Arunika Nrityabhumi adalah gadis cantik berusia dua puluh tujuh tahun. Ia berprofesi sebagai dokter di salah satu rumah sakit besar yang ada di kotanya.
Gadis cantik itu sedang di paksa menikah oleh papanya melalu perjodohan yang di buat oleh sang papa. Akhirnya, ia pun memilih untuk melakukan tugas pengabdian di sebuah desa terpencil untuk menghindari perjodohan itu.
Abimanyu Rakasiwi adalah seorang pria tampan berusia dua puluh delapan tahun yang digadang - gadang menjadi penerus kepala desa yang masih menganut sistem trah atau keturunan. Ia sendiri adalah pria yang cerdas, santun dan ramah. Abi, sempat bekerja di kota sebelum diminta pulang oleh keluarganya guna meneruskan jabatan bapaknya sebagai Kepala Desa.
Bagaimana interaksi antara Abi dan Runi?
Akankah keduanya menjalin hubungan spesial?
Bisakah Runi menghindari perjodohan dan mampukah Abi mengemban tugas turun temurun yang di wariskan padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernanda Syafira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Keakraban
"Dek, ayo turun. Kenapa, hm?." Tanya Abi yang melihat kegelisahan Runi.
"Deg deg an, Mas. Takut Mas Abi..."
"Sssttt!" Abi memotong ucapan Runi.
"Jangan terlalu pikirin, Mas. Mas bakal baik - baik aja." Abi menenangkan.
"Gimana gak mikirin, Mas. Mas kan kesini karna aku?." Jawab Runi.
"Tenang ya, dek. Mas gak akan kenapa - kenapa. Kamu harusnya bahagia, sudah hampir dua bulan gak pulang kan? Have fun, sayang." Kata Abi sembari menggenggam tangan Runi.
"Mas, apapun yang terjadi, jangan tiba - tiba pulang. Jangan tinggalin aku." Pinta Runi.
"Njih, sayangnya Mas. Mas kan udah bilang, gak akan pulang ke desa tanpa bawa kamu. Lagi pula tugas pengabdianmu kan selama enam bulan. Sedangkan ini baru mau dua bulan." Jawab Abi yang mendapat anggukan dari Runi.
Abi dan Runi kemudian turun bersama. Abi membuka pintu bagian belakang dan mengambil beberapa buah tangan yang di bawa dari desa juga yang di beli oleh Danu atas permintaannya.
"Mas, banyak banget belinya?" Tegur Runi.
"Di rumahmu rame, dek. Masak Mas datang cuma bawa dua kantung ini?" Ujar Abi sembari mengangkat kantung yang di berikan ibunya.
"Sini, aku bantu." Kata Runi.
"Gak usah, bawa pemberian ibu saja kalau mau bantu." Jawab Abi.
"Loh, dek, Abi, kok gak masuk?" Suara Bayu, abang Runi yang menghampiri keduanya.
"Abaaanggggg.....!!!" Runi langsung menghambur dalam pelukan abangnya. Tak bisa di pungkiri kalau dia benar - benar rindu pada keluarganya.
"Iya, dek. Sehat? Gimana di sana?" Tanya Akbar yang membalas pelukan erat adiknya. Ia bahkan menghujani adik satu - satunya itu dengan kecupan di puncak kepalanya.
"Sehat, bang. Disana? Ya Runi betah, buktinya tahan hampir dua bulan gak pulang." Jawab Runi yang membuat Bayu dan Abi tertawa.
Bayu kini beralih bersalaman dengan Abi dan memeluknya singkat.
"Apa kabar? Terima kasih ya, sudah menemani Runi pulang." Kata Bayu sambil menepuk - nepuk bahu Abi. Bayu adalah satu - satunya orang yang tau hubungan Abi dan Runi saat ini.
"Baik, bang. Sama - sama, bang. Saya gak mungkin tega biarin Runi pulang sendirian. Abang gimana kabarnya? Sudah siap?" Goda Abi.
"Sehat! Kalau itu, jangan di tanya, tentu saja siap!" Jawab Bayu disertai gelak tawa.
"Kamu kapan?" Goda Bayu sembari melirik adiknya.
"Kapanpun saya siap, asal sudah di restui." Jawab Abi.
Disini, Runi melihat sendiri bagaimana cara Abi mengambil hati abangnya. Abi memang ramah, tutur katanya halus dan sopan, juga wibawa dan kharismanya yang seolah mampu menarik setiap orang untuk mudah dekat dengannya.
"Ayo masuk! Mama, papa dan yang lain sudah menunggu. Sini abang bantu! Repot - repot sekali sampai bawa banyak gini." Ujar Bayu.
"Gak tau tuh, Mas Abi." jawab Runi.
"Ya jelas Abi lah, gak mungkin kalau kamu." Sahut Bayu yang membuat Runi merengut.
"Cuma sedikit oleh - oleh, bang." Jawab Abi.
Ketiganya berjalan bersama menuju ke dalam rumah. Beberapa orang dari keluarga Runi mulai memandang Abi dengan terkesima. Ketampanan dan auranya benar - benar menyihir siapa saja yang melihatnya.
"Assalamualaikum." Abi dan Runi mengucapkan salam.
"Waalaikumussalam." Suara beberapa orang dari dalam rumah menjawab salam mereka.
Runi sesekali melirik ke arah Abi yang tampak santai, seolah tak ada kegugupan dalam dirinya.
"Bisa sesantai itu, Mas Abi. Dia paling pinter sih emang, nyembunyiin emosinya." Batin Runi.
Abi duduk di ruang tamu, sementara Runi langsung masuk ke dalam rumah. Ia melepas rindu dengan mama dan papanya yang berada di dalam rumah, juga beberapa sanak kerabat dekat yang sudah ada di sana untuk mengantar Bayu menikah besok.
"Dek Runi, bawa calon ya? Aduh mana ganteng banget itu calonnya." Ujar salah satu kerabat Runi.
"Hehehe itu pak Sekdes tempat Runi tugas, tante." Jawab Runi.
"Pasti kaya, ya? Lihat mobilnya saja bagus dan itu, bawaannya banyak banget!" Sahut yang lain, sementara Runi hanya bisa cengar cengir saja.
"Ma, Pa, ini ada oleh - oleh dari pak Kades dan bu Kades. Orang tuanya Mas Abi." Runi menyerahkan dua papper bag yang ia tenteng.
"Kok repot - repot sih, dek. Sampaikan terima kasih, ya." Ujar mama Runi.
"Mama dan Papa menemui Abi dulu, ya. Kamu kalau mau, istirahat saja dulu sebentar dikamar. Sebentar lagi ajak Abi makan siang." Titah mama Runi yang di jawab anggukan.
Runi sedikit lega kala melihat keluarganya yang ternyata bisa menyambut Abi dengan baik. Alih - alih beristirahat di kamar, Runi justru ikut mama dan papanya menemui Abi. Ia takut jika Papanya akan berbuat sesuatu yang tak mengenakkan pada Abi.
"Ma, Pa." Abi menyalami takzim kedua orang tua Runi yang mendatanginya.
Abi juga tidak sendiri berada di ruang tamu, ia di temani Bayu juga beberapa kerabat Runi yang ada di sana sebelum Mama dan Papa Runi keluar.
"Saya Abi, teman Runi di tempatnya melaksanakan tugas pengabdian." Abi memperkenalkan diri.
"Bukan sekedar temen, ma, pa. Tapi pacar adek." Timpal Bayu yang langsung mendapat pelototan dari Runi. Sementara Abi hanya tersenyum.
"Terima kasih sudah mengantar Arunika, nak Abi. Apa kabar? Gimana kabar bapak dan ibu?." Tanya papa Runi, memulai pembicaraan.
"Sama - sama, pa. Alhamdulillah kami semua dalam keadaan sehat. Papa dan Mama mudah - mudahan juga selalu sehat." Ujar Abi.
Perbincangan mengalir begitu saja di antara mereka. Runi sendiri tak banyak bicara, hanya sesekali menjawab pertanyaan yang di lontarkan
Ia bersyukur karena semuanya terlihat baik - baik saja. Bahkan papanya banyak mengobrol dengan Abi.
Papa Runi sendiri adalah tipikal orang yang suka mengobrol kesana dan kemari karena memang pengalaman dan pengetahuannya cukup luas.
Untungnya, Abi mampu mengimbangi dengan pengetahuannya yang juga luas, sehingga obrolan mereka menjadi nyambung.
Setelah pulang sholat berjamaah di masjid, mereka semua makan siang bersama. Setelah makan siang pun, Abi bersama papa, abang dan kerabat laki - laki yang lain tampak kembali asyik mengobrol, seolah tidak lelah.
"Kamu kenapa sih, dek? Capek? Kalo capek ya tidur di kamar." Kata mama Runi saat melihat putrinya.
"Itu, ma. Kirain Mas Abi setelah makan siang mau pulang, taunya malah lanjut ngobrol. Mana asyik banget lagi kelihatannya." Cicit Runi.
"Nak Abi masih mau ngobrol, kok di suruh pulang. Biarin aja, dek." Jawab mamanya.
"Kasihan, ma. Abis perjalanan jauh loh, emang gak capek. Di perjalanan juga dia kerja, bukannya tidur." Kata Runi.
"Namanya lagi mau deket sama keluarga, dek Runi. Biarin aja." Timpal salah satu kerabat Runi.
"Dek Runi pinter ih, cari calon suami. Lihat tuh, ganteng banget kayak model!" Para kerabat Runi masih saja membicarakan ketampanan Abi. Sementara Runi hanya bisa tersenyum menanggapi.
"Oh iya, ma. Papa gak bahas masalah itu lagi?" Tanya Runi
"Apa? Perjodohan kamu? Sesekali masih di bahas, sih. Tapi sudah gak maksa, kayak dulu." Jawab mamanya.
"Huft syukur, deh." Runi bernafas lega.
"Nak Abi itu pinter ya menarik hati ya, dek. Papa yang keras aja bisa luluh dengan sekali duduk." Gelak sang mama yang mengakui kehebatan Abi.
"Gimana disana? Lancar? Mama gak mau nanya betah atau enggak, udah pasti betah karna ada Abi." Goda mamanya.
"Apaan sih, ma!. Alhamdulillah lancar, ma. Warga desa kooperatif, padahal denger - denger dulu sempat ada dokter yang sampai menyerah di sana." Cerita Runi.
"Iya? Waah, keren dong anak mama!" Puji mamanya.
"Bentar, Ma. Ibunya Mas Abi telfon." Kata Runi saat ponselnya berdering.
Runi mengangkat panggilan dari bu Lastri, mereka mengobrol sebentar sebelum bu Lastri mengobrol dengan mama Runi.
"Astaga... Ini pada kenapa, sih? Mas Abi sibuk sama papa, ibu sibuk sama mama. Gini kali ya rasanya jadi Mas Abi semenjak aku di sana. Jadi di cuekin." Gerutu Runi.