana dikit banget."
Marsha menghela napas, begini nih kalau tidak ada keterbukaan, mengarang dan terus mengarang kebohongan, menumpuk dan memupuk dosa kebohongan.
'Tuhan, maafkan lah hamba.' batin Marsha kemudian.
"Emang segitu Sar, yang lain masih di cuci kali. Pakai aja ih jangan banyak protes." Marsha berusaha dengan maksimal senatural mungkin menghadapi pertanyaan-pertanyaan curiga yang akan keluar selanjutnya.
"Bukan protes Sha, gue aneh lihatnya." jawab Sarah jujur seraya mengambil salah satu baju yang ada didepannya.
Marsha tidak menanggapi, ia berjalan ke meja belajarnya memeriksa buku pelajarannya sebentar, lalu membuat notes dan alarm untuk kembali mengevaluasi pelajaran karena besok ia ada ulangan.
Setelah itu Marsha membuka ponselnya berniat untuk mengabari Alan namun bersamaan dengan itu sebuah notifikasi email masuk, kemarin ia baru saja mendaftar untuk ikut seminar pendidikan. Marsha mengeceknya. Informasi pendaftarannya berhasil, beserta informasi lainnya akan mereka sampaikan melalui grup peserta seminar.
Marsha men-scrolling kebawah, matanya menyipit ia melihat satu email pribadi dengan nama email viona_gwen@imel.com.
**