Gray adalah seorang anak yang telah kehilangan segalanya karena Organisasi jahat yang bernama Shadow Syndicate dia bahkan dijadikan Subjek Eksperimen yang mengerikan, namun dalam perjalanannya untuk menghentikan Organisasi tersebut, ia menemukan teman yang mengalami nasib sama sepertinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
016 - Neraka Hardcore (1)
Mereka berlari tanpa henti, melewati lorong sempit, melewati tetesan air yang terus bergema, melewati kegelapan yang terasa semakin berat. Napas mereka memburu, jantung berdebar-debar seperti genderang perang. Hanya satu hal yang mereka pikirkan: keluar. Keluar dari tempat yang terkutuk itu.
Ketika mereka akhirnya mencapai mulut lorong, aura korupsi itu tiba-tiba lenyap. Seolah-olah, sesuatu yang mengerikan itu telah menghilang begitu saja. Ketiganya berhenti, terengah-engah, dipenuhi oleh rasa syok dan kelelahan. Keheningan turun, berat dan sunyi, memecah kesunyian hanya suara napas mereka yang tersengal-sengal.
Gray, masih gemetar, berlutut di tanah. Ia menatap lorong gelap di belakang mereka, tak berani menatapnya terlalu lama.
"Apa itu...?"
Bisiknya, suaranya bergetar. Ia merasa seperti baru saja berhadapan dengan sesuatu yang berada jauh di luar batas pemahamannya.
Anya mendekat, tangannya menyentuh lengan Gray dengan lembut.
"Kita harus istirahat,"
Katanya, suaranya masih bergetar,
"Dan kita harus bicara. Kita harus tahu apa yang baru saja terjadi."
Taro mengangguk setuju. Ia menilik sekeliling, mengamati lingkungan sekitarnya dengan hati-hati.
"Kita perlu merencanakan langkah selanjutnya,"
Katanya, suaranya serius.
"Kejadian tadi... itu bukanlah hal yang bisa dianggap enteng."
"Kurasa kita semua harus keluar dari hutan ini terlebih dahulu, malam disini akan sangat berbahaya"
Ketiga pasang mata bertemu ketika Gray mengusulkan itu. Ketakutan yang masih membekas di wajah mereka masing-masing — ketakutan yang ditimbulkan oleh aura korupsi yang mengerikan di lorong bawah tanah—seolah-olah menguatkan resolusi Gray. Meskipun kelelahan masih terasa, tak satu pun dari mereka membantah usulan Gray.
"Kau benar,"
Kata Anya, suaranya sedikit gemetar meskipun ia berusaha terdengar tenang.
"Hutan ini... menyimpan banyak bahaya yang tidak kita ketahui. Lebih baik kita keluar dari sini sebelum malam tiba."
Taro mengangguk setuju, telapak tangannya menyeka keringat dingin di dahinya.
"Aku setuju. Indraku... mereka merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengintai di kegelapan."
Telinganya yang runcing berputar, menangkap berbagai suara samar hutan yang semakin merapat dengan datangnya senja.
Ren, yang biasanya diam, membuka mulutnya.
"Aku akan mengawal kalian,"
Katanya, suaranya datar, tetapi Gray bisa merasakan tekad yang kuat di balik kata-katanya. Kemampuan bertarungnya yang luar biasa memberikan mereka sedikit jaminan, meskipun bahaya yang mengintai tetap tak terduga.
"Tapi, peta holografis...?"
Tanya Gray, ragu-ragu. Mereka masih belum mengungkap semua rahasia Hutan Bayangan, masih banyak jalan rahasia yang belum mereka jelajahi. Namun, rasa takut yang semakin besar akibat pengalaman mengerikan di lorong bawah tanah, mengalahkan rasa penasarannya. Anya menggelengkan kepalanya.
"Kita bisa kembali nanti. Keamanan kita lebih penting saat ini."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka memulai perjalanan keluar dari Hutan Bayangan. Langkah mereka lebih cepat, lebih waspada. Mata mereka terus mengamati sekeliling, mencari tanda-tanda bahaya. Bayangan-bayangan pepohonan yang menari-nari di bawah cahaya sore tampak seperti makhluk-makhluk menyeramkan. Suara-suara malam mulai terdengar, menambah rasa tegang yang menyelimuti mereka. Perjalanan keluar dari hutan menjadi perlombaan melawan waktu dan melawan ketakutan yang semakin mencekam.
Udara malam terasa lebih dingin setelah mereka keluar dari Hutan Bayangan. Kelegaan yang semula memenuhi dada mereka perlahan memudar, digantikan oleh keheningan hutan yang mencekam. Bulan purnama menerangi jalan mereka, menebarkan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di antara pepohonan. Ren, menyeka keringat di dahinya. Meskipun telah keluar dari hutan, tekanan di dadanya masih terasa.
Tiba-tiba, teriakan minta tolong memecah kesunyian malam.
"Tolong! Tolong!"
Suara itu terdengar panik, bercampur dengan raungan-raungan yang mengerikan. Seorang anak pria berlari kencang ke arah mereka, wajahnya pucat pasi dan berlumuran lumpur. Napasnya tersengal-sengal.
"Tolong... teman saya... diserang!"
Katanya, terbata-bata.
"Segerombolan... monster... di dekat sungai..."
Gray, Anya, dan Taro saling bertukar pandang. Meskipun kelelahan masih terasa, rasa tanggung jawab dan sedikit keinginan untuk berpetualang kembali muncul. Ren, dengan tatapan tajamnya, menilai situasi dengan cepat.
"Di mana tepatnya?" tanya Ren, suaranya tenang namun tegas, tangannya sudah berada di dekat pedangnya.
Pria itu menunjuk ke arah timur, ke arah sungai yang mengalir deras di sisi hutan. "Di sana... dekat air terjun kecil..." Ia merintih kesakitan, memegangi luka di lengannya yang berdarah.
Gray merasakan getaran kekuatan gelap di dalam dirinya, sebuah dorongan untuk bertindak. Meskipun dia masih ragu, melihat penderitaan pria itu dan mengingat pengalamannya di Abyss, ia tahu ia tak bisa berdiam diri.
"Kita harus membantunya,"
Kata Gray, suaranya meskipun masih terdengar agak rapuh, namun dipenuhi tekad. Batu Inti Gaia di sakunya terasa hangat.
Anya, meskipun sedikit ketakutan, mengangguk setuju.
"Ya, kita harus melakukannya. Kita tidak bisa meninggalkan orang yang membutuhkan bantuan."
Taro, dengan kepekaannya yang tinggi, merasakan kehadiran sesuatu yang jahat di dekat sungai. Namun, ia tidak ragu. Ia tahu bahwa mereka, meskipun masih anak-anak, telah melalui banyak hal yang sulit. Mereka sudah menjadi tim.
"Baiklah,"
Kata Taro.
"Mari kita pergi. Ren, kau di depan."
Dengan Ren memimpin, kelimanya berlari menuju lokasi yang ditunjuk, suara raungan-raungan monster semakin jelas terdengar di kejauhan, menambah rasa tegang dalam langkah mereka. Malam itu, perjalanan mereka untuk keluar dari Hutan Bayangan belum berakhir. Petualangan baru telah dimulai.
Bau amis dan busuk memenuhi udara ketika mereka sampai di dekat air terjun kecil. Pemandangan yang tersaji membuat napas mereka tercekat. Bukan hanya beberapa monster, melainkan gerombolan besar, setidaknya tiga puluh makhluk menjijikkan dan mengerikan, mengepung Jazul. Beberapa di antaranya terlihat sangat kuat, tubuh mereka besar dan berotot dengan taring-taring tajam dan mata yang menyala merah menyala. Tubuh Jazul penuh luka, darah segar mengucur dari beberapa goresan dalam. Ia melawan dengan gigih, pedang kecilnya bergerak cepat dan lincah, namun ia jelas kewalahan. Monster-monster itu menyerang secara bergelombang, beberapa mengalihkan perhatian Jazul sementara yang lain menyerangnya dari belakang. Jeritan Jazul terdengar di sela-sela raungan monster.
"JAZUL.....!!!"
Kata Gray dan Anya Bersamaan
Ren, dengan sigap, mengeluarkan pedang tulang panjangnya.
"Anya, obati pria yang terluka itu dan tetap dibelakang. Taro, kau dan aku akan menangani monster-monster di sisi kiri. Gray, kau fokus pada monster-monster yang lebih kecil, kita perlu cepat,"
Perintah Ren, suaranya terdengar tenang namun tegas, sebuah kontras yang mencolok dengan kekacauan di sekitar mereka. Tangannya sudah siap menyerang, matanya mengamati pergerakan monster-monster tersebut dengan cermat.
Gray, ia merasa kekuatan gelap di dalam dirinya bergemuruh, siap meletus. Namun, ia juga melihat keputusasaan di mata Jazul, teman yang sudah lama ia kenal. Keputusan harus diambil dengan cepat. Keheningan singkat hanya dipenuhi raungan monster dan jeritan Jazul sebelum pertempuran sengit dimulai.