Sebuah Seni Dalam Meracik Rasa
Diajeng Batari Indira, teman-teman satu aliran lebih suka memanggilnya Indi, gadis Sunda yang lebih suka jadi bartender di club malam daripada duduk anteng di rumah nungguin jodoh datang. Bartender cantik dan seksi yang gak pernah pusing mikirin laki-laki, secara tak sengaja bertemu kedua kali dengan Raden Mas Galuh Suroyo dalam keadaan mabuk. Pertemuan ketiga, Raden Mas Galuh yang ternyata keturunan bangsawan tersebut mengajaknya menikah untuk menghindari perjodohan yang akan dilakukan keluarga untuknya.
Kenapa harus Ajeng? Karena Galuh yakin dia tidak akan jatuh cinta dengan gadis slengean yang katanya sama sekali bukan tipenya itu. Ajeng menerima tawaran itu karena di rasa cukup menguntungkan sebab dia juga sedang menghindari perjodohan yang dilakukan oleh ayahnya di kampung. Sederet peraturan ala keraton di dalam rumah megah keluarga Galuh tak ayal membuat Ajeng pusing tujuh keliling. Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyai Gendeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan Rencana
Aneh. Ajeng sekarang jadi suka melamun. Dan lamunannya membosankan, seputar wajah Galuh yang menyebalkan dan itu selalu berulang-ulang dalam benaknya.
Gak mungkin dia jadi suka beneran sama lelaki seperti Galuh yang jelas saja bukan tipenya. Namun, entah mengapa, sekarang Galuh mengambil porsi yang banyak di dalam otaknya. Seperti virus, menebar ke setiap sel di dalam tubuhnya.
"Ngapain lo?" Vira duduk di sebelah Ajeng di depan kosan mereka. Ia menyalakan sebatang rokok. Ajeng melihatnya jengah. Vira sepertinya betulan patah hati. Dia jadi suka merokok untuk melupakan kegalauannya karena ditinggal koko.
Pantas pabrik rokok tidak pernah bangkrut, lah wong selalu dipilih untuk menemani dalam segala situasi dan kondisi. Begitu pikir Ajeng.
"Gak ngapa-ngapain. Emang lo liat gue lagi apa?" Ajeng balik tanya. Ia menatap sebal Vira yang menghembuskan asap sembarangan.
"Ngelamun, kayak emak-emak pinggir gang yang lagi mikirin kredit panci," jawab Vira sekenanya.
"Daripada elo, galau gak selesai-selesai."
"Gimana gue gak galau, Ndi, pabrik uang gue udah dicuri orang. Terus gue tuh beneran kayaknya udah punya rasa sama koko, walaupun burung dia gak segede mantan gue dulu di Madura."
"Sialan lo, segala burung elo bawa!" Ajeng mendengus kesal. Dia mana ngerti hal begituan. Dia gak pernah lihat burung mantan karena memang pacaran dulunya cuma anter sampai depan gang. Kalaupun pernah tak sengaja lihat burung lelaki, dia cuma pernah melihat punya Galuh lagi tegang sewaktu mengantar lelaki itu pulang dulu, itu pun di balik celananya karena ada yang menonjol tapi jelas itu bukan bakat.
"Cari aja koko yang lain."
"Nemuin yang royal kayak dia itu susah, Ndi. Dimana gue bisa dapet yang kayak koko?" Vira mulai frustasi.
"Coba lo cari di tanah abang, kali aja dapet, kalo beruntung diskon seratus ribu dapet tiga," timpal Ajeng sekenanya juga.
Vira menutup wajah sahabatnya itu dengan telapak tangannya. Ia menilik Ajeng dari atas sampai bawah.
"Kenapa sih?" Ajeng jadi risih.
"Lo sama cowok ganteng itu beneran pacaran gak sih?" tanya Vira dengan pandangan menyelidik.
"Ya ... Enggaklah. Nih ya gue kasih tahu, dia itu pernah mabok, gue yang anterin pulang. Makanya dia sering nemuin gue sekarang. Bukan karena ada apa-apanya kok." Ajeng berkilah sambil meraih pewarna kuku lalu mengoleskannya di kuku jemarinya yang lentik.
"Kok elo ngegas sih? Ini tanda-tanda orang lagi jatuh cinta tapi gak mau mengakui. Ngaku deh elo, pasti lo itu sebenarnya udah suka kan sama dia?"
Ajeng menatap sebal Vira yang semenjak ditinggalkan koko jadi kepo luar biasa. Dia ngerti kalau Vira lagi frustasi, tapi jangan sampai mengusik hal-hal pribadinya juga dong. Kan Ajeng jadi gak enak ketahuan kalau dia memang sekarang sering memikirkan Galuh secara tak sengaja.
"Terserah elo deh, mendingan lo cari gadun baru biar gak stress kayak gini. Atau lo balik lagi sama mantan lo yang burungnya gede itu!"
Vira menatap sebal Ajeng yang sudah cengengesan karena berhasil membuatnya kesal itu lalu dengan tampang yang masih sebal, Vira membuka kaus yang ia kenakan dan memasukkannya ke kepala Ajeng. Alhasil kuteks Ajeng jadi berantakan karena buta sesaat dibuat Vira yang sudah melenggang bak model catwalk hanya dengan beha kupu-kupu andalannya.
"Viraaaaaaa!!!" Ajeng membuka paksa kaus sempit itu dari kepalanya lalu bergegas mengejar Vira yang sudah lari tunggang langgang menghindarinya.
Ajeng mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Vira sekarang sedang berada di dalam kamar mandi. Ia sendiri berbaring dengan tubuh telentang.
"Muka gue cemong begini jadinya!" Ajeng meraih cairan penghapus pewarna kuku di dalam box make up. Saat tengah asyik membersihkan wajahnya yang penuh dengan warna merah, ia mendengar pintu kosnya diketuk.
"Siapa lagi yang bertamu panas terik kayak gini?" Ajeng berdecak sebal, niatnya setelah membersihkan mukanya yang cemong itu adalah tidur cantik karena nanti malam dia akan kembali beratraksi dengan berbagai jenis minuman beralkohol. Sungguh, mabok juga butuh tenaga!
Masih dengan wajah yang penuh noda kuteks, Ajeng melangkah menuju pintu. Ia segera membukanya. Senyumnya lenyap takkala melihat siapa yang sekarang sedang berdiri di depan pintu.
Ajeng mengambil langkah kaki seribu, sebelum Vira keluar dari kamar mandi dan melihat siapa yang datang menemuinya. Dengan wajah masih cemong noda kuteks, ia menyeret lelaki itu kesana kemari.
"Ngapain sih lo ke sini?!" Ajeng mendengus kesal setelah mereka berada jauh dari kos. Ajeng sendiri tak peduli jika sekarang dia hanya memakai celana super pendek dan kaus crop top yang menunjukkan pusarnya yang bertindik.
"Gue butuh elo buat ketemu sama nyokap bokap gue sekarang juga."
"Wah elo udah gila, lo liat gue sekarang gimana?!" tanya Ajeng menunjukkan dirinya sendiri.
"Lo ... Seksi sih." Galuh tampak mengangguk-angguk sambil terus memperhatikan benda berkilauan di pusar Ajeng.
"Bukan itu! Lihat gue yang gak siap kayak gini. Lihat muka gue yang kayak ondel-ondel kagak jadi. Lihat ..."
"Ajeng, stop! Rencana kita berubah. Gue butuh lo sekarang! Laras udah gila, dia minta nyokap bokapnya buat ngomongin pernikahan gue sama dia sore ini juga!"
Seperti kebakaran jenggot, Galuh menjelaskan itu kepada Ajeng yang tampak melongo. Jelas rencana mereka jadi berubah haluan. Harusnya, Ajeng dulu yang membawa Galuh menemui kedua orangtuanya. Rencana awal kan begitu. Tetapi semuanya berubah begitu tiba-tiba.
"Lo udah gila apa?! Masa gue ketemu nyokap lo kayak gini bentukannya?!" Ajeng jadi panik dan frustasi, dia mondar-mandir, bolak-balik di depan Galuh yang semakin pusing juga melihatnya.
"Lo sekarang ikut gue ke apartemen. Gue udah siapin baju yang bagus buat lo."
Tanpa menunggu persetujuan Ajeng, Galuh menarik tangan gadis itu hingga mereka tiba di mobil. Ajeng tak sempat menolak karena Galuh sudah mendorongnya masuk ke dalam mobil dengan cepat.
Ajeng bersidekap, membuat dadanya yang sudah menonjol semakin menonjol bulat. Galuh menelan salivanya melihat itu secara tak sengaja, ingin rasanya dia menelan benda itu sekarang juga!
Ajeng tampak cemberut sepanjang jalan. Mau tak mau dia harus menuruti Galuh. Mereka sampai di apartemen sekitar dua puluh menit kemudian. Ajeng lagi-lagi harus berada di dalam apartemen itu bersama Galuh, berdua saja seperti saat pertama awal mereka berjumpa dulu.
"Ikut gue." Galuh membawa Ajeng ke kamarnya. Benar saja, di sana dia melihat sebuah dress cantik polos berwarna hitam berbahan dasar halus.
"Muka gue gimana?!" Ajeng panik lagi.
Galuh segera meraih apa saja di dalam kamar mandinya. Lalu ia mendudukkan Ajeng di pangkuannya. Ajeng terkesiap, mencoba berontak tapi Galuh menahan. Ajeng diam saat Galuh mulai fokus membersihkan wajahnya perlahan. Hangat nafas lelaki itu menerpa wajahnya. Ajeng bisa merasakan jantungnya berderap kencang sekali.
Lalu keduanya saling bertatapan, tapi Galuh segera tersadar dan melepaskan Ajeng yang sudah nyaman. Ajeng turun dengan sedikit tak rela dari pangkuan lelaki itu.
"Udah bersih, sekarang lo pake bajunya," kata Galuh yang juga jadi tak enak hati karena sudah memangku Ajeng barusan.
"Ehmmmm ... Gue pengen mandi dulu," sahut Ajeng yang tiba-tiba jadi kikuk.
"Ya udah, gue tunggu di depan."
Ajeng mengangguk. Dia masih linglung saat masuk ke dalam kamar mandi. Ajeng melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuh seksinya. Aneh, semua urat di tubuhnya menegang saat ia berada di pangkuan Galuh barusan. Ia juga bisa merasakan sesuatu yang mengeras dan perlahan bangun dari Galuh saat tadi mereka saling berdekatan.
Ajeng segera mengguyur tubuhnya dengan pancaran air shower. Ia juga tidak tahu, jawaban-jawaban apa yang akan diberikan kepada keluarga Galuh kelak. Ajeng keluar dari kamar mandi dengan handuk Galuh melilit di tubuhnya.
Ia segera mengeringkan tubuhnya lalu memakai kembali bra dan perangkat dalaman lainnya. Dress yang Galuh beri untuknya hari ini sangat pas di tubuhnya yang seksi menggoda.
"Cocok kan?"
Ajeng tersentak kaget saat ia melihat Galuh sudah bersandar di pinggir pintu, memperhatikan Ajeng yang nampak cantik. Rambutnya masih sedikit basah, jadi ia mengeringkannya dengan handuk hingga setengah lembab.
"Gue mesti ngomong apa sama nyokap bokap lo entar?" tanya Ajeng sambil menyisir rambut panjangnya yang bergelombang.
"Lo cukup iyain aja semua yang gue bilang nanti."
"Lo kira gampang?!" sungut Ajeng.
"Gampang, pokoknya lo ikut cara main gue." Galuh menjawab dengan percaya diri.
Ajeng menarik nafas panjang lalu akhirnya mengangguk. Ia melangkah gontai ke arah Galuh yang sudah berjalan duluan. Mereka keluar dari apartemen, bersiap menuju rumah keluarga besar Galuh.
Ternyata, apa yang dikatakan Galuh benar adanya. Laras memang serius membawa ibu dan ayahnya untuk membicarakan keseriusan perjodohan mereka. Ajeng jadi gugup setengah mati.
Rumah keluarga besar Galuh mewah tetapi sangat kental dengan adat jawa. Jati berukir menjadi pemandangan sedap di matanya. Suasana rumah luas nan asri itu begitu sejuk dengan banyak pohon yang tumbuh.
Beberapa pelayan berpakaian seragam batik menyapa sekaligus heran melihat Galuh membawa Ajeng. Ajeng jadi semakin berdebar. Galuh segera menggenggam jemari Ajeng.
"Gue gugup." Ajeng berkata jujur.
"Lo kira gue enggak?" tanya Galuh sambil terus menggandeng Ajeng.
"Gue takut nyokap lo ngamuk."
"Lo kira emak gue banteng?" tanya Galuh lagi.
"Gimana dong, gue jadi kebelet pipis beneran." Ajeng mengeluh.
"Tahan kerannya sampe selesai menghadap kanjeng ibu."
"Lo pikir gue mau klimaks ditahan-tahan begitu?!" Ajeng mencubit Galuh geram.
"Ntar lo bakal klimaks beneran sama gue. Udah jangan bawel. Lo harus berhasil jadi cewek gue di depan keluarga besar gue dan keluarga besar Laras."
"Gue jadi mules sekarang." Ajeng terus mengeluh. Galuh meraih pinggang gadis itu lalu merangkulnya.
"Lo berisik! Pokoknya ikut semua rencana gue!"
Ajeng tak bisa lagi membantah karena bukan tak mungkin, Galuh akan mencium tiba-tiba dirinya yang selalu membantah sedari tadi.
Mereka sampai di ruang utama dengan semua mata yang terpanah. Galuh mencium pipi Ajeng di depan semua orang. Ajeng gelagapan, apalagi saat melihat kanjeng romo menyemburkan teh yang baru saja ia sesap dan kanjeng ibu yang menjatuhkan tusuk konde nya yang sempat lepas.
"Sore semua, aku mau kenalin pacar sekaligus calon istri aku."
Semuanya ternganga, mereka belum bisa berbicara sedikit pun. Ajeng dan Galuh mendekat.
"Calon istri aku juga lagi hamil."
Kanjeng ibu dan kanjeng romo berpandangan tanpa berkedip, kedua orangtua Laras menatap putri mereka yang sudah sesak nafas di tempatnya duduk. Ajeng mendelik menatap Galuh yang cuma bisa nyengir. Percayalah, setelah ini akan ada banyak orang yang kena serangan jantung mendadak! Termasuk ayunda Sekarwangi yang baru datang dari dapur dengan membawa mangga matang. Mangga itu menggelinding tepat menuju Galuh yang segera menangkapnya.
"Sayang, kemarin kamu ngidam ini kan?"
Ajeng bingung mau jawab apa, dia hanya bisa tersenyum kikuk lalu menunjuk kanjeng ibu yang sudah pingsan di tempatnya.