NovelToon NovelToon
Dinikahi Sang Duda Kaya

Dinikahi Sang Duda Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Duda / Nikah Kontrak / Berbaikan
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.

​Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.

​"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.

​Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.

​Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 27: Suami Tumbang, Istri Siaga

​"Gavin! Bangun! Jangan bercanda!"

​Kiana menepuk pipi Gavin berulang kali. Tidak ada respon.

​Pria itu diam tak bergerak di pangkuannya, berat dan panas seperti batu yang baru diangkat dari kawah gunung berapi. Wajahnya yang pucat kontras dengan noda tepung di lantai dapur.

​"Minggir! Kamu apakan dia?!"

​Bu Laras menerjang maju, mendorong bahu Kiana dengan kasar menggunakan tongkat eboninya. Wanita paruh baya itu berlutut di sisi lain tubuh Gavin, wajah angkuhnya runtuh digantikan kepanikan seorang ibu—meskipun statusnya hanya ibu mertua.

​"Gavin, Nak... ini Mama... bangun," suara Bu Laras bergetar. Dia meraba dahi Gavin dan langsung memekik. "Ya Tuhan! Panas sekali! Badan dia seperti setrikaan! Kamu kasih dia racun apa, hah?!"

​Kiana mengabaikan tuduhan konyol itu. Otak CEO-nya bekerja cepat memilah prioritas. Panik tidak akan menyelamatkan nyawa.

​"Bi Inah! Matikan kompor! Jangan sampai rumah ini meledak beneran!" perintah Kiana tajam tanpa menoleh. "Pak Danar! Masuk ke dalam! Sekarang!"

​Bi Inah yang gemetar langsung memutar tombol kompor, mematikan panci presto yang sudah mendesis berbahaya. Sementara itu, Pak Ujang—supir yang biasanya antar jemput Alea—berlari masuk dari pintu samping dengan wajah pucat.

​"Ya Allah, Pak Gavin!" seru Pak Ujang kaget melihat majikannya terkapar.

​"Jangan bengong! Angkat Bapak ke kamar atas. Hati-hati, jangan sampai kepalanya terbentur. Cepat!" komando Kiana.

​Pak Ujang yang bertubuh kekar segera membopong tubuh Gavin. Kiana ikut memegangi kepala Gavin agar tidak terkulai. Mereka bergegas menaiki tangga.

​Bu Laras mengikuti di belakang, napasnya tersengal-sengal karena faktor usia, tapi mulutnya tidak berhenti merepet.

​"Ini pasti gara-gara kamu! Kamu bikin dia stres! Kamu paksa dia makan makanan sampahmu itu! Kalau ada apa-apa sama Gavin, saya tuntut kamu!"

​"Ibu bisa diam tidak?!" Kiana berbalik di bordes tangga, matanya menyala garang. "Suara Ibu bikin sakit kepalanya makin parah! Kalau Ibu mau bantu, telepon Dokter Gunawan. Nomornya ada di ponsel Gavin di saku celananya. Lakukan sesuatu yang berguna!"

​Bu Laras ternganga dibentak Kiana. Tapi melihat situasi darurat, dia menurut. Dengan tangan gemetar dia merogoh saku celana Gavin yang sedang digotong, mengambil ponsel, dan mulai mencari kontak dokter dengan panik.

​Di kamar utama yang luas dan dingin.

​Pak Ujang membaringkan Gavin di tempat tidur king size dengan hati-hati. Gavin mengerang pelan, matanya masih terpejam rapat, alisnya bertaut menahan sakit. Keringat dingin membasahi kemeja kerjanya hingga tembus pandang.

​"Terima kasih, Pak Ujang. Bapak tunggu di bawah, pandu Dokter Gunawan langsung ke sini kalau sudah datang," kata Kiana sambil melepas apron kotornya dan melemparnya ke lantai.

​"Siap, Bu."

​Begitu Pak Ujang keluar, Bu Laras langsung mengambil alih. Dia duduk di tepi ranjang, mendesak Kiana minggir dengan pinggulnya.

​"Biar saya yang urus. Saya yang tahu Gavin dari dia masih pacaran sama Sarah. Kamu orang baru, nggak tahu apa-apa," ketus Bu Laras.

​Wanita tua itu mengambil tisu di nakas, mencoba mengelap keringat di dahi Gavin dengan gerakan posesif.

​"Sabar ya, Nak... Mama di sini... Mama Laras jagain kamu... jangan takut..." bisik Bu Laras lembut, seolah sedang menimang bayi.

​Gavin bergerak gelisah. Dalam ketidaksadarannya, dia merasa ada tangan asing yang menyentuhnya. Bau parfum bunga melati yang menyengat dari Bu Laras membuatnya mual. Itu bukan bau yang dia cari.

​"Eugh..." Gavin melenguh, tangannya bergerak lemah di udara, menepis tangan Bu Laras yang ada di dahinya.

​"Gavin? Ini Mama..." Bu Laras mencoba memegang tangan Gavin lagi.

​"Nggak..." desis Gavin serak, matanya terbuka sedikit, sayu dan tidak fokus. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan panik, mencari sesuatu. "Kiana... mana..."

​Tangan Bu Laras membeku di udara. Hatinya seperti dicubit. Menantunya yang sakit, dalam keadaan setengah sadar, menolak sentuhannya dan malah memanggil nama istri barunya?

​Kiana yang berdiri di kaki ranjang tertegun. Dia mendengar namanya dipanggil.

​"Aku di sini," jawab Kiana refleks, melangkah maju mendekati sisi ranjang yang satunya.

​Mata Gavin menangkap sosok Kiana. Meskipun pandangannya kabur, dia mengenali siluet itu. Napasnya yang tadinya memburu sedikit lebih tenang. Tangan Gavin terulur lemah ke arah Kiana, jarinya menggapai-gapai.

​"Sakit... Kia..." rintih Gavin. "Perut... panas..."

​Kiana tidak tega. Dia mengabaikan tatapan tajam Bu Laras dan langsung duduk di samping Gavin, menyambut tangan besar yang gemetar itu.

​"Iya, aku tahu. Dokter lagi jalan. Tahan sebentar ya," Kiana menggenggam tangan Gavin erat. Tangan itu panas sekali. Demamnya pasti sangat tinggi.

​"Minggir kamu," desis Bu Laras, tidak terima diabaikan. "Dia cuma mengigau. Dia butuh kompres, bukan pegangan tangan."

​"Dia butuh istrinya, Bu. Dan kebetulan istri sahnya itu saya," balas Kiana dingin tanpa melepaskan tangan Gavin. "Ibu duduk saja di sofa. Ibu juga kelihatan pucat. Jangan sampai ada dua pasien di kamar ini."

​Bu Laras ingin membalas, tapi melihat Gavin yang terus memegang tangan Kiana seolah itu adalah satu-satunya pelampung di tengah lautan, dia tidak bisa berbuat apa-apa. 

Dia mundur dengan perasaan kalah yang pahit, duduk di sofa pojok dengan wajah masam.

​Dokter Gunawan datang sepuluh menit kemudian dengan napas ngos-ngosan. Dia langsung bekerja memeriksa Gavin.

​Dokter itu menekan ulu hati Gavin dengan jari. Gavin sontak mengerang kesakitan dan tubuhnya menegang.

​"Nyerinya di sini ya?" gumam Dokter Gunawan, lalu dia memasang stetoskop dan memeriksa dada Gavin cukup lama. Kening dokter itu berkerut.

​"Bu Kiana," Dokter Gunawan melepas stetoskopnya. "Apa Pak Gavin baru-baru ini terpapar polusi berat atau asap?"

​Kiana mengangguk cepat. "Iya, Dok. Kemarin  kami ada di lokasi kebakaran gudang berjam-jam. Dia sempat tidak pakai masker."

​"Pantas saja," Dokter Gunawan mengangguk paham, lalu melihat termometer yang baru diambil dari ketiak Gavin. "Ini kombinasi fatal. Paparan asap memicu infeksi saluran napas ringan, ditambah stres berat yang membuat asam lambungnya naik drastis sampai melukai dinding lambung. Fisiknya drop total karena kelelahan. Demamnya sampai 39,5 derajat."

​Dokter menyuntikkan obat pereda nyeri dan penurun panas lewat infus yang dipasang darurat di tangan kiri Gavin.

​"Dia harus istirahat total minimal tiga hari. Tidak boleh stres, tidak boleh makan pedas atau asam. Makan yang lunak-lunak dulu," pesan Dokter Gunawan pada Kiana.

​"Saya yang akan pastikan dia makan bubur buatan saya," sela Bu Laras dari sofa. "Istrinya ini nggak bisa masak, Dok. Tadi dia hampir bakar dapur."

​Dokter Gunawan menatap canggung ke arah Kiana.

​"Siapa pun yang masak, pastikan higienis dan mudah dicerna," Dokter Gunawan memilih netral. "Saya pamit dulu. Kalau demamnya tidak turun dalam 24 jam, harus bawa ke rumah sakit."

​Setelah dokter pergi, suasana kamar kembali hening. Hanya suara napas Gavin yang berat dan dengungan AC.

​Kiana menatap kemeja Gavin yang basah kuyup oleh keringat. Baunya apek bercampur obat. Tidak nyaman.

​"Saya mau ganti baju Gavin. Ibu mau nonton atau mau keluar?" tanya Kiana pada Bu Laras.

​Bu Laras mendengus. "Saya sudah pernah ganti popok Sarah ratusan kali. Liat badan laki-laki bukan hal baru."

​"Ini bukan Sarah. Ini menantu Ibu. Dan ini privasi suami istri," tegas Kiana. Dia berjalan ke pintu, membukanya lebar. "Tolong tinggalkan kami sebentar. Ibu juga butuh istirahat kan? Kamar tamu sudah dirapikan Bi Inah di bawah."

​Bu Laras berdiri dengan enggan. Dia menatap Gavin yang tertidur, lalu menatap Kiana dengan tatapan permusuhan.

​"Jangan pikir kamu menang, Kiana. Gavin cuma lagi sakit. Kalau dia sadar, dia akan sadar betapa tidak bergunanya kamu," ancam Bu Laras sebelum keluar dan membanting pintu.

​Akhirnya. Sendiri.

​Kiana menghela napas panjang, bahunya merosot lemas. Energinya terkuras habis.

​Dia berbalik menatap Gavin. Pria yang biasanya gagah, arogan, dan selalu rapi dengan jas mahalnya, kini terbaring tak berdaya. Wajahnya pucat, selang infus menancap di tangannya.

​Kiana merasakan dadanya sesak. Perasaan aneh yang menyakitkan.

Dia tidak suka melihat Gavin lemah. Dia lebih suka Gavin yang menyebalkan dan berdebat dengannya soal kopi.

​Kiana mengambil baskom berisi air hangat dan handuk kecil yang sudah disiapkan Bi Inah. Dia duduk di tepi ranjang.

​Perlahan, jari-jari lentik Kiana membuka kancing kemeja Gavin satu per satu. Dia melihat dada bidang yang naik turun tidak beraturan. Kulit Gavin merah karena demam.

​Kiana membasuh tubuh Gavin dengan handuk hangat. Dia menyeka leher, dada, dan lengan suaminya dengan lembut. Dia melakukannya dengan hati-hati, takut menyakiti, seolah Gavin terbuat dari kaca.

​"Bodoh," bisik Kiana saat mengusap lengan Gavin. "Ngapain kamu pulang cepat kalau cuma mau pingsan di dapur? Bikin panik orang satu rumah aja."

​Kiana mengambil kaos tidur bersih dari lemari. Dengan susah payah dia memakaikan kaos itu ke tubuh Gavin yang berat karena tidak sadar. Dia mengangkat punggung Gavin, memeluknya sebentar untuk memasukkan lengan kaos.

​Wajah Kiana berada tepat di ceruk leher Gavin. Panas tubuh pria itu menembus bajunya.

​Ada detak jantung yang kuat di sana.

​Deg.Deg.Deg.

​Kiana terdiam dalam posisi itu selama beberapa detik. Memeluk suaminya yang sedang sakit.

 Rasanya... 1ntim. Dan menakutkan. 

Menakutkan karena Kiana mulai merasa nyaman menjadi orang yang dibutuhkan Gavin.

​"Sembuhlah," bisik Kiana di telinga Gavin. "Kalau kamu mati, aku dituntut mertuamu yang gila itu."

​Kiana membaringkan Gavin kembali, menarik selimut sebatas dada, lalu menempelkan CoolFever di dahi Gavin.

​Dia tidak tidur. Dia menarik kursi ke samping ranjang, duduk di sana sambil memegangi iPad-nya, memantau laporan gudang yang terbakar. Tapi matanya lebih sering melirik ke arah Gavin daripada ke layar.

​Setiap kali Gavin bergerak gelisah, Kiana langsung sigap mengecek suhu tubuhnya.

Waktu terus berlalu.

​Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari.

​Hujan deras turun di luar, memukul-mukul jendela kamar dengan irama yang monoton. Petir sesekali menyambar, menerangi kamar yang remang-remang.

​Kiana tertidur dalam posisi duduk, kepalanya bersandar di kasur di samping lengan Gavin. Tangannya masih memegang ujung selimut Gavin.

​"Nngghh..."

​Suara lenguhan panjang membangunkan Kiana. Dia tersentak, langsung mengangkat kepala. Matanya yang pedih mengerjap-ngerjap.

​"Gavin?"

​Gavin bergerak gelisah. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri dengan cepat di atas bantal. Napasnya memburu, terdengar seperti orang yang habis lari maraton.

​"Jangan..." igau Gavin. Suaranya serak dan penuh ketakutan. "Jangan pergi..."

​Kiana menyentuh dahi Gavin. Masih panas, tapi tidak sepanas tadi sore. Keringat dingin kembali membanjiri pelipisnya. Dia sedang mimpi buruk.

​"Gavin, bangun. Kamu mimpi," Kiana menepuk pipi Gavin pelan.

​Tiba-tiba tangan Gavin menyambar pergelangan tangan Kiana. Cengkeramannya kuat sekali, menyakitkan.

​Mata Gavin terbuka lebar, tapi tatapannya kosong. Dia menatap langit-langit kamar dengan horor, seolah melihat hantu.

​"Sarah..." panggil Gavin.

​Kiana membeku. Jantungnya berhenti berdetak sesaat.

​Gavin menoleh ke arah Kiana. Matanya yang berkabut demam menatap Kiana, tapi Kiana tahu Gavin tidak melihatnya. Gavin melihat masa lalunya.

​Gavin menarik tangan Kiana, memaksanya mendekat.

​"Jangan tinggalin aku lagi..." Gavin memohon, air mata menetes dari sudut matanya. "Sakit, Sarah... sepi... jangan pergi..."

​Kiana tertegun. Rasa nyeri menghantam ulu hatinya. Lebih sakit daripada saat jarinya teriris pisau tadi sore.

​Gavin merindukan istrinya. Istri aslinya. Cinta sejatinya.

​Kiana sadar posisinya. Dia cuma pengganti. 

Dia cuma stiker tempelan untuk menutupi lubang di hati Gavin.

​"Gavin, ini Kiana," kata Kiana pelan, berusaha melepaskan tangannya. "Sarah sudah nggak ada. Sadar, Gavin."

​Tapi Gavin tidak mau melepaskan. Dia malah menggenggam tangan Kiana dengan kedua tangannya, membawanya ke pipinya, menggosokkan wajahnya yang panas di telapak tangan Kiana yang dingin.

​"Tetap di sini..." racau Gavin lagi, suaranya melemah, matanya kembali terpejam. "Siapa pun kamu... tolong... tetap di sini... jangan pergi kayak Sarah... aku butuh kamu..."

​Kalimat terakhir itu menghancurkan pertahanan Kiana.

​Aku butuh kamu.

​Bukan 'aku butuh Sarah'. Tapi 'aku butuh kamu'—siapa pun sosok yang sedang bersamanya saat ini. 

Gavin, dalam ketidakberdayaannya, hanya butuh seseorang untuk menemaninya melewati malam yang dingin dan menyakitkan.

​Kiana menatap pria rapuh itu.

​Dia bisa saja menarik tangannya kasar dan pergi. Dia bisa membiarkan Gavin sendirian dengan hantu masa lalunya. 

Itu yang akan dilakukan Kiana si CEO dingin.

​Tapi Kiana yang ini... Kiana yang tadi sore rela dapurnya hancur demi pria ini... tidak bisa pergi.

​Hatinya luluh lantak.

​Perlahan, Kiana berhenti melawan. Dia membiarkan tangannya tetap di pipi Gavin. Ibu jarinya mengusap air mata di sudut mata suaminya.

​"Aku di sini, Gavin," bisik Kiana lembut, suaranya bergetar. "Aku nggak kemana-mana. Tidurlah."

​Sentuhan itu sepertinya menenangkan badai di kepala Gavin. Napasnya perlahan melambat. Cengkeramannya melonggar, tapi dia tetap memeluk tangan Kiana di dadanya, seolah itu adalah jimat pelindung.

​Kiana duduk diam di kegelapan, mendengarkan suara hujan dan detak jantung Gavin.

​Malam ini, dia kalah. Dia melanggar pasal sepuluh kontrak mereka berkali-kali lipat. Dia tidak hanya peduli. Dia... takut kehilangan pria ini.

1
Savana Liora
mantap kak
Savana Liora
asiaaapp
Nor aisyah Fitriani
uppp teruss seharian cuma nungguin kirana
Nischa
yeayyy akhirnya kiana sadar juga dengan perasaan nyaaa, uhhh jadi ga sabar kelanjutannya😍
Savana Liora
😄😄😄 iya, mantap kiana ya
shenina
😍😍
shenina
woah badass kiana 👍👍
shenina
🤭🤭
Savana Liora: halo. terimakasih udah baca
total 1 replies
shenina
👍👍
Savana Liora: makasih ya 😍😍
total 1 replies
Savana Liora
hahahaha
Nor aisyah Fitriani
upp teeuss thorr baguss
Savana Liora: asiaaap kk
total 1 replies
Nischa
lanjut thorr, ga sabar kelanjutannya🥰
Savana Liora: sabar ya. lagi edit edit isi bab biar cetar
total 1 replies
Nischa
cieee udah ada rasa nih kyknya, sekhawatir itu sm Gavin😄
Savana Liora: hahahaha
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
upp kak cerita nya baguss
Savana Liora: bab 26 udah up ya kak
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
baguss bangett
Savana Liora: makasih kak.😍 selamat membaca ya
total 1 replies
Feni Puji Pajarwati
mantap Thor...ceritanya gak kaleng2...maju terus buat karya nya...semangat...
Savana Liora: terima kasih supportnya kakak
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
next thor👍
vote untuk mu
Savana Liora: makasih kak. happy reading ya
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
🤩🤩🤩
Savana Liora: Terima kasih dah mampir kak
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
🤭🤭
Savana Liora: iya kak. harus tetap semangat. 💪
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!