Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku saat itu.
Rani yang congkak itu mendapatkan pelajaran yang setimpal.
Dan mas Sigit? Ada perasaan tidak enak juga di hatiku. Bukan karena masih cinta atau apa, tapi lebih karena dia adalah ayah dari Bulan.
Ponselku berdering, ternyata yang menelpon adalah dokter Agam.
"May, kau sudah dengar tentang musibah yang menimpa keluargamu? dari pihak rumah sakit kota meminta aku datang untuk mengurusnya. Kau mau ikut sekalian?"
Aku bingung. Apakah aku harus ikut atau tidak? terus terang aku masih sakit hati oleh perbuatan mereka. Tapi aku merasa perlu tau juga keadaan mas Sigit.
"Kebetulan aku pakai mobil dan Mala juga ikut, jadi kau tidak usah khawatir" suara Dokter itu terdengar lagi.
Entah apa pertimbanganku, aku langsung menyanggupinya.
Bulan aku titipkan ke ibu.
Angin semilir menerpa wajah ku saat meninggalkan kampung halaman kami.
Aku dan Mala duduk di belakang, sedang dokter Agam menyetir sendiri.
Walaupun sakit hati, aku masih berharap mas Sigit baik-baik saja.
"Apa tidak ada yang menghubungimu, May?" suara dokter Agam membuyarkan lamunanku.
"Belum, Dok." jawabku singkat.
Mungkin. Dia bertanya tanya. tapi aku tidak ingin menceritakan masalah di rumah tanggaku saat ini.
Perjalanan cukup memakan waktu, karena jarak dari kampung ke ibu kota membutuhkan waktu dua jam.
Di sebuah warung Dokter Agam menghentikan mobilnya.
"Kita mengisi perut dulu." ucapnya sambil tetap tersenyum.
Aku membangunkan Maks yang terkantuk-kantuk.
Aku hanya makan sedikit, hal itu membuat Dokter Agam heran.
"Berduka itu boleh. tapi jangan lupakan perutmu." guraunya.
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
Setelah dirasa cukup. kami kembali melanjutkan perjalanan.
Tiba di rumah sakit. Dokter Agam langsung menemui dokter kepala. Sedang aku dan Mala menuju ruangan dimana keluarga mas Sigit di rawat.
Aku terkesiap melihat Rani di perban kedua kaki dan tangannya. wajah ya membengkak.
Di ranjang sebelahnya ada Tara dengan kondisi yang tidak jauh berbeda. Begitupun ayah dan ibu mertua.
Lalu dimana mas Sigit?
Saat aku berusaha bertanya pada suster. Sebuah suara menyapaku.
"Syukurlah kau cepat datang, May. aku kewalahan menunggui mereka. Aku sendirian disini." ucapnya dengan kusut seperti kurang tidur. ada rasa lega di hatiku karena melihatnya selamat.
Tapi jengkel juga saat ingat dia berterima kasih atas kedatanganku. Dos pikir aku datang untuk ikut merawat keluarganya.
"Eemm. Aku datang hanya ingin memastikan keadaan kalian saja. Aku tidak ada niat untuk tinggal dan mengurus mereka." jawabku ketus.
"May, lupakan sejenak masalah pribadi kita. Kau tidak kasihan melihat keadaan mereka?" mas Sigit mengguncang lenganku.
Aku menggeleng dengan tega.
Ibu mertua dan Rani tidak henti-hentinya mengaduh. bahkan mereka berani membentak suster yang merawat mereka.
"Ini rumah sakit, kalian butuh bantuan kami. jadi jangan sok belagu.." bentak seorang suster.
membuat ibu dan Rani bisa diam sejenak.
"May, ternyata kau datang juga. ibu yakin kau akan datang. kau tidak akan tega melihat keadaan kami." rintih ibu mertua.
"Iya, May. Sakit sekali rasanya. Seluruh tubuhku terasa sakit." keluh Rani.
Mas Sigit sibuk menenangkan Tara yang menangis.
"Ooh, jadi ibu dan mba Rani masih mengharapkan kehadiranku?" ucapku meledek mereka.
"Tentu saja, kau adalah menantu tertua, ini sudah menjadi tanggung jawab mu."
Huh, sudah tidak berdaya begini baru mengakui aku sebagai menantu. kemana saja mereka saat masih sehat?
Tak ingin berlama-lama mendengar suara mereka. As ku mencari alasan untuk keluar.
"Aku mau ketemu temanku dulu, ya?"
ucapku sambil tergesa keluar.
"May, mau kemana? tolong garuk punggungku ..!" teriak Rani. tapi aku terlanjur kabur dari ruangan itu.
"May, ada apa kau berlari seperti ini? seperti ada yang mengejar mu?" tanpa sengaja aku menabrak dokter Agam.
Hampir saja aku terjatuh, Untung dia menangkap tubuhku.
"Maaf, dok. Itu, tadi ada.."
"May...!"
Mas Sigit datang menghampiri kami dengan wajah marah.
"Oh,nya. sebenarnya aku ingin memberi tau mu kalau pak Sigit selamat." ucap Dokter Agam.
"Terlambat..! May sudah tau." jawab mas Sigit ketus.
"Jadi kau datang kesini bersama dokter ini?" tanyanya dengan geram.
Aku mengangguk ragu.
"Permisi sebentar, saya mau ke toilet ." ucapku menghindar dari keadaan tidak enak itu.
"Kau tau tempatnya? apa perlu di antar?" tanya Agam cemas.
"Tidak perlu, Dokter..! Aku akan mengantar istriku.." ucap mas Sigit mencekal tanganku sambil menatap dokter Agam dengan sinis.
"Apa-apaan sih, lepas..!"
Aku menghempaskan tangan ya dengan keras.
"Aku tidak suka dokter itu mencari perhatianmu."
"Kau berlebihan, Mas. Menurutku dia bersikap biasa saja."
"Kau jangan membantah, aku bisa merasakan niat dari pria itu. dia suka padamu." ujarnya menegaskan.
"Ngaur...!" ucapku sambil mendorong tubuhnya dan Mauk ke toilet wanita.
Aku masih terngiang tuduhan mas Sigit kalau dokter Agam menyukai ku. Hal yang tidak masuk akal. aku tidak boleh terbawa perasaan. Dia baik dan ramah kepada semua orang, bukan cuma padaku saja. Dan kalau memang dia harus menyukai seorang wanita, kenapa harus aku? Mala jelas lebih cantik, muda dan masih lajang. Sedangkan aku?
Aku membasuh wajahku untuk membuang pikiran yang aneh-aneh. Aku tidak mau berkhayal terlalu tinggi. dokter Agam dan aku bagai bumi dan langit. Kami begitu jauh berbeda.
Aku pikir mas Sigit sudah pergi dari sana. ternyata saat aku keluar, dia masih menunggu ku.
"Ayo ikut aku...!" dia menarik lenganku.
"Kemana?" tanyaku dengan tidak suka.
"Ke ruangan tempat ibu di rawat. Kemana lagi? Bukannya itu tujuanmu datang kesini?" dia menatapku tanpa berkedip.
"Kau salah, Mas. Aku sama sekali tidak berniat untuk membantu mereka, apalagi Rani. Kau tau sendiri bagaimana perlakuan mereka padaku."
"Tapi mereka sedang butuh bantuanmu. Apa kau tega? Ayolah lupakan semua perbuatan mereka selama ini." pintanya dengan wajah sendu.
Enak saja dia minta aku melupakannya. kaldu tidak kecelakaan kayak gini mungkin mereka masih angkuh padaku.
"Kenapa harus aku? Kau urus saja ipar kesayanganmu itu." jawabku ketus sambil meninggalkannya.
Dia berdiri termangu menatapku.
Ada rasa iba saat menoleh kepadanya. Tapi saat ingat bagaimana dia menyuruhku melupakan semuanya. Dadaku kembali bergemuruh.
Aku dan Mala menunggu Dokter Agam di mobil.
"Salah satu dari kalian bisa tidak duduk di depan, aku agak mengantuk. Jadi kalau ada teman bicara kan bisa sedikit mengurangi rasa kantuk. pinta dokter itu.
Aku langsung menatap Mala.
"Mba saja yang di depan. kepalaku pusing, jadi aku di belakang biar bisa rebahan." ucap gadis itu. Aku tidak bisa menolak lagi.
"Besok aku harus datang lagi untuk mengurus kepulangan mereka. Memang kondisinya belum pulih benar. Tapi mereka bisa di rawat di kampung saja di bawah pengawasanku." jelas Dokter itu.
Aku yang merasa agak kikuk hanya mengangguk kecil.
Aku lirik Mala juga sudah memejamkan matanya di belakang. More mungkin gadis itu benar-benar pusing.
Jadi aku hanya berdua saja dengan dokter Agam.
"Maaf, bukannya aku mau turut campur, tapi kenapa aku merasa kau sedang ada masalah dengan keluargamu?"
Aku merasa tidak ada gunanya menyembunyikan keadaan padanya. Lambat laun pasti terkuak juga.
"Kau tidak usah menjawab nya kalau memang menurut mu itu tidak penting. Kita cari topik lain saja." ia meralat ucapannya.
"Dokter benar, kami sedang ada masalah." jawabku cepat. lalu aku menceritakan semua yang ku alami dalam rumah tanggaku. Dia mendengar dan menyimak dengan serius.
"Menurut Dokter, apa yang saya lakukan ini benar atau salah?" tanyaku tanpa ragu.
"Aku tidak bisa menilai salah dan benar nya, kau yang mengalaminya. Apapun suara hati mu itulah yang terbaik untukmu."
Tanpa terasa kami sampai di depan rumah dinasnya. Aku menolak saat dia menawarkan mengantar ku.
"