Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keberanian Ayu
Mentari belum sepenuhnya terbit, namun Ayu sudah disibukkan dengan aktivitas paginya. Usai memasak dan membereskan rumah, kini ia mulai membangunkan ketiga anaknya. Seperti biasa, pasti ada drama untuk membuat mata mereka terbuka. Apalagi Hanan, bocah itu selalu ngambek saat merasa terusik.
"Hari ini mama akan pergi, Nak." Mengusap kening Hanan yang masih tenggelam di balik selimut. Menciumnya berulang kali. Mulai hari ini harus membiasakan mereka untuk mandiri dan tidak bergantung padanya.
"Ke mana?" tanya Hanan dengan suara serak khas bangun tidur. Membuka matanya perlahan saat tangan Adiba ikut menggoyang-goyangkan punggungnya.
"Mama harus kerja, Sayang. Kamu dan Alifa di rumah."
Terasa berat bagi Ayu menjelaskan, akan tetapi keadaan memaksa untuk melakukan itu.
Hoam
Alifa muncul dari balik pintu dan duduk di tepi ranjang. Kepalanya bersandar di pangkuan Ayu. Wajahnya terlihat malas dan lesu. Rambutnya acak-acakan hingga menutupi keningnya.
"Kenapa kita gak pulang ke rumah papa saja sih, Ma?" Hanan terbangun dan ikut bergelayut manja di samping adik-adiknya. "Di sana lebih enak." Bernada protes.
Ayu menarik napas dalam-dalam. Mengusap kepala mereka bertiga bergantian.
"Kita gak bisa kembali ke rumah papa lagi," ungkap nya lirih.
"Kenapa, Ma?" tanya Hanan lantang, sebenarnya ia sudah tak tahan tinggal di rumah itu, namun tidak berani mengatakan pada Ayu.
Ayu terdiam, tidak mungkin menceritakan apa yang terjadi pada mereka yang masih sangat kecil.
"Ayo Ma, katakan!" Hanan semakin mendesak.
"Karena mama gak bisa bersama dengan papa lagi." Ayu mengucapkan dengan nada tinggi.
Hanan melepaskan tangan Ayu. Otaknya berkelana mengingat ucapan salah satu teman sekolah yang mengatakan hal seperti itu.
"Apa Mama dan papa cerai? Apa sebentar lagi aku dan adik-adik gak punya papa?"
Ayu merangkul punggung Hanan dan memeluknya dengan erat.
Menahan air mata yang menumpuk di pelupuk. Hanya tinggal sekedip saja pasti sudah banjir.
"Bukan begitu, Sayang. Tidak ada yang bisa memutuskan hubungan antara ayah dan anak. Sampai kapanpun papa Ikram tetap ayah kalian."
Hanan tertunduk lesu. Mencerna setiap kalimat yang meluncur dari bibir Ayu. Ia mulai berpikir keras untuk menerima keadaannya saat ini. Mungkin dengan begitu akan mengurangi rasa kesal yang dari kemarin mengendap.
Pelan-pelan Hanan mulai paham dan mau mengikuti perintah Ayu untuk membersihkan diri.
Ayu menitipkan Alifa dan Hanan pada Bu kontrakan. Ia datang ke alamat yang tertera di brosur untuk melamar kerja.
Sambil menggendong Adiba, ia masuk ke sebuah restoran ternama. Menghampiri waitress yang sedang menjalankan tugasnya.
"Permisi, Mbak. Saya mau melamar kerja," ucap Ayu ramah.
Wanita yang memakai seragam berwarna biru dan berparas cantik itu menatap penampilan Ayu dari atas hingga bawah kemudian menatap Adiba.
"Tapi di sini tidak menerima pelayan yang membawa anak, Bu," jelas wanita itu.
Ayu tersenyum. "Apa saya boleh bertemu dengan manajer di sini?" tanya Ayu penuh harap.
Mungkin dengan menjelaskan keadaannya ia masih bisa diterima.
"Baiklah, mari saya antar." Wanita itu mengantar Ayu ke salah satu ruangan manajer.
Setelah beberapa saat masuk, wanita itu kembali keluar menghampiri Ayu.
"Silahkan masuk, Bu."
Ayu berjalan pelan. Menatap pria tampan yang nampak sibuk dengan laptop di depannya.
"Permisi, Pak," sapa Ayu membungkuk ramah.
Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara."Siapa kamu, tanya nya terkejut.
Bukankah tadi waitress mengatakan ada orang melamar kerja, kenapa malah seorang wanita yang membawa anaknya? Begitulah pertanyaan yang muncul di benaknya.
"Nama saya Ayu, Pak. Saya akan melamar kerja disini." Ayu meletakkan surat lamaran kerja nya di atas meja.
Tanpa memeriksa, pria itu kembali menyodorkan berkas milik Ayu.
"Kamu ditolak, dan pasti sudah tahu apa alasannya," ucapnya seketika. Melirik Adiba yang dari tadi sibuk makan kerupuk di tangannya.
Ayu memejamkan matanya sejenak kemudian mengulas senyum.
"Apa Bapak tidak bisa mempertimbangkan, setidaknya memberi kesempatan pada saya sekali saja. Meskipun membawa anak, tapi saya akan profesional." Ayu berusaha untuk meyakinkan pria itu.
"Tidak perlu, karena di sini tidak membutuhkan pekerja yang membawa anak. Tapi kalau kamu mau memenuhi syarat itu, saya akan pertimbangkan lagi.''
Ayu mengambil suratnya, karena ia tidak mungkin menyetujui persyaratan itu. Adiba masih terlalu kecil, dan tidak ingin merepotkan orang lain.
"Terima kasih, saya permisi dulu."
Ayu bergegas pergi. Tak mau memaksakan kehendak orang lain. Menganggap tempat itu belum bisa menjadi ladang rejekinya.
Tanpa sengaja Ayu yang tiba di depan restoran itu melihat Ikram yang baru saja turun dari mobil. Ternyata pria itu tak sendirian melainkan bersama dengan selingkuhannya, yaitu Rani.
Mau tak mau Ayu berpapasan dengan mereka yang berjalan ke arahnya. Saling berhadapan, bagi Ayu mereka bukanlah apa-apa hingga ia tak perlu menghindar.
"Papa…" Suara merdu Adiba menyapa Ikram itu menyayat hati terdalam.
Meskipun sebentar lagi mereka bukan suami istri, setidaknya Ikram masih memiliki kasih sayang untuk anaknya, namun Ayu salah, justru Ikram terlihat bahagia karena kepergian mereka dan tidak mempedulikan Adiba yang merengek.
Melihat anaknya yang tak mendapat respon dari Ikram, Ayu menarik tangan mungil Adiba.
"Sepertinya ada yang kebingungan mencari kerja?" sindir Rani melingkarkan tangannya di lengan Ikram. Memamerkan kemesraannya di depan calon mantan istri dari pacarnya tersebut.
Ayu membisu, malas meladeni orang tidak penting. Menggeser tubuhnya hendak melangkah, namun tiba-tiba saja Rani ikut bergeser dan berdiri di depannya.
"Aku belum selesai bicara," ucap Rani melipat kedua tangannya.
Ayu tersenyum palsu. Menahan dadanya yang sudah hampir meledak. Ia tidak ingin terlihat kampungan saat di depan umum.
"Bicara saja, aku siap mendengarnya," tantang Ayu tanpa rasa takut sedikitpun.
"Sebentar lagi aku dan mas Ikram akan menikah, jadi terima nasibmu untuk menjadi janda miskin."
Ayu bertepuk tangan, dan itu sukses mengundang rasa penasaran bagi beberapa orang yang melintas. Mereka antusias berhenti saat Ayu melambaikan tangannya.
Rani terkejut dengan sikap Ayu yang pemberani, namun ia terlanjur terperangkap dalam permainannya sendiri. Seperti seekor burung masuk dalam jebakan.
"Apa kalian tahu, siapa wanita ini?" Ayu menunjuk Rani, dengan lantangnya bertanya pada semua orang yang ada di sana.
Mereka menggeleng, karena memang tidak mengenal wanita itu.
"Mulai sekarang kalian harus mengenal dia.'' Masih menunjuk Rani dari arah samping." Terutama bagi kaum wanita," imbuhnya.
"Memangnya kenapa, Mbak?" tanya salah seorang yang semakin penasaran.
"Dia ini pelakor, perebut laki orang," papar Ayu tanpa basa-basi. "Jadi aku harap kalian tidak menjadi korban seperti saya."
Hampir semua orang bersorak dan mengolok Rani. Mereka antusias mengucapkan kata-kata yang kasar dan mengumpat serta merendahkan.
"Diam…" teriak Ikram tak terima, akan tetapi tak bisa berbuat apa-apa melihat Rani yang sudah sangat kacau.
Ini tidak hanya berlaku pada Rani, Mas. Tapi untuk kamu juga.
nambah kesni nambah ngawur🥱