Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan di Bawah Terik Matahari
Hari-hari semakin terasa panjang di tahun pertama setelah Dukhan. Matahari kini seperti menyala lebih terang dari biasanya, seakan-akan panasnya langsung menusuk kulit hingga terasa pedih. Di ladang, tumbuhan yang awalnya hijau segar setelah hujan kemarin mulai layu kembali. Pohon-pohon yang dulunya kokoh, kini tampak meranggas dengan daun-daun kering yang berguguran.
Suatu pagi, setelah sholat subuh, orang-orang berkumpul di bawah rindangnya pohon besar yang tersisa di desa itu. Meski panas menyengat, bayangan pohon masih memberi sedikit keteduhan, cukup untuk melindungi mereka dari teriknya matahari sementara. Salah satu pemuda yang dikenal tangguh, Jafar, berbicara dengan nada cemas, “Kita nggak bisa begini terus, harus ada sesuatu yang bisa kita lakukan selain cuma menunggu hujan.”
Beberapa orang mengangguk, menyetujui. Mereka semua merasakan hal yang sama, kelelahan, lapar, dan haus. Namun, selain itu ada perasaan frustasi yang lebih dalam, perasaan tak berdaya. Ulama yang memimpin mereka selama ini ikut mendengarkan dengan seksama. Setelah menunggu beberapa saat, ia membuka suara, “Allah sedang menguji kita. Tapi itu bukan berarti kita harus menyerah. Ada hikmah di balik semua ini. Mungkin ini saatnya kita menggali potensi diri yang selama ini kita abaikan.”
Mendengar itu, beberapa orang mulai terlihat optimis, namun tak sedikit yang tetap lesu. Ulama itu melanjutkan, “Mari kita coba lebih kreatif lagi. Ladang kita sudah ada, tapi kita perlu mencari cara lain untuk mendapatkan makanan selain menunggu tanaman tumbuh. Mungkin ada sumber-sumber lain di sekitar kita yang belum kita manfaatkan.”
Pemuda lain yang lebih muda, Rudi, tiba-tiba mengangkat tangan. “Bagaimana kalau kita coba berburu atau memancing? Mungkin ada ikan di sungai yang bisa kita tangkap. Atau mungkin ada hewan liar yang masih bisa kita tangkap di hutan.”
Semua mata kini tertuju pada Rudi, ide itu terdengar masuk akal, meski tantangannya besar. Mengingat betapa sedikitnya hewan yang tersisa, dan betapa sungai-sungai mulai mengering.
“Aku setuju!” sahut Jafar dengan semangat. “Aku pernah lihat ada belut listrik di sungai dekat sini. Memang berbahaya, tapi kalau kita bisa menangkapnya, mungkin kita bisa makan daging untuk pertama kalinya dalam beberapa hari ini.”
Mendengar belut listrik, beberapa orang terkejut. Tak mudah menangkap belut semacam itu, apalagi dalam kondisi yang serba terbatas seperti sekarang. Namun, di tengah keadaan putus asa, apapun yang bisa memberikan secercah harapan layak dicoba.
Tanpa membuang waktu, sekelompok kecil pemuda langsung bergegas menuju sungai yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ladang. Di bawah terik matahari, perjalanan terasa lebih berat, namun semangat untuk menemukan sumber makanan membuat langkah mereka tetap mantap. Sesampainya di tepi sungai, airnya memang sudah jauh surut, tapi masih ada genangan yang cukup besar di beberapa tempat. Jafar menunjuk ke arah genangan terbesar, “Di sana. Aku yakin belut itu ada di situ.”
Dengan hati-hati, mereka mendekat. Benar saja, tak butuh waktu lama untuk melihat seekor belut besar menyelinap di bawah air keruh. Jafar mengambil sebongkah batu besar dan bersiap melemparkannya ke arah belut itu. Namun, sebelum ia sempat melempar, belut tersebut meluncur dengan kecepatan tinggi, menabrak kaki Rudi yang berdiri terlalu dekat dengan air.
“AAAARGH!” Rudi menjerit kesakitan, terpental ke belakang karena sengatan listrik dari belut tersebut. Pemuda-pemuda lain segera membantu Rudi berdiri, sementara Jafar tertawa kecil, “Kukira kamu akan lebih cepat dari belut, Rud.”
Meski keadaan sedikit tegang, tawa kecil itu membawa rasa lega bagi semua orang. Mereka tahu ini tidak mudah, tapi setidaknya masih ada momen-momen yang membuat mereka tertawa di tengah kesulitan. Setelah menenangkan diri, mereka kembali berusaha menangkap belut itu. Kali ini, mereka lebih hati-hati. Jafar dan dua orang lainnya menyusun rencana untuk memancing belut keluar dari persembunyiannya, sementara Rudi berjaga di belakang, memastikan ia tidak terlalu dekat dengan air.
Setelah beberapa percobaan, mereka akhirnya berhasil menangkap belut listrik itu. Meskipun ukurannya tidak sebesar yang mereka harapkan, tapi itu cukup untuk dimasak dan dibagikan kepada beberapa keluarga di desa. Rasa lapar yang mendera terasa sedikit lebih ringan, walau makanan yang ada tak cukup banyak.
Sementara itu, di ladang, kelompok lain mencoba mengatasi terik matahari yang makin hari makin tak tertahankan. Beberapa orang mulai memasang kain-kain sebagai peneduh di atas tanaman mereka, berharap bisa melindungi tanaman-tanaman itu dari panas yang membakar. Salah satu orang tua di desa, Pak Hasan, yang terkenal dengan selera humornya, mendatangi sekelompok pemuda yang sedang bekerja keras memasang peneduh.
“Kalian tahu,” katanya sambil menyeka keringat di dahinya, “dulu waktu masih muda, saya biasa tidur siang di bawah pohon rindang. Sekarang pohon-pohon itu sudah nggak ada, jadi mungkin saya harus ikut tidur di bawah kain-kain ini. Gimana kalau kita bikin penginapan dari kain? Siapa tahu bisa jadi bisnis baru.”
Semua orang yang mendengarnya tertawa kecil. Meski lelah dan lapar, Pak Hasan selalu berhasil membuat suasana lebih ringan dengan humornya yang tak pernah habis. Setelah tertawa, mereka kembali bekerja, berusaha sebaik mungkin untuk menjaga tanaman-tanaman itu tetap hidup.
Di sela-sela pekerjaan mereka, Ulama desa itu mendatangi ladang. “Jangan pernah lupa untuk terus berdoa,” katanya dengan lembut. “Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang berusaha dan berdoa. Kita sudah berjuang sejauh ini, dan kita harus percaya bahwa ini semua adalah bagian dari rencana-Nya.”
Semua orang mengangguk setuju. Meski cobaan terus datang bertubi-tubi, iman mereka tetap menjadi sumber kekuatan yang tak tergoyahkan. Namun, cobaan ini belum berakhir, dan mereka tahu bahwa tahun-tahun ke depan akan menjadi ujian yang lebih berat.
Malam itu, setelah seharian bekerja di ladang, mereka berkumpul di masjid untuk sholat berjamaah. Di tengah gelapnya malam tanpa listrik, mereka hanya ditemani oleh cahaya lilin kecil. Hawa dingin mulai terasa, kontras dengan terik siang yang membakar. Selesai sholat, ulama itu kembali mengingatkan mereka tentang pentingnya persatuan dan kekuatan doa.
Meski tahun pertama ini penuh dengan tantangan, mereka tidak akan menyerah begitu saja. Ujian dari Allah ini harus mereka hadapi dengan kesabaran dan usaha. Mereka tahu, di tengah panasnya kemarau dan kekeringan yang melanda, hanya dengan keyakinan dan kerja keraslah mereka bisa bertahan.
Begitu malam semakin larut, mereka pun beristirahat, mengumpulkan tenaga untuk menghadapi hari esok yang tak kalah berat.
Kecewa ketika sadar bahwa yang ia gigit bukan buah mangga yang segar, melainkan pare yang pahit. Namun, tak ada pilihan lain. Rasa lapar memang bisa membuat orang melakukan hal-hal di luar kebiasaan.
"Hei, kenapa wajahmu berubah begitu?" tanya Jafar sambil tersenyum, ketika melihat temannya, Hamzah, mengernyitkan wajah setelah menggigit pare tersebut.
"Kirain mangga... tapi ini pare! Pahitnya luar biasa!" jawab Hamzah sambil memuntahkan sedikit sisa dari gigitan itu.
Mereka semua tertawa, meski tawa itu terasa sedikit getir. Humor, dalam situasi seperti ini, adalah salah satu cara mereka bertahan. Di bawah tekanan kehidupan yang semakin berat, lelucon-lelucon kecil menjadi semacam pelarian sementara dari kenyataan yang pahit.
Sore itu, suasana desa yang dulu ramai kini mulai sepi. Orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, beristirahat setelah hari yang panjang dan melelahkan. Panas matahari masih terasa meski mentari sudah mulai tenggelam di ufuk barat. Di sebuah rumah kecil di sudut desa, Rudi duduk termenung memandang keluar jendela. Ia masih merasakan nyeri di kakinya akibat sengatan belut listrik tadi pagi.
Di belakangnya, ibunya datang membawa segelas air. "Minum dulu, Nak. Air ini mungkin tidak banyak, tapi setidaknya bisa melepas dahaga."
Rudi menerima gelas itu dengan senyuman kecil. "Terima kasih, Bu. Aku masih kepikiran bagaimana caranya kita bisa bertahan kalau keadaan terus begini."
Ibunya duduk di sampingnya, memandang jauh ke arah ladang yang mulai mengering. "Kita harus tetap berdoa dan berusaha, Nak. Allah tak akan meninggalkan kita dalam kesulitan tanpa jalan keluar. Kita hanya perlu bersabar."
Malam itu, desa kembali sunyi. Hanya suara angin yang terdengar, menyapu dedaunan kering di tanah. Di rumah masing-masing, penduduk desa beristirahat dengan berbagai pikiran di kepala mereka—tentang esok hari, tentang apa yang akan terjadi, dan tentang harapan yang mulai pudar.
Namun, di tengah-tengah kegelapan dan kekhawatiran itu, ada satu hal yang selalu mereka pegang: keyakinan bahwa mereka tidak sendirian. Bahwa di balik segala cobaan yang sedang mereka hadapi, ada hikmah yang belum mereka ketahui. Mereka hanya perlu terus berusaha, berdoa, dan saling mendukung satu sama lain.
Dan dengan itu, mereka tidur, berharap hari esok membawa sedikit lebih banyak harapan di tengah kemarau panjang yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
"Mimpi Dajjal yang Menegangkan"
Malam itu, setelah seharian terik matahari memanggang desa, Rudi akhirnya tertidur pulas. Tubuhnya lelah, pikirannya penat memikirkan nasib keluarga dan ladang mereka yang mulai mengering. Di tengah keheningan malam, Rudi tiba-tiba terjerembap ke dalam mimpi yang sangat nyata—mimpi yang membuat tubuhnya berkeringat deras.
Dalam mimpinya, Rudi berada di sebuah padang luas, yang seolah tak berujung. Di sekelilingnya, tidak ada pohon, tidak ada air, hanya tanah kering yang pecah-pecah, mencerminkan keadaan dunia yang sedang ia alami. Namun, di kejauhan, ia melihat sosok besar mendekat. Tubuhnya tinggi menjulang, wajahnya menakutkan dengan satu mata yang besar di tengah dahi. Dajjal.
Rudi tak mampu bergerak, seolah kakinya terpaku pada tanah. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Sosok itu terus mendekat, dan dengan setiap langkah yang ia ambil, tanah di bawah kaki Dajjal menghitam dan membusuk. Rudi tahu ini adalah Dajjal, seperti yang sering diceritakan dalam kitab-kitab dan oleh para ustadz.
“Hei, Rudi...” suara Dajjal terdengar mengerikan, seperti bergema dalam kepalanya. “Apa yang kau takutkan? Aku bisa memberikanmu segalanya. Lihat dunia ini. Kering, hancur... tetapi aku bisa memberimu makanan, air, dan kekayaan yang kau impikan.”
Rudi menatap Dajjal dengan ngeri, tubuhnya gemetar. Dajjal menunjuk ke sebuah oase yang tiba-tiba muncul di depan mereka. Airnya berkilauan, ada buah-buahan segar yang bergantungan, dan angin sejuk berhembus dari arah oase itu.
“Lihatlah, Rudi. Kau bisa memiliki semua ini. Asal kau bersujud kepadaku.”
Rudi ingin lari, tapi kakinya tetap tak bisa digerakkan. Jantungnya berdetak kencang, seolah mau meledak. Dia tahu, bersujud kepada Dajjal adalah kehancuran bagi imannya. Tapi godaan yang ditawarkan terlalu besar. Rudi memejamkan mata, mencoba melawan ketakutan dan keinginan itu.
Tiba-tiba, Dajjal mendekatkan wajahnya ke Rudi, begitu dekat sehingga Rudi bisa merasakan panas napasnya. “Kau tidak punya pilihan lain, Rudi. Sujudlah padaku, atau kau akan binasa dalam kemarau ini.”
Saat Dajjal mengulurkan tangannya, Rudi berteriak sekuat tenaga, “Tidak!!!” Jeritan itu menggema di seluruh padang, dan Rudi terbangun dengan napas tersengal-sengal.
Kamar tidurnya gelap. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Jantungnya masih berdegup kencang, dan matanya membelalak lebar, seolah mimpi itu masih nyata di depannya. Ia segera bangkit dari tempat tidur, gemetar dan bingung.
“Astagfirullah... mimpi apa tadi itu?” gumamnya dengan suara bergetar. Rudi tahu bahwa ini bukan mimpi biasa. Ini adalah peringatan, sebuah pertanda. Ia tidak bisa menyimpannya sendiri. Ia harus segera menceritakannya pada Ustadz Abdullah, ustadz yang sering memberikan ceramah di masjid dan yang dianggap sangat bijaksana oleh penduduk desa.
Tanpa membuang waktu, Rudi segera mengenakan sarung dan kemejanya. Meski hari masih sangat dini, ia tak peduli. Dengan langkah tergesa-gesa, ia berjalan menuju rumah Ustadz Abdullah yang tak jauh dari rumahnya.
Sesampainya di rumah sang ustadz, Rudi mengetuk pintu dengan cemas. Pintu berderit terbuka, dan wajah Ustadz Abdullah yang terlihat mengantuk muncul dari balik pintu.
“Rudi? Ada apa, Nak? Ini masih sangat pagi,” tanya Ustadz Abdullah dengan suara rendah, masih menguap.
“Ustadz... maaf, tapi saya harus menceritakan ini sekarang. Saya bermimpi, dan ini sangat menakutkan... Saya bertemu dengan Dajjal!” ujar Rudi cepat, wajahnya penuh ketakutan.
Mendengar kata ‘Dajjal’, mata Ustadz Abdullah langsung terbuka lebar. “Masuk, Nak. Ceritakan dengan tenang.”
Rudi masuk dan duduk di ruang tamu sederhana Ustadz Abdullah. Dengan napas masih tersengal, ia mulai bercerita dengan detail tentang mimpinya—tentang padang tandus, oase yang muncul tiba-tiba, dan bagaimana Dajjal memintanya untuk bersujud.
Setelah mendengarkan cerita itu, Ustadz Abdullah duduk diam sejenak, merenung. “Ini bukan mimpi biasa, Rudi. Allah sedang mengujimu. Dajjal memang akan datang, dan ia akan menawarkan dunia kepada orang-orang yang lemah iman. Ini adalah ujian yang sangat berat.”
“Tapi, Ustadz... itu begitu nyata. Saya takut. Bagaimana jika saya tidak kuat menahan godaan itu nanti?”
Ustadz Abdullah menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Rudi dengan penuh kesungguhan. “Yang kau alami dalam mimpimu itu adalah gambaran dari apa yang akan terjadi di akhir zaman. Tapi ingatlah, Allah tidak akan membiarkan umat-Nya tanpa perlindungan. Yang terpenting adalah imanmu, Nak. Seberapa kuat kau bertahan pada keyakinanmu kepada Allah? Godaan Dajjal akan begitu besar, tapi ingatlah bahwa surga dan neraka adalah ujian dari Allah, bukan dari Dajjal.”
Rudi terdiam, menundukkan kepala. Ketakutan itu masih menghantui, tapi nasihat dari Ustadz Abdullah sedikit meredakan kegelisahannya. “Lalu, apa yang harus saya lakukan, Ustadz?”
“Kuatkan imanmu, Rudi. Sholatlah lebih rajin, perbanyak dzikir, dan selalu minta perlindungan dari Allah. Jangan biarkan dirimu tergoda oleh dunia yang sementara ini. Dajjal memang akan datang dengan segala tipu dayanya, tapi selama kau berpegang teguh pada keimananmu, kau akan selamat.”
Rudi mengangguk, meski rasa takutnya belum sepenuhnya hilang. “Terima kasih, Ustadz. Saya akan mencoba lebih rajin beribadah.”
Ustadz Abdullah menepuk bahu Rudi dengan lembut. “Ingat, Rudi, kau tidak sendirian. Kita semua sedang diuji. Setiap orang di dunia ini akan menghadapi godaan yang sama. Yang membedakan adalah seberapa kuat kita bertahan di jalan Allah.”
Dengan kepala tertunduk dan hati yang sedikit lebih tenang, Rudi berpamitan pada Ustadz Abdullah dan berjalan pulang. Namun, bayangan mimpi itu masih jelas di benaknya. Wajah Dajjal, oase, dan tawaran yang menggoda itu terus menghantui pikirannya.
Malam itu, meski sudah mendapatkan nasihat dari ustadz, Rudi tidak bisa tidur dengan nyenyak. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan Dajjal kembali muncul, memanggil namanya, menawarkan kenikmatan dunia yang tampak begitu nyata. Namun, di balik semua itu, Rudi terus mengingat satu hal yang dikatakan oleh Ustadz Abdullah "iman adalah benteng yang paling kokoh"!
Di pagi harinya, Rudi memutuskan untuk berdiam diri di masjid lebih lama dari biasanya. Ia memperbanyak sholat dan dzikir, berusaha menenangkan hatinya dari mimpi buruk yang terasa begitu nyata itu.