Celia adalah seorang ibu tunggal yang menjalani kehidupan sederhana di kota Bandung. Setiap hari, dia bekerja keras di toko perkakas milik ayahnya dan bekerja di bengkel milik seorang kenalan. Celia dikenal sebagai wanita tangguh, tapi ada sisi dirinya yang jarang diketahui orang, sebuah rahasia yang telah dia sembunyikan selama bertahun-tahun.
Suatu hari, teman dekatnya membawa kabar menarik bahwa seorang bintang basket terkenal akan datang ke kota mereka untuk diberi kehormatan oleh walikota dan menjalani terapi pemulihan setelah mengalami cedera kaki. Kehebohan mulai menyelimuti, tapi bagi Celia, kabar itu adalah awal dari kekhawatirannya. Sosok bintang basket tersebut, Ethan Aditya Pratama, bukan hanya seorang selebriti bagi Celia—dia adalah bagian dari masa lalu yang telah berusaha dia hindari.
Kedatangan Ethan mengancam untuk membuka rahasia yang selama ini Celia sembunyikan, rahasia yang dapat mengubah hidupnya dan hidup putra kecilnya yang telah dia besarkan seorang diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KASIH SAYANG
Celia terdiam, memperhatikan Rion yang memegang cone dengan kedua tangan dan menjilat es krimnya dengan semangat, dimulai dari bagian bawahnya.
"Kenapa dia datang?" tanya Celia, kembali melihat ke arah Siska.
"Dia cedera di pertandingan minggu lalu. Dokter bilang dia butuh waktu istirahat untuk penyembuhan, jadi tentu saja para reporter mengatakan dia akan pulang ke sini. Katanya dia rindu dengan kota lamanya." Siska memutar matanya. "Siapa sangka, padahal dia menganggap kota ini kuno."
"Itu omong kosong," kata Celia sambil memandang ke luar jendela. Detak jantungnya yang tiba-tiba lebih cepat membuatnya jengkel, seolah ada harapan kecil yang bangkit. Sembilan tahun lalu, dia berdoa agar dia kembali, agar dia sadar dan memilih menghabiskan hidup bersamanya. Bahwa masa depannya melibatkan dirinya. Tapi Celia telah banyak berubah sejak saat itu—atau setidaknya, dia pikir begitu.
Sekarang, dia hanya ingin dibiarkan sendiri. Dia tidak berkencan, tidak berusaha mencari pasangan. Baginya, satu-satunya laki-laki yang perlu dia bahagiakan adalah putranya. Jadi, mengapa tiba-tiba ada percikan kegembiraan di hatinya membayangkan bertemu dengannya lagi setelah sekian lama?
"Aku juga berpikir begitu. Kupikir semua itu hanya omong kosong belaka, tapi lalu aku mendengar Eric sedang telponan dengan Kevin, yang mengatakan kalau dia akan mengunjungi orang tuanya dan rindu tempat ini. Jujur saja, aku tidak mengerti, mengingat dulu dia seperti tidak sabar untuk pergi dari sini," kata Siska sambil mengambil cone es krim lainnya.
"Kamu mau pesan apa siang ini?" lanjutnya.
"Apa kamu punya sesuatu yang bisa membuatku tidak terlihat?" Celia bertanya dengan malu. Rion memiliki mata abu-abu gelap khas Ethan, dia juga memiliki rambut cokelat yang sama dengan Ethan. Anak laki-lakinya, sekeras apa pun Celia mencoba untuk tidak memikirkan Ethan, tetap terlihat dan berjalan seperti Ethan Pratama. Celia menggigit bibirnya sambil melihat ke bawah ke arah Rion yang sudah empat kali menjilat es krimnya. Dia harus tenang, tidak ada yang akan mengetahuinya. Lagipula, apa mungkin dalam sembilan tahun ini Ethan bahkan masih mengingat namanya?
"Tenang saja, ini bukan masalah besar. Dia hampir tidak tahu ataupun memiliki niat khusus untuk mencarimu," kata Siska dengan santai sambil menyendok es krim vanila. "Kamu akan baik-baik saja. Kamu lihat saja nanti, rasanya seperti dia bahkan tidak pernah ada di sini."
Celia mengangguk, seolah setuju dengan Siska. "Kamu benar. Maksudku, dia pasti punya banyak hal untuk diurus. Dia mungkin bahkan tidak ingat aku... atau malam itu."
"Malam apa, Mommy?"
Celia menoleh ke Rion. "Bukan apa-apa, Sayang. Habiskan es krimmu, ya." Dia kembali memandang Siska. "Aku harus pergi ke Minimarket. Aku akan menelponmu nanti malam."
"Baiklah. Rion, jangan merepotkan Mommy, ya. Kamu dengar?"
"Ya, Bu Siska," jawab Rion sambil tersenyum, lalu mengikuti ibunya keluar dari toko.
Celia menjilat es krimnya sementara angin sepoi-sepoi lembut menyentuh kulitnya. Sambil menggenggam tangan Rion, dia mulai menyeberang jalan.
"Besok mau makan roti isi selai kacang dan jelly untuk makan siang?" tanyanya pada putranya.
"Iya, Mommy. Aliya kemarin makan itu, tapi mamanya memotong bagian cokelatnya," jawab Rion sambil menjilat es krimnya lagi.
"Tidak semua mama punya waktu untuk itu," kata Celia sambil mendorong pintu kaca dan membiarkan Rion masuk lebih dulu. Celia sendiri sudah cukup kewalahan mengurus toko milik ayahnya, pekerjaannya di bengkel, dan keluarganya. Dia menarik napas dalam-dalam—dan sekarang, semua urusan tentang Ethan ini menambah bebannya.
"Celia, kamu terlihat cantik," sapa Budi dengan senyum lebar sambil bersandar di konter. Budi adalah pria tua, teman ayahnya, dan pemilik minimarket ini selama dua puluh tiga tahun terakhir. Ayahnya sering bercerita bahwa Budi adalah salah satu alasan utama dia membuka toko perangkat keras di jalan ini. Tidak ada yang bisa mengalahkan suasana ramah kota Bandung.
"Terima kasih, Pak Budi. Aku selalu bisa mengandalkanmu jika menyangkut pujian," jawab Celia sambil tersenyum kecil saat berjalan melewati konter depan menuju bagian belakang. "Aku sudah punya engsel pintu yang kamu pesan minggu lalu. Kalau kamu mampir ke toko nanti, aku pastikan barangnya siap."
"Kamu memang gadis yang baik, Nak," balas pria tua itu.
"Bagaimana kehidupanmu yang lajang akhir-akhir ini?" tanyanya sambil membalik halaman majalahnya. "Oh, dan tahu tidak, anak-anak Hera dan Toni akhirnya mengaku kalau mereka benar-benar pacaran."
"Itu sudah menjadi gosip di jalanan beberapa hari belakangan, Pak Budi. Kamu mulai ketinggalan zaman," kata Celia sambil tertawa. Budi memang suka gosip selebriti, dia membaca semua tabloid dan majalah yang ada di tokonya.
"benarkah, aku ketinggalan berita. Sekarang katanya benar-benar serius, bahkan ada rumor hamil segala," serunya sambil membalik halaman majalahnya lagi. "Kamu dengar soal pemain basket yang mau datang ke kota ini? Namanya Ethan, kalau tidak salah."
Celia memutar mata sambil membawa keranjang belanjaannya ke depan toko. "Aku dulu satu sekolah dengannya saat SMA," jawab Celia. "Dia menyebalkan," gumamnya pelan.
"Apa itu menyebalkan, Mom?" tanya Rion polos.
"Lupakan, dan jangan ulangi apa yang tadi Mommy katakan," katanya sambil mengambil selai jelly dari rak dalam perjalanannya ke depan.
"Katanya dia mengalami robekan tendon, mungkin tidak bisa main basket lagi untuk sementara waktu—atau bahkan selamanya," kata Budi, menarik keranjang lebih dekat saat Celia meletakkannya di konter.
"Dia benci kota ini, katanya terlalu kecil untuk semua mimpi besar yang dia punya," jawab Celia sambil merogoh dompetnya untuk mengeluarkan uang, sementara Budi mulai memindai barang-barang belanjaannya.
"Yah, aku juga ingat dulu ayahmu pernah mampir ke sini dan bercerita tentang seorang gadis kecil yang tidak ingin apa pun selain meninggalkan kota kecil yang sepi ini," kata Budi sambil tersenyum kecil.
"Waktu itu aku masih anak-anak," jawab Celia sambil memandangi Rion yang masih asyik menjilat es krimnya. Dia sendiri juga menjilat es krimnya. "Aku pikir aku ditakdirkan untuk melakukan sesuatu yang besar."
"Kamu memang ditakdirkan untuk melakukan sesuatu," kata Budi sambil tersenyum.
"Sesuatu yang lebih dari sekadar menjalankan toko perangkat keras dan bekerja di bengkel mobil Rudi. Aku hanya berpikir, pada titik ini, aku seharusnya melakukan sesuatu yang lebih besar dengan hidupku."
"Tapi kamu sudah melakukannya. Putramu tidak akan tumbuh sehat seperti sekarang jika bukan karena kamu yang merawatnya dengan penuh kasih sayang," katanya sambil melirik Rion, yang terlalu sibuk dengan es krimnya untuk peduli. "Kamu ditakdirkan untuk hal hebat, memastikan putramu mendapatkan segala yang dia butuhkan."
Celia menghela napas. "Terima kasih, Pak Budi." Dia memandang Budi, melihat kebaikan dalam matanya, dan tersenyum. "Kamu memang pandai memuji."
"Begitulah apa kata orang," jawab Budi sambil terkekeh.
Celia meletakkan tangannya di bahu Rion. "Kami harus pergi. Shift kerjaku akan dimulai satu jam lagi," katanya sambil menarik Rion lebih dekat. "Nanti aku akan mampir ke toko saat istirahat dan memasang engsel itu sendiri," katanya sambil melirik Budi.
"Baiklah, aku akan menunggumu," jawab Budi dengan anggukan.