Bagi beberapa orang, Jakarta adalah tempat menaruh harapan. Tempat mewujudkan beragam asa yang dirajut sedemikian rupa dari kampung halaman.
Namun, bagi Ageeta Mehrani, Jakarta lebih dari itu. Ia adalah kolase dari banyak kejadian. Tempatnya menangis dan tertawa. Tempatnya jatuh, untuk kemudian bangkit lagi dengan kaki-kaki yang tumbuh lebih hebat. Juga, tempatnya menemukan cinta dan mimpi-mimpi baru.
“Kata siapa Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri? Kalau katamu begitu, mungkin kamu belum bertemu dengan seseorang yang akan membuatmu menyadari bahwa Jakarta bukan sekadar kota bising penuh debu.”—Ageeta Mehrani, 2024
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misunderstanding
Isi kepala Reno kembali penuh setelah keluar dari ruangan Darius. Hal-hal yang sebelumnya sudah dilupakan, kini mulai muncul lagi satu persatu. Berkeliaran di setiap sisi otaknya, memorak-porandakan pengaturan yang susah payah dibuat untuk bertahan.
Di dalam lift yang menyisakan dirinya sendiri, Reno kemudian menggunakan waktunya untuk mengurai kerumitan di kepalanya satu persatu. Memilah mana-mana saja yang masih bisa dia biarkan berhamburan di sana dan mana yang harus dibuang secepatnya agar hari-harinya bisa dijalani kembali dengan riang gembira.
Sekian lama berkutat, hanya sebagian kecil yang berhasil ia urai. Sisanya masih berantakan, terlalu kusut untuk dicari ujungnya dan mulai dipisahkan. Ujung-ujungnya menyerah adalah pilihan yang diambil. Setelah mengembuskan napas panjang dengan kedua kelopak mata terpejam, Reno mundur sampai kepala dan punggungnya membentur dinding lift yang dingin.
Masih dengan mata yang terpejam, Reno mencoba memutar beberapa scene baik dari rumah sederhana yang dia bangun dengan tangannya sendiri. Mencoba menghadirkan gelak tawa putrinya yang selalu ampuh menjadi obat dari segala rasa sakit yang dia terima, membawa senyumnya yang merekah cantik sebagai penawar untuk setiap racun yang pelan-pelan masuk ke kepalanya, memutar suara manisnya kala merengek meminta sesuatu atau ketika hatinya sedang riang gembira menceritakan bagaimana harinya berlangsung bersama Lexus kesayangan mereka.
Semuanya, semuanya tentang putri kecil kesayangannya coba Reno hadirkan sebanyak mungkin agar setidaknya sakit di kepalanya tidak semakin menjalar ke mana-mana.
“Anak saya terlalu berharga untuk menghabiskan hidupnya bersama laki-laki seperti kamu.”
“Ah....” Reno mendesah keras-keras. Di tengah gelak tawa putrinya yang coba dia hadirkan, suara seorang pria paruh baya malah menyusup masuk ke telinga. Ia tahu suara itu datang dari kenangan bertahun-tahun lalu, tetapi tetap saja rasanya seperti nyata. Seperti pria itu sedang ada di sampingnya dan membisikkan kembali kalimat penolakan itu persis di telinganya.
Tidak, Reno tidak sakit hati atas ucapan pria itu. Sebab dengan rasa malu dan kesadaran diri penuh, ia tahu apa yang dikatakan kepadanya adalah sesuatu yang benar. Tidak ada seorang ayah pun di dunia ini yang rela menyerahkan putri kesayangan mereka kepada laki-laki yang tidak baik. Laki-laki biadab yang separuh hidupnya sudah dihabiskan untuk melakukan hal-hal tak terpuji, mengarungi surga dunia yang berakhir pada penderitaan tak bertepi.
Reno bukan laki-laki yang baik untuk perempuan yang ia cintai, maka sekarang, satu-satunya hal yang bisa ia usahakan adalah menjadi ayah yang baik untuk putrinya. Agar ia bisa membersamai putrinya hingga dewasa dan memastikan kesayangannya itu tidak jatuh pula ke tangan laki-laki tidak baik seperti dirinya.
Mengembuskan napas panjang, Reno membuka kembali matanya sewaktu rungunya menangkap suara denting pertanda terbukanya pintu lift. Ia menegakkan kembali tubuhnya lalu bergeser sedikit ke sisi kiri, bermaksud membiarkan siapa pun yang hendak masuk memiliki ruang untuk berdiri di sisi kanan dan lebih mudah mengakses tombol.
Namun, ketika pintu sepenuhnya terbuka dan yang dia temukan adalah seseorang yang susah payah ingin dia ajak bicara, Reno tidak bisa menahan dirinya dari gerak refleks yang muncul tiba-tiba. Tubuhnya meringsek maju, tangannya dengan cepat menarik lengan gadis berseragam pink fanta yang hendak kabur itu, membawanya masuk ke dalam lift dan langsung memencet tombol agar benda besi itu kembali tertutup.
“Pak, lepasin!” tak dihiraukannya protes yang keluar dari bibir Ageeta. Tangannya masih mencengkeram pergelangan tangan gadis itu kuat-kuat, tak membiarkannya memiliki celah untuk lepas.
“Pak!” lengannya dipukul berkali-kali, namun Reno masih tidak goyah. Diabaikannya semua rasa sakit tak seberapa itu, ia hanya fokus menatap lampu indikator di bagian depan atas lift yang menunjukkan sudah di lantai mana mereka berada.
Kemudian, saat bunyi denting kembali terdengar dan lampu indikator menunjukkan lantai tiga, Reno segera membawa tubuh Ageeta keluar dari sana. Tak dihiraukannya beberapa orang di depan lift yang memandang penuh tanya. Bahkan ketika sehabis ini akan muncul rumor aneh tentang dirinya dan Ageeta pun, ia sudah tidak peduli.
Di dalam genggamannya, Ageeta masih terus berontak. Pukulan demi pukulan masih Reno dapatkan di lengannya. Telinganya juga masih dibombardir suara protes yang tidak ada habis-habisnya.
Sampai kemudian, Reno membawa gadis itu ke sebuah ruangan di ujung koridor, ruangan yang tidak pernah dijamah oleh siapa pun selain mereka yang berkepentingan; ruang penyimpanan alat-alat kebersihan.
Pintu ditutup kencang setelah tubuh keduanya berhasil masuk. Reno berdiri di depannya, menghalangi Ageeta dari upaya meringsek keluar.
“Awas!” seru Ageeta galak. Tubuhnya yang kecil tak membuatnya gentar untuk menarik lengan Reno agar menyingkir dari posisinya.
Namun, tak peduli seberapa hebat ia berusaha, pada akhirnya tak sejengkal pun tubuh Reno berhasil digeser.
Ageeta mendesah kasar, berhenti berusaha dan memilih mundur tiga langkah. Wajahnya yang kusut tampak jelas sewaktu ia akhirnya mendongak. Netranya terlihat lelah, memerah dan sedikit bengkak.
“Pak, tolong, kerjaan saya banyak.” Ageeta mengiba.
Reno menggeleng tegas. Tentu saja tidak akan dibiarkan Ageeta kabur begitu saja sebelum ia meluruskan semuanya. Sudah cukup kepalanya penuh dengan berbagai kenangan buruk gara-gara Darius yang membawa-bawa kembali perihal masa lalu, Reno tidak ingin kepalanya betulan meledak kalau masalah dengan Ageeta juga tidak kunjung bisa diselesaikan hari ini.
“Bapak mau apa dari saya?”
“Penjelasan.” Kedua tangan Reno menyilang di depan dada, tatapannya intens menusuk tepat pada iris Ageeta yang gelap. “Jelasin sama saya kenapa kamu menghindar akhir-akhir ini.” Imbuhnya.
“Saya nggak menghindar.”
“Kamu iya.”
“Saya engg—“
“Kamu iya, Ageeta.” Kalimat Ageeta dipotong cepat. Bahkan sebelum bibir gadis itu kembali rapat, Reno langsung menambahkan. “Saya nggak tahu kesalahan apa yang udah saya perbuat sampai kamu menghindar begini, tapi akan saya hargai kalau kamu mau kasih tahu saya, supaya saya juga bisa introspeksi diri.”
Bisu. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Ageeta. Gadis itu malah balik menatapnya, menyodorkan sorot yang terlalu sulit untuk bisa ia baca.
“Kasih tahu saya, Git.”
Reno mengembuskan napas perlahan, mencoba menjernihkan pikirannya kembali agar apa yang keluar dari mulutnya tidak semakin memperkeruh keadaan. Hingga tiga detik kemudian, ia kembali berucap, “Tolong kasih tahu saya, Git. Kasih tahu di mana letak kesalahan saya supaya saya nggak terus-menerus kepikiran.”
Karena tak kunjung mendapatkan respons, Reno memberanikan diri menggerakkan tangganya, berusaha menyentuh milik Ageeta yang masih sibuk sendiri.
Namun lagi-lagi, Reno dibuat mencelos tatkala gadis itu dengan cepat menepis tangannya. Ketika tatapan mereka kembali bertemu, Reno menemukan netra gadis itu dipenuhi rasa sakit yang terlalu sulit untuk bisa dijelaskan.
“Git,”
“Jangan sembarangan sentuh-sentuh.”
Rasanya, seperti kepalanya baru saja dipukul dengan palu raksasa. Sekelilingnya tampak berputar, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan Reno harus bersusah payah menahan kedua kakinya tetap tegak berdiri di tempat.
“Bapak harus ingat anak istri di rumah. Jangan di depan mereka tampil sebagai sosok family man, tapi di belakangnya masih suka bersikap berlebihan kepada perempuan lain.”
Butuh waktu cukup lama bagi otak Reno untuk memproses apa yang baru saja Ageeta sampaikan, dan ketika otaknya selesai bekerja pun, bibirnya malah berakhir kelu, tidak bisa digerakkan. Kepalanya berisik sekali, memerintahkan dirinya untuk segera menyanggah dan meluruskan kesalahpahaman yang ada. Namun, yang terjadi justru Reno hanya bisa terdiam tatkala Ageeta sekali lagi menarik lengannya, yang kali ini berhasil membuat tubuhnya tergeser sehingga sang gadis bisa mengakses pintu.
“Saya nggak menghindar,” ucap Ageeta, ketika tangan gadis itu sudah menyentuh handle pintu. Tatapannya nanar, suaranya bergetar. “Saya cuma mau membatasi diri supaya nggak menyakiti hati orang lain. Karena kalau saya ada di posisi istri Pak Reno, saya pasti sedih sekali sewaktu tahu suami yang saya sayangi segitu care sama perempuan lain, walaupun mungkin nggak ada niat selain untuk berbuat baik kepada sesama manusia.”
Rentetan kalimat sambungan itu adalah yang terakhir. Sesudahnya, Reno hanya bisa menyaksikan Ageeta membuka pintu dan dalam sekejap melangkah pergi. Menghilang dari pandangannya dengan membawa kesalahpahaman yang besar sekali.
“Nggak gitu, Git....”
Bersambung....
ninggalin 🌹 dulu buat ka author✌️✌️✌️