Bagaimana rasanya menikah dengan orang yang tidak kita kenal?
Baik Arsya maupun Afifah terpaksa harus menerima takdir yang telah di tetapkan.
Pada suatu hari, ayah Afifah di tabrak oleh seorang kakek bernama Atmajaya hingga meninggal.
Kakek tua itupun berjanji akan menjaga putri dari pria yang sudah di tabraknya dengan cara menikahkannya dengan sang cucu.
Hingga pada moment di mana Afi merasa nyawanya terancam, ia pun melakukan penyamaran dengan tujuan untuk berlindung di bawah kekuasaan Arsya (Sang suami) dari kejaran ibu mertua.
Dengan menjadi ART di rumah suaminya sendirilah dia akan aman.
Akankah Arsya mengetahui bahwa yang menjadi asisten rumah tangga serta mengurus semua kebutuhannya adalah Afi, istrinya sendiri yang mengaku bernama Rere?
"Aku berteriak memanggil nama istriku tapi kenapa kamu yang menyahut, Rere?" Salah satu alis Arsya terangkat.
"Karena aku_" Wanita itu hanya mampu berucap dalam hati. "Karena aku memang istri sahmu, pak Arsya"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 16
Aku menerima sodoran ponsel dari tangan pak Arsya dengan perasaan tak enak. Hatiku penuh tanya kenapa Shema harus menghubunginya untuk bicara denganku, kenapa tidak langsung menghubungi nomorku?
Apa yang ada dalam pikiran pak Arsya nanti? Lantas ada apa dengan Shema?
Beberapa pertanyaan seakan berebut ingin mendapat jawaban.
"Nanti kalau sudah selesai, antarkan ponsel saya ke atas, ya!" Pesan pak Arsya, yang langsung ku respon dengan anggukkan kepala.
Pria itu langsung berbalik, ku tatap punggung pak Arsya yang bergerak menjauh, memastikan dia tak menguping pembicaraanku dengan Shema.
Saat langkah pak Asrya di tengah-tengah anak tangga, dia sempat menoleh ke arahku sejenak, dan itu membuatku kikuk setengah mati.
Aku juga masih heran saat beberapa menit lalu pak Arsya terpaku dengan pandangan menatapku tak berkedip.
"Apakah dia_"
Ah tidak, selera pak Arsya bukan seorang ART, dia juga sangat menghargai pernikahannya, jadi tidak mungkin pak Arsya mengagumiku. Bisa jadi dia sedang mencurigaiku dan penasaran kenapa Shema ingin bicara denganku menggunakan ponselnya.
Iya kan?
Ketika pemilik punggung lebar itu tak lagi terlihat, aku buru-buru menutup pintu kamar, dan langsung menempelkan ponsel di telingaku.
"Hallo, Shema?"
"Halo, nona?" Sahutnya gugup. "Nona baik-baik saja?"
"Iya, aku baik. Ada apa She? Kenapa kamu menelfon pak Arsya, kenapa tidak langsung menelfonku?"
"Dari tadi saya sudah mencoba menghubungi nomor nona, tapi sepertinya ponselnya mati"
"Ah iya maaf! Ponsel baru saja ku nyalakan"
"Nona, nona Afi harus hati-hati, kemungkinan besar bu Prilly sudah mengetahui keberadaan nona"
"Dari mana dia tahu?" Tanyaku heran.
"Entahlah nona, tadi pagi dia menelfonku dan mengatakan kalau nona ada di tangannya. Saran saya lebih baik nona jujur ke pak Arsya sebelum terlambat!"
Aku menelan ludah, merasa bimbang setelah mendengar ucapan Shema.
"Katakan pada pak Arsya yang sebenarnya biar ini menjadi urusannya. Saya sangat yakin kalau pak Arsya tidak akan tinggal diam"
"Saya khawatir karena bu Prilly berniat menyingkirkan nona. Iya kalau hanya menyuruh nona pergi, kalau dia nekad bagaimana? Saya pasti orang pertama yang akan menyesal, nona" Imbuhnya panjang lebar.
"Okay, akan aku katakan yang sebenarnya, tapi aku butuh waktu untuk merancang kalimat yang pas, itu supaya pak Arsya tidak merasa tertipu. Mengenai bu Prilly, sepertinya dia hanya menakut-nakutimu saja, dia sama sekali belum tahu keberadaanku"
"Tapi bisa jadi bu Prilly memang sudah tahu semuanya, hanya saja dia memilih diam karena sedang merencanakan sesuatu"
"Nggak mungkin She, dia masih kebingungan mencariku. Kamu tahu Farid? Orang kepercayaan bu Prilly? Dia sekarang menjadi informan untuk pak Arsya"
"Farid menjadi informan pak Arsya?" Tanya Shema tak percaya.
"Iya. Dia di tugasi untuk mengawasi bu Prilly. Jadi kamu tenang, iya! bu Prilly, dia hanya sedang bersandiwara, yang seakan-akan tahu keberadaanku. Itu dia lakukan karena masih sangat yakin kalau kamu tahu sesuatu tentang aku, dia yakin jika intimidasinya terhadap kamu akan membuatmu berkata jujur"
"Tetap saja saya was-was, nona"
"Jangan berlebihan Shema, kamu cukup fokus dengan pekerjaanmu, mengerti!"
"Tapi jika pak Arsya tahu nona ada bersamanya, pak Arsya pasti akan mendukung nona, saya tahu betul bagaimana pak Arsya, dia selalu bersimpangan dengan mamahnya sendiri, nggak mungkin dia membela mamahnya kalau memang mamahnya bersalah, pak Arsya orang baik, nona "
Aku termenung, mencermati kata demi kata yang keluar dari mulut Shema melalui sambungan telfon.
"Oh ya Shema, apa nomor kamu masih di sadap?"
"Masih nona, jangan sekali-kali nona menghubungi nomor saya"
"Nomor ponsel yang biasa aku pakai sudah tidak ku gunakan semenjak ada nomor baru itu terus menelfonku"
"Bagus kalau gitu, bu Prilly memang mencurigai beberapa riwayat nomor yang sering saya hubungi, termasuk nomor nona"
"Hmm...By teh way, apa pak Arsya nggak curiga, kamu ingin bicara denganku menggunakan ponselnya"
"Semoga saja tidak, nona. Saya beralasan ingin mengucapkan terimakasih karena Rere sudah membantu saya"
"Ya sudah, ini ku tutup dulu, aku merasa nggak enak sama pak Arsya"
"Nona!" Potong Shema mencegahku.
"Apa nona sudah bisa mencintai pak Arsya?" lanjutnya bertanya.
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Shema. Secara reflek pikiranku langsung tertuju pada sosok yang sudah berhasil mencuri hatiku. Pak Arsya, tak ada alasan untukku tidak menyukainya, dia memiliki seribu pesona yang mampu menakhlukan wanita manapun.
"Nona" Panggil Shema, ketika aku hanya diam.
Aku menarik napas panjang sebelum kemudian bersuara. "Biar bagaimanapun, pak Arsya sudah menjadi suamiku, mau tidak mau, aku harus mencintainya, bukan? Dan beberapa minggu tinggal di sini, sedikit banyak membuatku tahu tentang pak Arsya"
"Saya senang mendengarnya, nona. Saya doakan pernikahan kalian langgeng, dan bu Prilly bisa menerima nona"
"Makasih, Shema"
"Tidak perlu berterimakasih, nona" Balasnya dengan suara rendah, seperti sudah mengantuk, mungkin.
" Baiklah nona, saya tutup dulu, di sini sudah hampir pukul dua belas malam"
"Ya, istirahatlah. Jaga kesehatanmu"
"Baik"
Ku akhiri panggilan setelah mengucap salam. Sesaat kemudian, aku keluar dari kamar berniat mengembalikan ponsel milik pak Arsya.
Tadi Shema menghubungi pak Arsya menggunakan ponsel baru yang dia beli khusus untuk berkomunikasi denganku. Ponsel jadul yang tidak bisa di sadap oleh siapapun.
"Permisi, pak" Ucapku seraya mengetuk pintu.
"Masuk!" Sahut suara dari balik kamar.
Pelan, ku putar handle pintu. Begitu terbuka, ku lihat pak Arsya belum tidur, dia sedang duduk di sofa yang ada di kamarnya, seperti sedang membubuhkan beberapa tanda tangan pada kertas demi kertas.
"Ini ponselnya, pak. Maaf sudah merepotkan" Kataku. Aku tak tahu, kenapa setiap kali berhadapan dengannya, jantungku seakan mau runtuh.
"Nggak apa-apa, Re. Saya saja hampir setiap hati merepotkanmu"
"Itu sudah menjadi tugas saya, pak"
"Ya, dan saya suka dengan pekerjaanmu, apalagi masakanmu. Masakan rumahan, tapi sangat enak, aku jadi suka makan di rumah"
"Makasih, pak" Hatiku mencelos begitu hangat.
Pria itu lantas menatapku sekilas, dia tersenyum tipis sebelum kemudian kembali menunduk dan fokus dengan pekerjaannya.
"Saya permisi dulu, pak"
"Tunggu, Re" Cegahnya tanpa melihatku.
"Ada apa, pak?" Tanyaku dengan sorot bingung.
"Ngomong apa saja sama Shema, perasaan baru pertama kali bertemu, kenapa sudah sangat akrab sampai-sampai dia menelfon saya hanya untuk bicara denganmu?"
"Hanya ngobrol biasa, pak. Cuma mau ngucapin makasih karena sudah saya bantu waktu itu"
"Memangnya kamu bantu dia apa?"
Aku terdiam, mencari alasan supaya pria di depanku ini mempercayaiku.
"Hm?? Bantu apa dia?" Tanyanya sekali lagi.
"Ini urusan wanita, pak"
Pak Arsya kembali memindai wajahku kali ini dengan alis terangkat satu.
"Urusan wanita?" Ucapnya.
"Iya, pak"
Pria itu mengatupkan bibirnya, sedetik kemudian mengangguk paham. Entah satu pemikiran denganku atau tidak.
"Saya permisi dulu, pak"
"Temani saya ngobrol sebentar, ya" Pintanya. Mencegahku ke dua kalinya.
"Temani?" Sungguh jantungku makin tak karuan detakannya.
"Hmm. Temani sampai ini selesai. Tinggak sedikit lagi, kok"
Aku termenung, berusaha membuat diriku setenang mungkin.
"Ambil kursi itu" katanya sambil menunjuk kursi putar di depan meja kerjanya. "Bawa ke sini dan duduklah temani saya sebentar"
Bersambung
semoga end nya nanti sudah baikan semua 😊