Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Teman??
Bus berjalan dengan kecepatan normal, kadang berhenti menurunkan penumpang, membuat perjalanan semakin lama dan panjang. Maya berangkat sekitar pukul sepuluh pagi, sekarang hampir jam 12 siang dan ia belum sampai.
Namun perjalanan panjang ini, tidak membuatnya jenuh atau lelah. Banyak pemandangan indah, yang mereka lewati. Pegunungan yang Hijau dan sejuk, hamparan sawah yang mulai menguning, dan juga aliran sungai kecil, sepanjang jalan. Hingga dari kejauhan, tampak membentang birunya laut.
Sejuk mata memandang, Maya menghirup dalam-dalam udara, yang selama dua hari tidak ia nikmati.
Suasana pantai masih sama, sepi, hanya nelayan yang tampak menarik kapal. Ada beberapa pengunjung, yang masih bisa dihitung jumlahnya, berlarian diatas pasir putih.
"Baru tiba, May?"
"Iya, Bu."
Tanpa beristirahat, Maya membersihkan rumah dan kedai dari debu dan pasir halus, yang masuk karena tiupan angin. Ia mencatat bahan yang habis, untuk dibelinya sore ini. Seperti kata Ansel, dia harus menyibukkan diri. Bekerja, membaca dan menulis, adalah hal kecil yang bisa membuatnya lupa akan masalah yang mendera.
"Mbak, Mbak," panggil seseorang diluar.
"Oh, Bapak. Kenapa?"
"Ini ada ikan bawal, masih baru. Mau beli?" Si bapak memperlihatkan gabus yang berisi ikan bawal yang ekornya masih bergoyang.
"Mau, mau. Berapa?"
"50ribu."
Kebetulan, Maya ingin menambah menu di kedainya. Sejak dirumah sakit tangan dan pikirannya tidak berhenti, untuk mengaplikasikan ide-ide yang mencuat tiba-tiba.
Ikan bakar dengan sambal dabu-dabu plus lalapan. Maya akan memperkenalkan menu barunya, saat akhir pekan. Dimana banyaknya pengunjung yang datang.
Maya meletakkan ikan dalam baskom, lalu melanjutkan pekerjaannya. Bersih-bersih, sembari menata ulang, rumah dan kedainya. Ia perlu suasana baru, seperti hati dan pikirannya yang sudah terbuka, untuk menerima nasib.
Karena belum sempat memasak, Maya membeli makanan di kedai sebelah. Nasi ayam geprek, dengan sambal kesukaannya. Makan dengan semangat, tak seperti hari-hari yang lalu. Dia tidak sabar ingin menghabiskan dan segera pergi berbelanja. Pikirannya saat ini, di penuhi kesibukan dan hal-hal baru.
Pukul setengah tiga sore. Maya sudah siap dengan keranjang ditangannya. Jarak pasar tidak jauh, ia bisa berjalan kaki sepanjang pantai. Namun, ada saja, Tuhan membantunya.
"Mau ke pasar?"
"Iya, Bu."
"Ikut ibu saja."
Naik motor dengan tiupan angin, ditambah pemandangan yang terlihat langsung. Maya paling menyukai, kendaraan ini. Seperti saat di kota, ojek online yang selalu mengantarkannya.
"Mau belanja apa?"
"Sayuran, Bu."
"Ibu mau kesana, nanti ketemunya diparkiran."
Si ibu dan Maya berpisah, untuk membeli kebutuhan masing-masing. Aneka jenis ikan, kerang, kepiting dan udang serta cumi, semua masih baru. Maya membeli sekilo kerang dara, karena sudah dua hari, malaikat kecilnya merengek ingin makan.
Ia berpindah, membeli sayuran. Harga sayuran lebih mahal dari ikan. Karena, sayuran didatangkan dari luar kota. Penduduk disini, lebih banyak menjadi nelayan ketimbang petani.
Keranjang Maya, sudah penuh. Ia juga harus membawa kerang dan udang dalam kantong plastik. Udang yang diberikan gratis oleh si penjual. Katanya, ibu hamil membawa banyak rejeki.
Maya tidak menutupi keadaannya. Toh, perut tidak bisa ia sembunyikan. Lalu, kemana suaminya? Maya menjawab, suaminya menikah lagi dengan gadis muda. Ia dimadu, karena tidak terima ia meminta cerai lalu, pindah ke tempat ini.
Apakah mereka percaya? Maya tidak peduli, ia tidak ingin membuang energi, untuk membuat mereka percaya padanya. Sama seperti Zamar, ia lelah untuk memohon, walau hanya sedikit kepercayaan.
Selagi mereka menerimanya dengan tangan terbuka, bagi Maya, semua sudah tidak penting lagi. Semua alasan sama saja, hanya untuk menutupi keadaan dan dijadikan pembenaran.
Maya mampir membeli telur sekilo, sebelum tiba diparkiran. Dua tangan yang penuh, kadang Maya berhenti sejenak, karena keram.
"Kenapa tidak mengabariku?"
Dua tangan kekar, merebut keranjang dan kantong plastik ditangannya. Maya belum sempat menjawab, pria itu sudah beranjak.
"Kenapa kau ada disini?"
Ansel tidak menjawab. Ia. memasukkan barang belanjaan Maya dalam mobil. Membukakan pintu dan mempersilahkan Maya duduk dikursi depan.
"Kau hamil, tidak boleh membawa banyak barang."
Ansel sudah duduk dikursi kemudi. Memasang seatbelt untuk Maya, sebelum berkendara.
"Kau sibuk, El. Aku tidak ingin mengganggu. Lagi pula, sebaiknya kita tidak terlalu dekat."
Derit suara rem dan aspal yang beradu dijalanan. Ansel berhenti tanpa menepikan kendaraannya.
"Kenapa?" Nada suara yang terdengar tidak Terima, dengan ucapan Maya.
"Aku hamil, semua orang mengetahui statusku. Apa kata mereka, jika mengetahui keadaanku dan kamu yang bersamaku. Kita hanya berteman, tapi tidak ada pertemanan antara laki-laki dan wanita."
"Kau tahu, May. Kadang perkataan orang lain, yang membuat sebuah hubungan hancur, hubungan keluarga. Untuk tidak mendengarkan, itu sulit. Tapi, kita bisa mengabaikannya dengan berpura-pura, apa yang mereka katakan tidak ada hubungannya dengan kita." Ansel kembali berkendara. Sembari melanjutkan ucapannya. "Memang, tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Tapi, hubungan seperti itu, bisa membuat kita saling mengenal dan mengetahui kekurangan masing-masing. Menurutku, zaman sudah berubah. Berteman dengan laki-laki, mungkin bisa menjagamu, seperti dia menjaga adik perempuannya."
"Aku hanya tidak ingin melibatkanmu dalam hidupku yang runyam."
"Aku sudah terlibat dari awal, May. Jadi, jangan pernah mengusirku, karena aku tidak akan pergi."
Ansel membuka pintu mobil untuk Maya. Lalu, menurunkan barang belanjaan dari bagasi.
"Kau belanja banyak, untuk apa?"
"Aku mau membuat menu baru. Jadi, tinggallah untuk mencicipi."
"Oke, chef."
Barang belanjaan sudah berada didalam rumah. Ansel membantu memasukkan dalam kulkas, sementara Maya membersihkan ikan, udang dan kerang.
"Aku bantu." Ansel mengambil ikan bawal untuk dibersihkan. "Kata orang tua dulu, ibu hamil dilarang membersihkan ikan. Apalagi, kalau masih hidup," lanjutnya.
"Benarkah?" Maya sudah meletakkan pisaunya.
"Aku tidak tahu, benar atau tidak. Aku mendengar itu, nenekku yang mengatakan pada tante kecilku saat hamil."
"Jadi, aku harus bagaimana?"
"Duduklah. Kamu siapkan bumbu, aku akan mengerjakan ini untukmu."
"Kau bisa melakukannya?"
"Kau meremehkankan ku, May. Aku ahli memegang pisau," Ansel terkekeh, saat kedua mata Maya menyipit menatapnya.
Akhirnya, mereka membagi tugas. Jika dilihat, mereka seperti pasangan, yang saling membantu didapur, untuk menyiapkan makan malam.
Ansel berdiri diatas wastafel, dengan tangan bau amis dan dipenuhi darah ikan. Maya duduk diatas kursi makan, dengan pisau tajam untuk mengupas bawang.
Mungkin, hubungan pertemanan seperti ini, yang banyak orang katakan. Tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Hubungan seperti itu, akan menumbuhkan perasaan, karena mengetahui sifat dan kekurangan masing-masing.
Dan hubungan seperti ini, sebaiknya tidak terjadi. Kadang, teman bisa menjadi pacar, namun berbeda, saat pacar menjadi teman. Semua tidak akan sama, seperti dulu.
🍋 Bersambung
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️