(35 Bab)
Allea, yang biasa dipanggil Lea adalah seorang siswi kelas 3 SMA. Awalnya dia bukan anak nakal, dia hanya anak manja yang selalu dapat kasih sayang kedua orangtuanya. Dia berasal dari keluarga kaya raya. Namun tak ada yang abadi, keluarga cemaranya hancur. Ayah dan ibunya bercerai, dan dia sendirian. Sepertinya hanya dia yang ditinggalkan, ayah—ibunya punya keluarga baru. Dan dia? Tetap sendiri..
Hingga suatu ketika, secara kebetulan dia bertemu dengan seorang pria yang hampir seumuran dengan ayahnya. Untuk seorang siswi sepertinya, pria itu pantasnya dia panggil dengan sebutan om, Om Davendra.
Dia serasa hidup, dia serasa kembali bernyawa begitu mengenal pria itu. Tanpa dia sadari dia telah jauh, dia terlalu jauh mendambakan kasih sayang yang seharusnya tidak dia terima dari pria itu.
Lantas bagaimana dia akan kembali, bagaimana mungkin ia bisa melepaskan kasih sayang yang telah lama hilang itu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyaliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
Awan abu menaungi pekuburan yang sepi. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai mengering. Di antara batu-batu nisan yang berjajar rapi, seorang pria berdiri dengan diam. Jas hitamnya sedikit berkibar tertiup angin. Tangannya menggenggam erat seikat bunga lili putih—lambang kesucian yang terasa ironis di tangannya.
Davendra melangkah pelan ke arah salah satu makam dengan nisan keramik mika berwarna putih bersih. Nama yang terukir di sana membuat dadanya berdebar. Viona Roceline.
Dia berlutut perlahan, menyentuh permukaan nisan dengan jemarinya yang dingin. Setangkai bunga lili diletakkan di atas makam itu, bersanding dengan beberapa kelopak bunga yang sudah mulai layu.
"Aku datang, Vi…" suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Kesunyian menyelimutinya. Hanya suara desir angin dan gemericik dedaunan yang menjadi saksi kehadirannya. Matanya yang biasanya dingin kini dipenuhi bayangan penyesalan. Dia menarik napas dalam sebelum akhirnya membuka suara lagi, suaranya bergetar tipis.
"Maafkan aku..." Angin berembus lebih kencang, seakan membawa bisikan dari dunia yang tak bisa ia jangkau.
"Aku telah berbuat salah. Aku tidak hanya mengkhianati Monica… aku juga—menyentuh putrimu,.."
Kata-katanya menggantung di udara, menyatu dengan keheningan yang menyesakkan. Dadanya terasa berat. Entah berapa kali dia ingin menghindari kenyataan ini, tapi kali ini, di hadapan nisan Viona, dia harus mengakuinya.
"Allea... dia sungguh mengingatkan ku padamu. Aku tahu ini salah. Aku tahu ini tak seharusnya terjadi, tapi aku tetap melakukannya," suaranya melemah, hampir seperti gumaman.
Davendra menutup mata sejenak, membiarkan rasa bersalah merayapi dirinya. Angin dingin menyentuh wajahnya, seolah Viona sedang menatapnya dari alam lain—dengan tatapan yang entah penuh kebencian atau kepasrahan.
Ponselnya tiba-tiba bergetar di dalam saku jasnya, memecah kesunyian yang nyaris suci di tempat ini. Dengan gerakan lambat, Davendra merogoh ponselnya dan melihat layar.
Pengadilan.
Matanya menyipit. Dia tahu betul panggilan ini akan datang, tapi entah mengapa, tetap saja terasa seperti pukulan yang tak terelakkan. Dengan satu tarikan napas dalam, dia menjawabnya.
"Halo," suaranya datar, tanpa emosi.
"Tuan Davendra, kami ingin mengingatkan Anda bahwa sidang perceraian Anda dijadwalkan hari ini. Harap hadir sesuai dengan waktu yang telah ditentukan."
Hening sesaat. Davendra menatap nama di nisan itu sekali lagi sebelum menjawab, "Aku tidak akan datang."
"Tapi, Tuan—"
"Aku menyetujui semua keputusan pengadilan. Aku tak ingin memperpanjang ini lagi," potongnya tegas.
Sambungan terputus. Tangannya mengepal, sebelum akhirnya dia menekan nomor lain di ponselnya. Setelah beberapa dering, suara di seberang menjawab.
"Aku sudah memutuskan," ucapnya lirih. "Dan setelah ini... aku ingin kau melakukan sesuatu untukku."
Davendra tidak menunggu respons lebih lama. Dia berdiri, membiarkan angin menerpa wajahnya untuk terakhir kali sebelum berbalik meninggalkan pekuburan itu. Langkahnya terasa berat, namun dia tidak menoleh ke belakang.
Hari ini adalah hari perpisahan. Dengan masa lalu. Dengan pernikahannya. Dan mungkin, dengan wanita yang tak seharusnya ia miliki.
**
Belahan Dunia Lain – A.S
Apartemen mewah di Pennsylvania, suasana tegang menyelimuti ruangan. Di sebuah sofa berwarna abu-abu, empat orang duduk saling berhadapan.
Zean, pria berusia hampir lima puluh tahun dengan rahang tegas dan sorot mata tajam, menatap tajam pemuda di depannya. Rambut hitamnya mulai dihiasi uban tipis, tapi wibawanya tetap terasa kuat.
Di sebelahnya, Gea—istrinya—duduk dengan ekspresi lembut, namun sorot matanya menunjukkan kekhawatiran yang dalam.
Sementara itu, di hadapan mereka, Deon duduk tegap. Mata hitamnya yang tajam tidak menunjukkan sedikit pun keraguan, meskipun atmosfer di ruangan ini begitu menekan.
"Jelaskan," suara Zean terdengar dalam, menekan emosi yang bergejolak di dadanya. "Benarkah Allea mengandung anakmu?"
Deon menatap pria itu tanpa gentar. "Ya," jawabnya tegas.
Zean menghembuskan napas berat. Matanya menajam, seolah menimbang-nimbang pemuda di depannya. "Kau sadar dia masih sangat muda? Kau sadar dia masih kuliah?"
"Aku sadar."
"Dan kau masih berani mengatakan ingin menikahinya?"
Deon mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap langsung ke mata ayah Allea. "Aku sungguh ingin menikahinya, Om Zean."
Keheningan menyelimuti ruangan. Gea dan Zean saling berpandangan, seolah mencari jawaban dalam tatapan satu sama lain.
"Aku ingin status kami jelas," lanjut Deon, suaranya tetap tenang namun penuh ketegasan. "Aku ingin anak yang dikandung Allea lahir dengan status yang baik. Aku tidak ingin dia hidup dengan bayang-bayang sebagai anak yang tak diakui."
Zean mengusap wajahnya, menekan emosinya yang hampir meluap. Dia ingin marah. Ingin berteriak bahwa ini semua kesalahan. Tapi di sisi lain, dia tahu putrinya sudah membuat pilihan.
Akhirnya, dia menarik napas panjang dan menatap Deon dengan tatapan yang lebih lunak.
"Baik. Aku akan menyetujui kalian... dengan satu syarat."
Deon mengangguk. "Apa pun."
"Setelah melahirkan, kau harus memastikan Allea melanjutkan kuliahnya. Dia tidak boleh berhenti hanya karena ini."
"Aku berjanji.," Deon tersenyum tipis. Syarat nya serasa begitu mudah baginya.
"Oke. Aku akan membicarakan tanggal pernikahan dengan Monica dan Davendra." Zean akhirnya mengangguk.
Namun, sebelum diskusi berlanjut lebih jauh, Deon membuka suara lagi. "Om Zean bisa membicarakannya hanya dengan Bibi Monica saja."
Suasana langsung membeku. Mata Zean menyipit. "Apa maksudmu?"
Gea yang sejak tadi diam tiba-tiba berdiri, tangannya menggenggam tangan suaminya. "Zean..." suaranya lembut, penuh isyarat. Zean menatapnya tajam. Dia ingin jawaban. Tapi saat Allea menunduk, enggan berbicara, Gea akhirnya menarik Zean bangkit berdiri.
"Aku akan menjelaskannya." lanjut Gea sebelum beralih pada Allea yang duduk di depannya. "Lea, kami akan mengurus sisanya. Kamu jangan banyak fikiran ya, tidak baik untuk bayimu. Kami akan kembali," ucap Gea menarik suaminya keluar dari apartemen itu. Mereka meninggalkan ruangan dengan langkah tergesa.
Tak lama, mereka tiba di parkiran bawah. Zean bersandar di mobil Porsche hitamnya, tangannya terkepal di atas kap mobil. Matanya penuh emosi saat dia menatap istrinya.
"Jadi apa masih ada yang belum aku tahu?"
Gea menatapnya dalam, lalu berkata, "Hari ini, Davendra dan Monica resmi bercerai. Dan penyebabnya... adalah Allea."
Dunia Zean seakan runtuh, mendengar ucapan istri nya. Gea menaruh tangannya di dada suaminya, mencoba menenangkannya. "Kau pasti tahu apa yang ku maksud. Tapi sekarang .. jangan menyulitkan Allea lebih dari ini, dia dalam kondisi yang tidak stabil."
Zean masih terdiam, pikirannya berkecamuk. Namun di satu sisi, jauh di dalam hatinya, dia tahu—seharusnya dia tidak berfikir positif saat menyadari ada sesuatu yang aneh dengan Davendra dan putrinya, harusnya dia bisa lebih teliti.
Apa yang dia pikirkan sungguh terjadi.. Tapi setidaknya putrinya tidak mengandung anak pria itu.. Bukan anak Davendra.
~End.
allea cocok sama davendra tp jg cocok sm deon
Gimana caranya Om Darendra menjaga dan melindungi Allea seperti janjinya pada Viona sedangkan dia sendirilah yg memakainya..
Rangkaian puzzle² ini masih blom bisa disusun.. huh!