Cinta Ugal Ugalan Mas Kades
"Kok lama banget, ya!. Mana sendiri di tempat sepi gini, huhuhu. Sepi banget, gak ada manusia ya?" keluh Runi yang sedari tadi bergantian menatap sekitar dan jam yang melingkar di tangannya.
Tiga puluh menit sudah ia menunggu di teras sebuah gubuk bekas warung, setelah menelfon pak Kades untuk mengabari bahwa ia sudah sampai. Tepat setelah panggilan itu berakhir, ponselnyapun mati. Sialnya, power bank yang biasa ia bawa kemana - mana itu tertinggal di rumah.
"Mama, Papa, Abang...." rengeknya lagi saat melihat suasana sekitar yang semakin gelap.
Tak banyak kendaraan melintas, adapun hanya bis besar juga truk yang melintas selama ia menunggu. Terbesit rasa sesal, kenapa ia memilih untuk pergi pengabdian di salah satu desa terpencil.
Namun, tekadnya kembali bulat saat ia teringat kala sang papa memaksanya menikah dengan pria yang bahkan belum pernah ia lihat batang hidungya.
"Perjodohan macam apa yang ketemunya di pelaminan? Ta'aruf saja boleh kok melihat calonnya dulu." gerutu Runi ketika teringat perdebatannya dengan sang papa.
Suara mobil yang mendekat, membuat Runi mengalihkan perhatian dari kerudung yang sedang ia benahi karena berantakan terkena angin yang cukup kencang.
seorang pria tinggi tegap dengan dada bidang turun bersama seorang wanita. Si wanita tampak tergopoh - gopoh menghampiri Runi.
"Ya Allah, Bu dokter, ternyata nunggu di sini. Kami cari kemana - mana, hape bu dokter juga gak bisa di hubungin." ujar si wanita.
"Maaf ya, bu, pak. Saya gak tau, sama travelnya di turunkan di sini saat saya bilang mau ke desa Banyu Alas." jawab Runi.
"Aduh, saya jangan di panggil bu, dong. Saya lebih muda dari bu dokter loh. Gak apa bu dokter, ini jalur belakang desa. Harusnya bukan di sini, di bagian utara sana, di dekat alun - alun kecamatan yang lebih ramai. Tega sekali supirnya nurunin perempuan di sini! Harusnya dia tau kalau di sini sepi, kalau ada apa - apa gimana coba!" kesal si wanita pada supir travel.
"Bu dokter gak apa - apa? Kenalkan nama saya Ica, saya yang akan membantu bu dokter selama pengabdian. Kalau itu Mas Abi, dia Sekdes, anaknya pak Kades. Mas Abi itu sepupu saya." jelas wanita yang bernama Ica itu.
"Saya gak apa - apa. Nama saya Arunika, biasa di panggil Runi. Kalau gitu jangan panggil saya bu dokter ya, panggil kakak atau mbak atau teteh." ujar Runi dengan ramah.
"Siap dokter Runi. Lebih enak manggil dokter Runi aja deh." jawab Ica cengengesan.
"Aduh, kamu ini ca." Runi geleng - geleng.
"Ngobrolnya di lanjut di mobil saja. Sudah mau surup." ujar Abi dengan suara baritonnya.
Tanpa ba bi bu, ia mengambil alih koper besar Arunika yang memang berat itu.
"Eeeh pak, berat loh itu." ujar Runi yang cukup terkejut dengan Abi yang seolah enteng mengangkat kopernya.
"Biarin aja dok, aman. Biasa manggul beras puluhan kilo kok, Mas Abi!" kata Ica dengan santainya. Mereka akhirnya segera masuk ke dalam mobil dan kembali ke desa.
"Dokter duduk di depan saja dengan Mas Abi." titah Ica yang membuka pintu bagian ke dua.
"Saya duduk di belakang saja, ca." tolak Runi yang merasa sungkan.
"Duduk depan saja, kamu belum terbiasa dengan jalan yang akan kita lewati, bisa - bisa kamu mual." titah Abi yang sudah duduk di balik kemudi.
"Iya dok, bener kata Mas Abi." Ica menegaskan.
Akhirnya Runi pun menurut, ia segera mengambil tempat duduk di sebelah pria tampan yang sepertinya cukup pendiam itu. Namun, ada hal lain yang membuatnya lebih penasaran lagi, yaitu seberapa sulit medan yang akan mereka lalui kali ini.
Abi mengendarai mobil toyota hilux double cabin miliknya dengan kecepatan sedang. Tentu saja ia sudah lihai melewati medan ekstrim menuju desanya melalui jalan belakang.
Memang terhitung jaraknya lebih dekat untuk sampai ke desa Banyu Alas, namun medan curam beralaskan tanah dan bebatuan cukup membuat sport jantung orang yang baru pertama melintasinya.
Begitupun dengan Arunika yang sedari tadi tak henti berkomat kamit mengucapkan istighfar. Benar saja, perutnya pun terasa di aduk - aduk saat melewati jalanan itu.
"Maaf pak, memangnya akses jalan menuju desa, semuanya jalanan seperti ini?" tanya Runi.
"Hanya jalan belakang ini saja yang sangat parah. Kami sedang mengajukan bantuan untuk perbaikan, mudah - mudahan akan segera di tindak lanjuti." jawab Abi.
"Iya dok, kalau lewat depan, jalannya lebih halus kok walaupun lebih jauh untuk masuk ke desa." timpal Ica yang nampak biasa saja.
"Dokter kenapa? Mual?" tanya Ica kemudian.
"gak apa, masih bisa di tahan." jawab Runi sekenanya.
"Maaf kalau kurang nyaman. Sebentar lagi kita akan sampai. Saya gak bisa lebih cepat karena hujan, takut tergelincir." ujar Abi tanpa menoleh, ia masih serius mengemudikan mobilnya.
Hujan yang tiba - tiba turun lumayan lebat, membuatnya tak bisa mengemudikan mobil lebih cepat. Selain karena jalanan licin, jarak pandang yang terbatas pun sangat mempengaruhi.
Ccckiiiitttt......
Abi tiba - tiba mengerem mobilnya. Membuat mereka bertiga terhuyung ke depan.
"Astaghfirullah...." lirih ketiganya hampir bersamaan.
Runi memperhatikan tangan kiri Abi yang tadi refleks bersiaga di dekat dahinya saat pria itu mengerem mendadak. Abi kemudian menyingkirkan tangannya setelah memastikan gadis di sampingnya tak terpental. Untung saja Runi terbiasa menggunakan seatbelt tanpa perlu diingatkan.
"Duh Gusti, Mas Abi! Ono opo to sakjane? Tiwas njelungup, aku! (ya tuhan, Mas Abi! Ada apa sih sebenarnya? Hampir saja jatuh, aku!)" omel Ica.
"Ya Allah, pak! Itu ular besar banget? Anakonda?" Ujar Runi yang bergidik ngeri melihat ular besar yang melintas di depan mobil mereka.
"Bukan, itu cuma Sanca Kembang." jawab Abi yang nampak santai menyandarkan tubuhnya, menunggu ular besar itu selesai melintas.
"Serius, pak? Saya kira itu Anakonda. Besar banget badannya, kaya batang kelapa itu loh!" Heran Runi sembari menunjuk batang pohon kelapa di sebelahnya.
"Wajar dok, di sini banyak ular besar kayak gitu. Desa kita kan di kelilingi hutan dan salah satunya adalah kawasan hutan yang di lindungi karena banyak tumbuhan dan hewan langka di dalamnya." jelas Ica.
"Ada binatang buas juga?" Tanya Runi sembari membelalakkan mata.
"Banyak! Harimau dan Macan juga banyak berkeliaran." jawab Abi yang membuat wajah Runi memucat.
Runi tak membayangkan jika tiba - tiba ia di datangi Harimau buas saat sedang berjalan di desa.
"Hish! Mas Abi! Ojo meden - medeni ngono kuwi to! (jangan menakut - nakuti seperti itu to!)" omel Ica sembari memukul bahu sepupunya.
"Tenan to yo, gak meden - medeni. Akeh do kliaran ning njero alas kono. (Benar kok ya, gak nakut - nakutin. Banyak pada berkeliaran di dalam hutan sana.)" jawab Abi tanpa dosa.
"Gak berkeliaran sampe segitunya kok, dok. Mas Abi saja berlebihan. Binatang buas itu ada tapi jauh di dalam hutan sana. Bahkan belum tentu setahun sekali ada warga yang melihat keberadaan mereka." Ica menenangkan.
Sementara itu Runi melirik kesal kearah Abi yang tampak tersenyum sekilas saat melihat ia ketakutan tadi.
Sumpah! Jahil banget orang satu ini. Jangan sampe sering ketemu deh, bisa bikin naik darah!." gerutu Runi dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments