Hal yang mengejutkan dialami oleh Nurhalina, gadis penjaga toko swalayan. Ia menjadi korban penculikan dan dijadikan tumbal untuk sebuah perjanjian dengan sebelas iblis. Namun ada satu iblis yang melanggar kesepakatan dan justru mencintai Nurhalina.
Hari demi hari berlalu dengan kasih sayang dan perhatian sang iblis, Nurhalina pun menaruh hati padanya dan membuatnya dilema. Karena iblis tidak boleh ada di dunia manusia, maka dia harus memiliki inang untuk dirasukinya.
Akankah cinta mereka bertahan selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tertawan
"Maaf, Kak. Ada ulat bulu, pasti gatal kalau sampai kena kulit." katanya sambil meraih ulat berbulu tajam yang bergerak di kain jarik bagian dadaku. "Aauuuhhhrgg," kejutnya turut mengejutkanku.
"Aaargg!"
Sepertinya dia tersengat ulat bulu itu, karena nekat mencubitnya begitu saja tanpa alat pelindung. Tampak raut wajahnya seketika merah saat mengecup ujung jarinya yang tersengat.
"Untung aja gak jatuh ke dalam, Kak," ujarnya masih sempat melempar senyum ke arahku.
Sebenarnya aku menyimpan rasa takut kepada pemuda ini, tapi setelah apa yang dia lakukan, aku sedikit yakin kalau pria ini adalah orang baik.
Semoga saja.
Pemuda itu menata kembang-kembangnya dan memberinya wewangian sebelum menyodorkannya kepadaku. Jujur, aku tak tahu apa yang harus kulakukan setelah ini. Aku cuma tahu dari film-film horror yang sering kutonton kalau mandi kembang itu selalu membuka semua pakaiannya.
Bagaimana sekarang?
Haruskah aku tarik ikatan kain jarik ini di depannya?
"Kak, bunga-bunganya udah kucampur dengan wewangian dan do'a dari si Mbah. Guyur sampai 11 kali, pakai gayung ini ya, Kak. Tapi, kak. Pesan si Mbah, kakak melakukannya harus dengan mata terpejam dan jangan sekali-sekali buka mata sampai kakak benar-benar selesai 11 guyuran." Jelas pemuda itu. "Aku tunggu di sana, jangan lama-lama ya, Kak keburu magrib."
Beruntung.
Apa yang kupikirkan ternyata tak seburuk itu. Dia meninggalkanku sendiri di sumber air ini, dari balik pohon beringin yang kami lewati tadi dia mulai menghilang. Mungkin dia sengaja menunggu di balik pohon itu agar tak melihatku mandi.
Aku mulai mengguyur kepalaku dengan bunga yang terkumpul pada gayung.
Guyuran pertama terasa dingin, mungkin karena awal kulitku menyentuh air yang keluar dari sumbernya langsung. Air itu tak seluruhnya membasahi tubuhku. Hanya sekitar bahu sampai dada.
Guyuran kedua rasanya aku mulai bisa bersahabat dengan dinginnya air yang terus mengalir di tubuhku. Wangi bunga kenanga yang dominan menusuk hidungku.
Guyuran ketiga aku terbiasa melawan dinginnya suhu di sekitar sumber air ini. Rasanya lebih sejuk dari suhu di pagi hari. Sesekali kucium beberapa bunga yang tak sengaja lengket di tubuhku.
Guyuran keempat masih sama, sengaja aku berlama-lama agar tidak kembali ke rumah si kakek tua itu. Lebih baik di luar sini dari pada di dalam kandang besi itu.
Guyuran kelima aku mulai nyaman dengan suasana ini, suara gesekan pohon bambu terdengar sangat ribut di sekitarku. Aku suka, jadi teringat saat aku diajak Papa memancing di sungai kala itu.
Guyuran keenam aku bisa merasakan sisa bunga di keranjang bambu sebelahku mulai berkurang, tapi aku yakin masih cukup untuk guyuran terakhir.
Guyuran ketujuh, aroma kenanga tak lagi dominan. Apa mungkin sudah habis, sehingga wangi itu memudar dan berganti wangi yang aku sendiri tak tahu. Cukup semerbak baunya, lebih menyengat.
Guyuran kedelapan sepertinya aku mulai sedikit menggigil, mungkin karena aku terlalu lama berendam dengan mengguyur kepalaku dengan air dingin ini.
Guyuran kesembilan suara jangkrik mulai terdengar lebih bising dari pada suara gesekan bambu. Tunggu.
Jangkrik?
Memangnya ada jangkrik bunyi sore-sore begini?
Mungkin saja hanya aku yang terlalu berhalusinasi saking kedinginannya.
Guyuran kesepuluh, ini benar-benar lain. Tak ada lagi wangi bunga ataupun suara menenangkan. Yang ada hanya aroma bangkai tercium di sekitar leherku.
Perasaan aku sudah mengguyur seluruh tubuhku dengan bunga, mana mungkin aku jadi bau seperti ini.
Tapi ya sudah lah. Tinggal satu guyuran lagi. Dan aku harus kembali ke rumah dukun itu. Menjadi tawanan.
Kenapa aku tak kabur saja?
Toh hari juga masih sore.
Pemuda itu juga nggak bakal tahu aku kabur.
Ide cemerlang pun tiba-tiba muncul di kepala. Iya kenapa aku tak melakukannya sedari tadi.
Kenapa aku begitu bodoh.
"Benaarr." Sesuatu berbisik di telingaku.
Bukan.
Itu bukan suara hatiku.
"Kamu harus pergi! Lari!" Suara itu makin keras.
Jelas aku tak berkata seperti itu di dalam hati.
Aku mendengarnya. Aku jelas bisa mendengarnya.
"Cepat, lari. Atau... Matiiiiiiiii!!"
Siapa itu?
Aku semakin yakin kalau ada seseorang yang sedang membisikiku sekarang. Karena telingaku tersentuh hembusan napas.
Hangat.
Panas.
"MATIIIIII!!!!!!" teriak seseorang yang membisikiku.
Buru-buru aku mengambil sisa kembang terakhir di keranjang dan mengisinya dengan air sumber di bawahku.
Aku masih terpejam, haruskah aku lari untuk menyelamatkan diri?
Atau aku guyurkan gayung ke 11 ini dan kembali menjadi tawanan?
Aku benar benar bingung, sementara suara-suara itu makin lantang mengancamku dan aroma busuk menyengat di sekitar tubuhku.