Karena dikhianati, aku trauma terhadap wanita. Ditambah anakku yang masih bayi membutuhkan bantuan seorang 'ibu'. Apa boleh buat, kusewa saja seorang Babysitter. masalahnya... baby sitterku ini memiliki kehidupan yang lumayan kompleks. Sementara anakku bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekretaris
Kayla masih diam, lalu menunduk.
Aram menangis, Kayla reflek menggendongnya di bahu dan menepuk-nepuk punggungnya.
Aram bersendawa keras sekali.
Anak itu kekenyangan.
Paling tidak, ada hal yang menghibur hatiku hari ini.
Terlalu banyak kejadian dari tadi pagi.
Astaga... sudah saatnya aku pulang...
Di kantor pun percuma, aku tidak fokus. Bukan karena libido, tapi lebih karena... aku melihat sosok wanita lemah dengan tubuh memar hampir sekujur badan! Monster jenis apa yang tega melakukan ini padanya?!
“Saya akan jelaskan yang telah terjadi, lain kali. Saat ini saya belum kuat mengenang kembali masa lalu.” Desis Kayla pelan.
“Mulai sekarang, jangan keluar dari apartemen tanpa saya.” Kataku akhirnya.
“Baik Pak...” desis Kayla sambil meletakkan Aram ke strollernya, lalu mengambil handuknya di lantai dan melilitkannya ke tubuhnya.
Kami tetap Video Call, aku menyambar ponselku yang satu lagi, yang tersimpan di kantong celana. Kugunakan untuk operasional. Vertu Ironflip. Nggak usah tanya harganya, yang jelas menggunakan ponsel ini orang tidak akan memandang rendah aku. Tidak usah dibandingkan dengan i-Phone, mereka dua karya seni yang berbeda. Yang satu iOS yang satu Android. Keduanya sama-sama berfungsi untukku. Tapi kalau urusan bisnis, crypto atau masalah dana, aku cenderung menggunakan Vertu.
Aku menekan nomor pengacaraku.
“Hay, Sep.” Sapaku.
“Bro...” sapa Kasep dari seberang.
“Gue lagi pingin bikin masalah. Mau ikutan?” tawarku.
“Lagi-lagi lo ngerasa bosan ya? Kebosananmu adalah ladang uang bagiku, Pak Bro!” sahut Kasep dari seberang sana.
“Coba lo cari data perceraian di Pengadilan Agama, Pengajuan sekitar 2 bulan yang lalu kayaknya... nama pasangannya Kayla dan Angga. Gue nggak tahu nama belakangnya sih. Yang namanya Kayla, sekarang gue hire jadi babysitternya Aram.”
“Hah? Tumben lo mau pake babysitter.”
“Yang ini karena keadaan mendesak, bro. Lo bakal tahu kenapa gue bisa hire Kayla. Cari dulu aja datanya.”
Lalu tidak terdengar suara dari Kasep di ujung sana. Si Kaharuddin Septian ini seharusnya antusias kalau aku mengajukan kasus baru. Selama ini setiap gugatanku selalu dimenangkan olehnya. Termasuk saat dia menangani perceraianku dengan Reina. Menang mudah katanya. Aram kudapatkan, tabunganku aman. Biar saja si Reina jadi gundik Raja Diraja, bodo amat. Raja mana yang tak waras mau menjadikannya simpanan.
Bro Boss,” desisnya kemudian. Dari nada suaranya yang direndahkan, aku langsung malas mendengarkan. Pasti ini tentang nasehat yang aku sudah tahu apa resikonya. Aku menghubungi dia memang karena hati nuraniku terketuk, bukanlah logika yang bermain.
“Kayla ini orang lain, kan? Lo kenal udah berapa lama bro? Dimana lo kenal dia? Gue kenal juga nggak?! Terlalu gegabah kalau lo mau bantu dia cari masalah, bisa-bisa lo sibuk, Aram terlant-”
“Gue transfer dulu fee biaya operasional.” Sahutku langsung.
“Ada uang ada jasa. Sipp.”
Banyak omong... ya tapi itu kan modal pengacara. Ngomong aja dulu, adil dan benar urusan belakangan.
**
Setelah itu, aku turun untuk mengambil pesanan CCTVku. Aku memesan 10 unit. Sementara kulihat ada dua petugas yang sudah memasang CCTV di ruanganku.
“Sore Pak, saya boleh pulang duluan?” Altan menghampiriku. Anak ini... baru saja ketemu aku sudah minta pulang duluan. Kunyuk...
Aku masih kesal dengannya jadi kujewer telinganya.
“Pak! Pak! Pak!! Ampun Pak! Sakeeett!!” serunya sambil meronta-ronta.
“Altan Bin Furkan...” geramku.
“Y-y-ya pak...?”
“Sekali lagi kamu tebar pesona ke Kayla, saya jemur di helipad. Jelas? Juga akan saya laporkan ke ibu kamu kalau kamu ngeliatin dada karyawan saya. Ya?”
“Apapun Yess, asal jangan melibatkan ibu saya, Pak!” seru Altan kalang kabut.
“Good. Udah ngerti?”
“Ngerti! Ngerti Pak! Ampuunnn!”
“Udah sana pulang.”
Dia pun menghela nafas panjang karena aku melepasnya.
“Eh iya, lupa, Pak!” dia balik lagi. Rasanya kesalku hampir meledak. Altan mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil berbisik. “Jadi Sekretaris B barusan dikasih SP Pak, perihal ada under wear di bawah meja bapak itu. Nggak bisa dipecat soalnya dia saudara jauh Pak Zukfikar.”
“Jauhnya berapa kilo?” desisku malas.
“Berapa ya? Sepupu punya anak... Itu berapa kilo Pak?”
Aku memicingkan mata ke arah Altan. Altan dengan polosnya menaikkan alisnya, menatapku dengan tatapan anak anjing yang menunggu dikasih hamburger.
“Terus anaknya punya sepupu dari pihak bapak? Terus bapaknya punya kakek, terus kakeknya punya canggah, nah itu Sekretaris B?” tebakku kesal.
“Gimana Pak, coba ulangi?”
“Nggak bisa, saya juga lupa.” Geramku mulai tak sabar. “Kamu sekarang sana pulang, sebelum saya mulai ngomong jorok.”
“Siapp! Absen!” serunya sambil menyambar tas ranselnya lalu menekan sidik jari di mesin absen.
Sahutan ‘terima kasih’ dari mesin absensi bergema, dan dia pun masuk ke dalam lift.
Akhirnya ruangan ini tenang juga...
Tapi tidak berapa lama, paling beberapa detik, ketegangan mulai timbul lagi. Saat aku keluar dari ruangan dengan menenteng sekoper penuh unit CCTV yang sudah disiapkan Bagian Umum untukku. Aku membayar ini pakai uangku sendiri, bukan dari biaya operasional kantor ya.
4 Sekretarisku, sebut saja si A, Si B, Si C, Si D, masuk area operasional dengan kondisi Si B sedang terisak-isak.
Mereka terdiam saat melihatku. Aku juga jadi emosi melihat mereka.
Ada apa dengan diriku ini, memang tidak bisa kau biarkan hidupku adem-ayem Ya Tuhan?!
Aku menghadang mereka sambil melipat kedua tanganku di depan dada.
“Puas? Atau belum?” tanyaku mengancam.
Si A... yah sebut saja namanya A’an. Yang B, itu anggap saja namanya Bebe, Cece, dan Dede. Jujur saja aku tidak ingat nama-nama asli mereka. Saking seringnya aku ganti-ganti sekretaris. Kalau dulu, aku tak suka ya kupecat. Kalau Reina bilang pecat ya kupecat. Terakhir aku dapat masalah karena seenaknya memecat orang, aku dilaporkan ke Depnakertrans. Akhirnya aku dapat surat peringatan dan si korbanku di berhentikan dengan mendapat kompensasi. Dua bulan bonusku nggak dibayar untuk mengganti kerugian kompensasi.
Tapi... gaji pokokku sudah 50 jutaan. Bukannya aku tidak berharap bonus loh, tetap saja bonus itu hasil apresiasi perusahaan terhadap kinerja kita. Sedih juga sebenarnya harusnya bisa dapat 70 juta perbulan, ini cuma 50 juta.
Si A’an mendekatiku sambil menarik nafas panjang, “Memangnya perlu ya Pak, mempermalukan teman kami di depan umum seperti tadi?”
“Siapa? Saya? Buta kamu ya? Tidak lihat dia mempermalukan dirinya sendiri? Memang apa urusan kamu? Heh, Be, sini!”
“Tapi Pak!”
“Saya nggak ada urusan sama kamu ya A. Be, sini kamu!”
Menurutnya dia bisa marah padaku? Tidak ada hormat-hormatnya ke atasan. Apakah mereka beranggapan, semakin galak mereka, semakin seksi mereka terlihat? Tipe wanita kuat? Provokatif independence feminist woman?
Ngaca dulu lah...
Aku saja ilfil.
“Saya nggak terima diperlakukan seperti ini Pak!” sembur Bebe. “Saya akan laporkan ke Dinas Ketenagakerjaan kalau saya diintimidasi di tempat umum!”
Astaga nih cewek. Bisa-bisanya dia bicara begitu. Apa dia lupa kalau aku juga karyawan, aku pun bisa melaporkan dia dengan tuduhan tindakan pelecehan.
“Oke, kita saling lapor saja ya. Tapi karena jabatan saya lebih tinggi, dan jobdesk kamu membantu pekerjaan saya, jadi sebelum kasus ini saya ajukan ke Depnakertrans, kamu saya non-aktifkan dulu. Jadi kamu tetap karyawan tapi kamu tidak digaji.”
“Ya tidak bisa begitu dong pak!”
“Atau... saya tanya dulu deh ke Pak Zukfikar, kalau tuduhan fitnah itu bagaimana prosesnya. Katanya kamu saudara beliau kan? Siapa tahu masih bisa dibicarakan secara kekeluargaan. Tapi ya itu, negatifnya jadinya seluruh keluarga besar tahu kalau kamu menggoda atasan kamu dengan meletakkan pakaian dalam di bawah meja.” Aku menyeringai. “Kasihan deh, nggak saya respon malah nekat. Harusnya tahu dong kalau saya tidak tertarik sama kamu.”
Matanya membesar.
Ia menatapku dengan kaget. Mungkin saja saat ini dia shock.
Mulutku memang seperti perempuan sejak aku bercerai. Soalnya kalau didiamkan malah ngelunjak. Di mataku mereka berempat adalah Reina. Golongan playing victim.
Dan sekarang aku sudah tahu cara mengatasi kaum yang seperti ini.
Aku mencondongkan tubuhku ke arah Bebe, lalu berbisik, “Saya punya yang jauh lebih cantik di rumah. Tanya si Altan, dia udah ketemu. Kok kamu pede ya cup pas-pasan begitu dipamerin ke saya. Apa’an tuh kumel pula, khehehe. Najis...”
Aku pun menegakkan tubuhku untuk melihat seperti apa tampangnya sekarang. Rasa puas langsung melandaku saat setitik air mata jauh membasahi pipi Bebe.
Dia kena mental.
Kuharap dia tidak akan mencoba apa pun yang jauh lebih merugikannya.
“Kamu yang minta sendiri perlakuan ini.” Desisku. “Nggak usah bawa-bawa dukun, saya ini manajer operasional, tentu saja Khodam saya banyak. Kamu di sini kerja yang Kalem, atau bertingkah dan keluar. Itu saja pilihannya.” Sahutku sambil keluar dari sana.
Kayla berbicara denganku saat aku dalam perjalanan pulang, “Bapak saya mohon izin menyusui di kamar ya.” Katanya.
Ya tentu saja kuizinkan. Dia sudah melalui hari yang berat.
“Yang penting kamera jangan mati.” Kataku.
maaf y Thor bacanya maraton tp untuk like dan komen ngak pernah absen kog 😁😁😁,,,,