Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Ketika dalam perjalanan menuju butik, cemburu terus menyelimuti Angga. Ditambah lagi saat mengingat ucapan Dennis beberapa hari yang lalu.
"What the hell!" umpatnya lalu memencet klakson berkali-kali. Ulahnya itu seketika membuat pengendara lain merasa kesal sekaligus geram.
Meninggalkan Angga yang sedang kesal. Sebaliknya yang dirasakan Damar, Quin juga Adrian. Kini ketiganya sedang mengobrol santai.
"Quin, ada baiknya jika kamu menjalin kerjasama dengan perusahaan di tempatku bekerja, khususnya di bidang fashion," ujar Damar.
"Bagiku nggak masalah. Kalau boleh tahu, apa nama perusahaan tempatmu bekerja?" tanya Quin.
"Alatas Corp."
"What?! Yang benar saja, Damar?!" Quin terkejut karena tahu benar perusahaan itu.
"Damar tersenyum sekaligus merasa gemas menatap ekspresi wajah terkejut Quin.
"Wait, wait ... Alatas Corp? Pasti kalian berdua sangat mengenal CEO-nya yang terkenal player, suka hura-hura juga gila balapan itu, kan?!" cecar Quin karena penasaran. "By the way, sudah tiga tahun ini dia nggak ada kabar. Apa kalian tahu di mana boss kalian itu?"
Damar dan Adrian saling berpandangan. Dengan susah payah Damar menelan salivanya.
"Quin, apa kamu mengenalnya?" tanya Adrian.
"Nggak, aku hanya mendengar rumor itu dari beberapa orang di agency-nya Angga. Lagian nih ya, aku juga nggak tertarik dengan pria itu, menjijikkan. Meskipun belum tentu dia tertarik kepadaku." Tawa Quin langsung pecah seusai berucap.
'Habislah aku jika Quin tahu, orang yang sedang dibicarakan ada di hadapannya sekarang,' batin Damar.
"Quin, besok-besok jika kamu ingin ke kantorku hubungi aku dulu, ya," pesan Damar seraya membatin, 'Syukurlah, dia nggak jadi ke kantor tadi.'
"Oke."
Tak lama berselang, Al, Gisha, juga Jihan kembali ke butik. Sejenak, ketiga gadis itu bergeming sembari menatap penuh selidik.
"Quin, sebaiknya kami pamit. Sepertinya kami sudah terlalu lama di sini," kata Damar.
"Baiklah, ayo aku sekalian mengantar kalian ke depan," tawar Quin lalu tersenyum. Dengan senang hati Damar mengiyakan tawaran dari Quin.
"Quin!" Al menatap curiga kepada sahabatnya itu. Akan tetapi sang designer hanya tersenyum.
"Thanks ya, Quin," ucap Damar sesaat setelah mereka berada di area parkir.
"Sama-sama." Quin kemudian membukakan pintu mobil. Membantu Damar sekaligus memastikan pria itu sudah duduk dengan benar. Sedangkan kruknya, ditaruh dibelakang kursi penumpang.
"Damar, Adrian, hati-hati di jalan, ya. Oh ya, kemungkinan aku akan pulang sedikit telat. Soalnya aku harus menghadiri anniversary pernikahan mamanya Angga malam ini," tutur Quin.
"It's oke, Quin. Tapi, jangan sampai kemalaman," pesan Damar.
"Siap, Boss," ucap Quin lalu melambaikan tangan.
Dari balik kaca galery butik, Kinara tak menyia-nyiakan kesempatan dengan merekam aktivitas Quin juga Damar. Ia kembali mengirim video itu kepada Angga.
Mobil Damar yang baru saja meninggalkan area butik, sempat berpapasan dengan kendaraan milik Angga yang kebetulan sudah memasuki area itu.
Angga sempat berhenti sejenak lalu mengambil ponselnya. Ketika membuka video kiriman dari Kinara. Darahnya seketika mendidih.
Kesal ...
Marah ...
Cemburu ...
Semuanya bercampur menjadi satu.
Sebelum melajukan kendaraannya, Angga mengatur nafas demi meredam emosinya. Setelah itu, ia kembali melajukan mobilnya yang sudah tak jauh dari butik.
Baru saja Quin akan melangkah masuk ke dalam butik, suara klakson mobil seketika menghentikan langkahnya.
"Angga?!" gumam Quin sesaat setelah memutar badan.
Ia pun menghampiri sembari tersenyum saat sang empunya kendaraan turun dari mobil.
Amarah yang sempat memuncak seketika mereda saat melihat senyuman manis Quin. Namun, tetap saja ia masih diselimuti rasa cemburu.
"Sayang, aku ingin mengajakmu makan siang."
"Tapi, aku sudah makan siang tadi," aku Quin.
"Temani aku, please," mohon Angga penuh harap.
"Baiklah, sesudah itu, kita sekalian mencari kado untuk mama," cetus Quin. "Sebentar, aku ambil tasku dulu."
Beberapa menit kemudian, Quin kembali menghampiri Angga lalu mengajaknya meninggalkan tempat itu.
Karena tahu Quin sangat menyukai makanan Jepang, ia memutuskan ke restoran favorit sang tunangan.
"Wah, aku auto nggak nolak jika makan di sini," kata Quin sesaat setelah mereka tiba di tempat itu.
Senyum seketika terbit di bibir Angga. Usahanya tak sia-sia. Ia pun mengajak Quin masuk ke dalam restoran.
"Angga, setelah ini kita ke toko perhiasan, ya," pinta Quin.
"Oke, as you wish, Sayang," sahut Angga. Keduanya pun mulai memesan makanan sesuai selera masing-masing.
Setelah menghabiskan waktu selama satu jam di restoran itu. Angga dan Quin lanjut ke salah satu toko perhiasan untuk membeli kado pernikahan sang mama.
.
.
.
Kinara yang sejak tadi masih berada di butik, merasa sangat kesal. Pikirnya, Angga dan Quin akan mengakhiri hubungan mereka. Nyatanya tak sesuai ekspektasinya. Dengan perasaan dongkol, ia membawa gaun pilihannya ke meja kasir.
"Loh, Mbak Kinar, sejak kapan Mbak di sini?" tanya Jihan.
"Sejak tadi!" jawab Kinar ketus. "Sudah, cepetan bungkus!"
Dengan cepat, Jihan merapikan gaun itu. Memasukkan ke dalam tas belanjaan lalu berkata, "Ini, terima kasih sudah berbelanja di QA Boutique."
Bukannya membalas, Kinar langsung mengambil tas belanjaan seraya meninggalkan butik itu.
.
.
.
Kantor Damar ....
"Rian, tolong siapkan satu ruangan kerja sederhana untukku. Kita nggak tahu sewaktu-waktu Quin akan kemari," tutur Damar.
"Baik, Tuan."
"Sebaiknya aku nggak hadir di HUT perusahaan papa, apalagi Quin sudah tahu wajah mama. Sehari sebelum acara itu berlangsung, kita berangkat ke Jepang," usul Damar.
"Lalu, Nona Quin?"
"Kita akan mengajaknya." Damar tersenyum.
"What!!" Adrian tercengang mendengar usulan itu.
"Jangan terkejut begitu, Rian. Dia sudah terikat kontrak denganku selama 101 hari," sambung Damar.
"Baik, Tuan. Saya akan mengatur semuanya nanti," sahut Adrian seraya menunduk takjim.
.
.
.
Di salah satu toko perhiasan ternama kota J. Quin sedang memilih salah satu kalung untuk Bu Meilan.
"Angga, bagaimana menurutmu?" Quin memperlihatkan sebuah kalung emas bermata berlian tunggal.
"Jika kamu yang memilih, mama pasti suka," sahut Angga.
"Ya sudah, aku ambil yang ini saja," kata Quin. "Mbak, aku ambil yang ini saja. Tolong dibungkus serapi mungkin, ya."
"Baik," sahut karyawan toko.
Setelah menunggu beberapa menit, karyawan kembali memberikan benda itu kepada Quin. Saat akan membayar, Angga langsung memberikan kartu kredit miliknya.
"Angga," protes Quin.
"Nggak apa-apa, Sayang. Ini kado kita berdua untuk mama."
Setelah selesai melakukan transaksi pembayaran, keduanya pun meninggalkan toko itu.
.
.
.
Menjelang malam ....
Setelah tiba di apartemen, Quin langsung ke kamar kemudian merebahkan tubuhnya ke atas ranjang.
"Oh God, lelahnya," ucap Quin lirih. Sedetik kemudian, ia beranjak lalu ke kamar mandi membersihkan diri.
Satu jam kemudian ....
Quin sudah rapi mengenakan gaun hitam model V neck belahan paha tinggi. Ia sempurnakan dengan riasan make up natural minimalis.
Ia menatap dirinya kini di depan cermin. Menarik nafas dalam-dalam lalu bergumam, "Perfect."
Tak lama berselang, bel pintu berbunyi.
"Itu pasti Al," tebaknya. Cepat-cepat ia menghampiri pintu lalu membuka benda itu.
"Quin, wow, perfect!" puji Al.
"Ayo kita berangkat sekarang. Aku berharap kamu bakal mendapatkan jodoh di sana," ledek Quin lalu tertawa.
"Tapi, aku tertarik dengan pria yang bersamamu tadi di butik," kelakar Al sesaat setelah kedua berada di dalam lift.
"Maksudmu majikanku atau asistennya? Adrian maksudku?!" cecar Quin. "Eh, bagusnya sama majikanku saja." Quin kembali tertawa.
"No, aku hanya bercanda, Quin," kata Al ikut tertawa.
Beberapa menit kemudian, setelah elevator itu berhenti, keduanya cepat-cepat keluar dari benda itu menuju ke arah mobil.
"Quin, biar aku saja yang menyetir," tawar Al dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Quin.
Ketika sudah berada di pertengahan jalan, Al bertanya, "Quin, so, pria gondrong, brewok juga berkacamata itu, beneran majikanmu?"
"Ya, selama 101 hari saja sesuai perjanjian kami, namanya Damar," jawab Quin apa adanya.
"Beneran? So, namanya Damar, ya? Tapi Quin, jika di perhatikan baik-baik sebenarnya dia itu ganteng loh," tutur Al.
"Buat kamu saja, hahaha. Aku nggak tertarik," celetuk Quin. "Maksudku bukan karena fisik serta penampilannya yang seperti itu. Tapi, aku beneran nggak tertarik padanya."
"Hati-hati loh dengan ucapanmu, Quin. Kita nggak akan pernah tahu cinta seseorang itu akan berlabuh kepada siapa," peringat Al. Namun, Quin tak menanggapi.
Tak lama berselang, keduanya pun tiba di halaman parkir kediaman keluarga Wibowo.
Quin langsung mengajak Al menuju taman belakang rumah tempat pesta itu berlangsung.
Dari kejauhan Bu Meilan langsung melambaikan tangan sekaligus tersenyum bahagia ke arah Quin.
"Wah, camer," bisik Al.
"Ralat camer, tapi bakal eks camer," sahut Quin lalu keduanya tertawa.
"Mah, Pah, happy anniversary," ucap Quin sesaat setelah berdiri di hadapan Bu Meilan juga Pak Wibowo. Ia lalu memeluk pasangan itu bergantian.
"Terima kasih, Sayang," balas Bu Meilan juga Pak Wibowo bergantian.
"Ini untuk Mama." Quin memberikan kadonya kepada Bu Meilan.
"Sayang, Mama nggak berharap kamu memberikan kado. Kehadiranmu sudah cukup membuat Mama dan Papa bahagia," tutur Bu Meilan sembari mengelus wajah Quin dengan lembut.
"Tante, Om, selamat ya," ucap Al lalu menyalami keduanya.
"Terima kasih, ya Nak Al," ucap pasangan paruh baya itu bergantian.
Setelah itu, Quin dan Al berpamitan sekaligus bergabung dengan Karin juga Altaf.
"Kak Karin, Kak Altaf," sapa Quin.
"Quin, Al," sahut adik kakak itu dengan seulas senyum.
"Kak Altaf, aku punya sesuatu untuk kakak," bisik Quin sambil menaik turunkan alisnya.
"Apa?"
"Jodoh buat kakak," bisik Quin.
Altaf langsung menyentil jidat Quin lalu menggelengkan kepalanya.
"Oh ya, Kak, Angga mana, ya?" tanya Quin.
"Aku di sini, Sayang." sahut Angga yang tiba-tiba muncul di belakang Quin.
Tak jauh dari tempat mereka berdiri, sejak tadi Nyonya Zahirah terus memperhatikan Quin dan Angga.
Ia pun bertanya kepada Bu Meilan, sebenarnya ada hubungan apa gadis itu dengan Angga. "Mei, ada hubungan apa gadis itu dengan Angga?"
Bu Meilan mengarahkan pandangannya ke arah yang di maksud. "Itu calon menantu saya, tunangannya Angga," jelas Bu Meilan.
Sejenak Nyonya zahirah bergeming sembari membatin, 'Lalu, mengapa gadis itu mau menjadi asisten pribadinya Damar?'
...----------------...