Original Story by : Chiknuggies (Hak cipta dilindungi undang-undang)
Aku pernah menemukan cinta sejati, hanya saja . . . Arta, (pria yang aku kenal saat itu) memutuskan untuk menjalin kasih dengan wanita lain.
Beberapa hari yang lalu dia kembali kepadaku, datang bersama kenangan yang aku tahu bahwa, itu adalah kenangan pahit.
Sungguh lucu memang, mengetahui Arta dengan sadarnya, mempermainkan hatiku naik dan turun. Dia datang ketika aku berjuang keras untuk melupakannya.
Bak layangan yang asyik dikendalikan, membuat aku saat ini tenggelam dalam dilema.
Hati ini. . . sulit menterjemahkan Arta sebagai, kerinduan atau tanda bahaya.
°°°°°°
Airin, wanita dengan senyuman yang menyembunyikan luka. Setiap cinta yang ia beri, berakhir dengan pengkhianatan.
Dalam kesendirian, ia mencari kekuatan untuk bangkit, berharap suatu hari menemukan cinta yang setia. Namun, di setiap malam yang sunyi, kenangan pahit kembali menghantui. Hatinya yang rapuh terus berjuang melawan bayang masalalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiknuggies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Aku membanting rokok, hingga percikan bara tersebar bagaikan kembang api di akhir tahun, akibat kecewa atas bagaimana acuhnya sosok Sandi dalam menyikapi pelik nya dunia resto yang terus menambah penat di kepalaku.
Sandi masih dalam tampangnya yang dingin mengkhianati amarahku, karena di mataku kini ia tampak kurang menanggapi percakapan dengan serius dari caranya menyikapi kalimat ku yang sudah tantrum sedemikian rupa.
Aku melanjutkan kalimat yang kini mulai terdengar bergetar menahan emosi, berikut lelah yang tercipta oleh insecure sehingga aku tidak dapat tertidur semalaman ini.
"Gw tuh nggak mau San, kalo kita sampe mencar, gw pengen kita sama-sama terus kaya biasa. Gw gak siap buat sosialisasi sama tempat baru, orang baru dan semua yang diluar kendali gw kalo kita sampe keluar dari sini." Aku menatap mata Sandi penuh keyakinan.
Sambil menunggu jawabnya aku bilang, "Lu terlalu cuek San sama sekitar lu. Lu gak perhatiin hal-hal yang bakalan terjadi di depan lu, karena lu cuma fokus sama semua kegiatan lu di dapur!" Aku mengakhiri kalimat dengan nada yang tinggi.
Sandi seperti tertrigger oleh kata-kataku, kulihat melirik cepat dan tajam ketika aku selesai menghabiskan emosi yang pada akhirnya terluapkan, tatapan Sandi cukup dalam kepadaku, menyiratkan rasa kecewa dari apa yang aku utarakan barusan.
Lama menatapku dia mengeluarkan sebungkus rokok, dan mengarahkan sebatang rokok yang ia cabut lalu ia tempelkan ke mulutku, memaksaku untuk kembali menghisap rokok dengan tujuan memperpanjang percakapan yang mulai keruh untuk selanjutnya di bicarakan dengan kepala dingin.
Aku menyambut penawarannya tanpa berucap, hanya menggigit rokok yang ia berikan dan mulai menyalakan korek api untuk membakar rokok.
Sandi menarik nafas panjang, menikmati nikotin yang keluar dari kepulan asap tebal yang ia hembuskan perlahan ke udara. Matanya menatap awan, yang serupa dengan apa yang kami hisap saat ini, pandangan yang ia berikan kepada mentari, menyiratkan apa yang ia pikirkan, yaitu olah kata demi menjawab dengan lembut perasaanku yang tidak memikirkan perasaannya ketika berucap.
"Sebenernya rin, gw itu gak mau banyak bicara soal kantor. Terutama tentang kepemimpinan baru, bunda. Tapi, lu gak tau posisi gw seperti apa rin. Alasan tentang kenapa gw mencoba untuk nggak terjadi apa-apa." Ia berbicara dengan pelan memikirkan setiap kata yang keluar.
Aku merajuk dan membuang arah dari wajah sandi yang giat menenangkan ku barusan, enggan menatapnya karena aku yakin bahwa Sandi salah berikut dengan semua pilihannya. Sikap acuh ku membawa kehadiran kami menjadi penuh misteri, membiarkannya agar tidak kunjung terungkap. Hawa canggung yang cukup terasa, membuat Sandi pamit masuk kedalam untuk kembali memasak, di susul langsung oleh aku yang mengambil jalan memutar dan menghindari beradu pandang dengan nya.
°°°°°
Begitu jam pulang tiba, aku memilih pulang sendirian, mencoba untuk menjaga jarak dengan yang lain demi menyelamatkan perasaan satu sama lain. Aku masih dengan erat memegang teguh himne yang terlantun dari kegundahan di dalam hatiku. Berjalan menyusuri jalan yang selalu ku lalui setiap hari, meski sekarang, sendiri aku harus berjalan risau dan tidak bersama dengan yang lain.
Melangkah pasti penuh keluh menempuh jalan yang cukup jauh, aku membelah langit malam sendirian tatkala angin menerpa rambut menebarkan helai demi helai yang enggan ku ikat.
Lara aku memandangi tiap bangunan di luasnya jalan, karena aku tidak seharusnya terbebani seperti ini. Perasaanku semrawut sebagaimana tempat sampah yang aku lalui di sudut mata. Menendang gelas plastik yang terbengkalai, membentuk ritme baru dalam perjalanan yang dapat membuat jenuh menjadi lebih baik. Hingga sampai pada akhirnya, aku melihat sebuah taman kecil dengan pancuran air yang tengah beristirahat, akibat lelah tampil satu hari penuh.
Diantara lampu taman yang menyala redup, kulihat syahdu, sebuah bangku besi bernuansa classic, diam berjaga di bawah siraman cahaya, menunggu siapa saja yang mungkin ingin duduk untuk sebentar beristirahat.
Aku menyeret langkah lelah yang sudah tidak sanggup untuk melanjutkan perjalanan, menuju ke arah bangku itu, memutuskan untuk singgah dan singkat menyelaraskan kaki yang sudah di penghujung tenaga.
Sejenak kan ku ceritakan kepada malam tentang betapa lucunya hari ini, mengenai hari yang terasa panjang bila menanggung masalah yang tidak semua orang dapat mengerti. Mengenai rasa khawatir berlebihan yang tidak dianggap serius bagi khalayak di sekitarku.
Aku membisu menikmati waktu, karena kali ini diam adalah oase bagi gurun rasa yang ku tapaki. Lelah yang ku alami memancing diri untuk lebih banyak mengkonsumsi candu, yang baru saja hadir belum lama ini.
Terpaut hati yang tenggelam dalam pilu, mengharu aku bermandi cahaya lampu yang ikut serta menemani malam yang sendu.