Mentari dijodohkan oleh ayahnya dengan pria lumpuh. ia terpaksa menerimanya karena ekonomi keluarga dan bakti dia kepada orangtuanya.
apa yang terjadi setelah mentari menikah?
apa akan tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya?
apakah mentari bahagia? atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ristha Aristha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ejekan Dari Keluarga Part 2
"Lumpuh?" ulang Gendis dengan suara agak lantang. dengan diikuti suara tawa saudara Ayah yang lain. karena yang sering gencar menghinaku adalah mereka. Mereka kelihatan sangat bahagia dengan kabar ini.
Aku yang saat itu di tinggal menikah oleh Reza. Sekarang akan menikah dengan pria lumpuh. Tentu hal itu akan membuat mereka semakin bahagia.
Pak Revan dan Bu Dita saling pandang, ketika putranya jadi bahan tertawaan saudara ayahku. Nampaknya mereka berdua sengaja berbohong di hadapan keluarga besar ku. Andai saja Bulek Denok tahu, kalau calon mertua ku adalah pemilik dari pabrik garmen. Mungkin mereka tidak akan berani berujar seperti itu.
Apalagi, orang tuanya Reza memiliki usaha catering yang bekerja sama dengan pabrik untuk makan siang gratis bagi karyawan di pabrik garmen itu. Dan aku juga tahu, mereka sering membeli berbagai cemilan di tempat aku bekerja, untuk mereka di bagi-bagikan tiap hari Jum,at berkah.
Aku bertemu Bu Dita beberapa kali saat dia beli membeli beberapa cemilan di tempatku bekerja. Bu Dita juga tahu kalo Aku anak dari salah satu karyawan di pabriknya.
Namun masyarakat sini hanya tahu bahwa yang mengelola pabrik garmen adalah pak Beni. Karena keluarga pak Revan seakan tak pernah menampakkan dirinya sebagai pemilik pabrik sebenarnya.
"Huss... Memang itu adalah jodoh yang cocok untuk, Mentari" ujar bulek Dewi dengan senyum mengejek.
"Tari, apa kamu gak salah pilih calon suami? Atau kamu sudah putus asa, takut jadi perawan tua?" cecar Bulek Narti.
"Narti, apa yang kamu katakan!" tegur ayah kepada adik pertamanya dengan menahan emosi.
"Aku, hanya ingin menanyakan kepastian pada Mentari, apakah benar dia mau menikah dengan pria lumpuh? Atau dia memang sudah putus asa karena tidak ada pria lain yang melamarnya. secara kan Mentari itukan bekerja hanya di minimarket dengan gaji pas-pasan, dan juga berasal dari keluarga kurang mampu. Jadi membuat Mentari menurunkan kriteria calon suaminya". Ucap Bulek Narti mengeluarkan kata-kata pedas yang tidak bisa di filter itu.
"Cukup, Narti, sudah Cukup!" Ayah memperingatkan lagi.
"Kalian jangan berprasangka buruk dulu, meskipun putra kami lumpuh, tapi kita punya usaha. Insyaallah putra saya bisa memberikan nafkah yang latah untuk Mentari, jika mereka sudah menikah nanti!" ujar Bu Dita.
Aku menoleh ke arah ibu yang tampaknya kesal dengan ucapan adik-adiknya ayah. Mungkin ibu ingin membalasnya saat itu juga. Namun, tidak pantas saja jika di perlihatkan di depan calon besannya.
"Ohhh... Selain jadi pembantu dan sopir, usaha apa yang kalian punya?" tanya kembali Bulek Narti.
Aku yang mendengarkan perkataannya, membuat aku menjadi tambah emosi. Rasanya ingin ku robek mulutnya saat ini juga. Sebab yang dilamar itu aku. Tapi kenapa mereka yang sibuk mengintrogasi.
"Nanti kalian, akan tahu sendiri!" jawab Bu Dita.
"usaha apa? Kenapa sok rahasia segala sih!" cibir Bulek Narti kepada bulek Denok dengan bibir miring ke kanan dan miring kekiri.
"Maaf ya, Pak Revan, Bu Dita. Jika Perbincangan ini membuat Anda tidak nyaman. Maaf jika ada perkataan yang membuat anda tersinggung. Atas nama keluarga saya meminta maaf". Kata Ayah yang jelas terlihat menahan malu dengan sikap saudaranya.
"Tidak apa-apa pak Bagas, malah saya bersyukur bahwa lamaran kami diterima. Nanti kami yang akan mengurus semua persiapan pernikahan, kalian tinggal terima bersih. Sekarang kita tentukan hari dan tanggal untuk pernikahan anak-anak kita". Ujar Bu Dita.
"Kita pulang saja, Wi! Lagian juga gak penting!" Bulek Narti bangkit dari duduknya.
"iyaa mbak, Aku juga capek. Biar mbak Lastri saja nanti yang membereskan setelah acaranya selesai". Jawab Bulek Dewi.
Baguslah mereka pergi. Aku juga bisa beres-beres sendiri dengan ibu, di bandingkan ada mereka yang cuma bisa merendahkan dan menghinaku saja nantinya.
Semua saudara Ayahku sudah pergi, termasuk Gendis yang tampak menghina dan meremehkan aku yang tampak dilihat dari tatapannya itu.
...****************...
Tanggal pernikahanku sudah di tetapkan. Kini aku rebahan di kamar, karena lelah setelah beres-beres bersama ibu tadi.
Saudara ayahku memborong semua cemilan yang ada di rumah. Ya Begitulah, jika menghina itu nomor 1, tapi kalo kalau urusan makanan jangan di tanya lagi. mereka pasti akan memborong nya pulang.
Dirga sekarang sedang apa, ya? Kenapa dia tadi tidak ikut? Aku jadi penasaran seperti apa ya dia? Karena aku tahu dia cuma lewat foto sja. Aku kira tadi aku bisa bertemu dengannya, namun sayang dia tidak ikut.
Ponselku tergeletak di nakas berbunyi terus. Entah siapa yang mengirim pesan secara beruntun.
Aku raih ponsel tersebut dan kulihat, ternyata pesan grub keluarga dari ayahku yang cukup ramai.
Ya, kami mempunyai grup keluarga. Aku tidak pernah ikut nimbrung pembicaraan mereka, aku hanya jadi pembaca saja. Biasanya grup ramai kalo ada gosip atau ada yang pamer. Sebenarnya aku dulu pernah keluar dari grup, namun bulek Denok memaksaku untuk bergabung lagi.
Biasanya yang sering pamer itu Gendis. Karena semenjak dia menikah dengan Reza, ada saja yang dia pamerkan di grup. Baik itu pamer kemesraan atau pamer harta.
Semenjak Gendis menikah dengan Reza, kehidupannya berubah layaknya orang kaya. Padahal jika dilihat keluarga Bulek Narti bukanlah orang kaya. Kehidupannya sederhana seperti kami. Namun, gayanya Bulek Narti yang selangit, membuat ia tak mau terlihat susah.
Ayahku dulu sering membantu saudaranya. Saat bujang dulu ia yang membiayai sekolah adik-adiknya. Bahkan bagian warisannya di pinjam Bulek Narti untuk biaya kuliahnya Gendis, yang membutuhkan banyak biaya. Bulek Narti janji akan menggantinya beberapa bulan lagi. Namun sayang hingga saat ini tidak di ganti juga.
Mereka tak akan ingat jika punya hutang. Yang terpenting adalah mereka terlihat kaya, karena menuruti gengsi yang besar.
[Calon suaminya mentari, beneran lumpuh?]
pesan dari Mila yang tempat tinggalnya berbeda daerah denganku. Aku mengernyitkan dahi. Sudah pasti berita ini di sebarkan oleh Gendis dan adik-adiknya Ayah. Pasti mereka sengaja menghinaku kembali di grup chatting keluarga besar.
[Iya, lumpuh. Ibunya pembantu dan bapaknya sopir]. Balas Gendis.
Aku terus menggulir layar ke bawah untuk membacanya.
[wah, jauh banget dengan Mas Reza dong! Wkwkwk..] balas Mila kembali.
[iya, tapikan Reza itu memang pantas dengan Mentari. Kalau Reza yang seorang abdi negara memang sepantasnya menikah dengan Gendis yang seorang perawat . Reza itu pintar pilih istri. Jika dia salah pilih seperti Mentari, pasti nanti akan membuat keluarganya malu saja.] Bulek Narti ikut membalasnya.
Tulisannya lebih terasa sakit, saat aku baca.
[ya jelas dong, Gendis kan kebanggaan keluarga kita. Pastilah akan di pilih bukan pria sembarangan. Karenakan Gendis cantik, pinter, perawata lagi, pastilah langsung di pilih oleh pria berseragam]. Balas yang lainnya.
Saat ini memang Gendis masih di atas awan. Dengan berbagai pujian dan sanjungan, yang terus di bandingkan dengan aku.
Tunggu saja nanti, jika kalian sudah tahu siapa suamiku. Apakah kalian masih sanggup menghina dan menertawakan kami.
Aku keluar dari aplikasi hijau itu. Dan meletakkan kembali ponselku di meja rias.
...****************...
aku mampir yah, kayanya ceritanya menarik.
sukses selalu