Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka
Malik melipat sajadah dengan hati-hati, menepikannya ke sisi rak kecil sebelum mengembalikan Al-Qur'an ke tempat semula. Udara malam yang dingin menyelimuti ruang kecil itu, menyatu dengan sisa air wudhu yang masih melekat di wajahnya. Sensasi dingin itu menggigit lembut, menenangkan sekaligus menusuk ke dalam pikirannya
Malik melangkah keluar dari ruang mushola. Langkahnya terhenti di ambang dapur. Cahaya redup dari lampu dapur menyinari samar-samar sosok Yudha yang duduk bersandar di sudut ruangan. Asap tipis mengepul dari tangannya yang menggenggam sebatang rokok. Aroma tembakau perlahan memenuhi udara.
Yudha yang melihatnya mendelik, sebelum menyodorkan rokok yang masih tersisa di bungkusannya saat Malik mendekat. “Rokok?”
“Gw ga merokok.”
Pemuda itu manggut-manggut, menarik kembali rokok yang tadi dia tawari. Malik tidak merokok, Yudha sudah menduganya, tapi tidak ada yang salah dengan menawarkan ‘kan?
“Sejak kapan Lo ngerokok?” tanya Malik. Dia hanya ingin tau, tidak lebih. Tapi melihat seringai tipis yang terlihat di sudut bibirnya membuat Malik menyadari sesuatu, bahwa pemuda itu salah mencomot pembicaraan.
"Apa itu penting?" balas Yudha dengan nada retoris.
"Cuma tanya. Lo nggak harus jawab kalau nggak mau."
Yudha terdiam sejenak, pandangannya tertunduk menatap lantai seakan mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. Setelah beberapa detik, dia mengangkat wajahnya dan menatap Malik dengan mata yang penuh kepahitan.
“Sejak gue tahu siapa pembunuh ibu gue,” ucapnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh udara yang tiba-tiba terasa begitu sunyi.
Malik tak langsung merespons. Kata-kata Yudha menggantung di udara, berat dan penuh luka.
“Dan konyolnya,” lanjut Yudha dengan senyum getir yang nyaris seperti ejekan pada dirinya sendiri, “dia udah mati sebelum gue sempat seret ke penjara.”
Kata-katanya mengandung kemarahan yang terpendam, frustrasi yang sudah terlalu lama ia simpan. Tapi di balik itu, ada kelelahan, sebuah beban yang tidak pernah benar-benar hilang meski waktu terus berjalan.
Pernyataan Yudha sukses membuat gerakan Malik terhenti. Air yang tadi hendak dia minum mengganggu di udara, sorot matanya berubah serius. Yudha tersenyum kecut, matanya menatap Malik yang terkejut.
“Kaget?” Yudha mengangkat alisnya, seringai kecil bermain di bibirnya. "Lo pikir kenapa kami berakhir di sini?"
Malik memilih bersandar countertop, menatap wajah Yudha dalam. Dia merenungkan kehidupannya dan kehidupan mereka yang bertolak belakang.
“Kami sama-sama kehilangan orang tua,” Yudha akhirnya berbicara lagi, nadanya datar namun sarat dengan emosi terpendam. “Tapi, dengan cara yang berbeda.”
“Apa Lo tau ibu Naima seorang PSK?” Yudha melanjutkan, seringai di wajahnya menghilang digantikan oleh raut dingin. “Dia hadir tanpa ayah yang jelas di mata hukum. Bukan cuma itu, anak di luar nikah dia dipandang sebelah mata sama masyarakat.”
Malik menarik napas dalam. Pemuda itu sudah mencari tahu tentang naiam, kehidupannya di panti, siapa saja temannya. Semua prosesnya sudah dia lakukan. Bagian ini juga sudah didiskusikan dengan orang tuanya, walaupun di awal ibu dan kakanya menolak tapi akhirnya luluh dengan bujukan Malik.
“Aneh, ya?” Yudha meneruskan, suaranya melembut namun penuh kepahitan. “Orang tua yang bikin kesalahan, tapi anaknya yang harus nanggung beban. Naima... dia bahkan berkali-kali gagal diadopsi.”
“Lo pikir itu salah dia?” tanyanya pelan. Malik akui tidak ada yang salah dari kata-kata Yudha, hanya saja dia ingin sedikit mengujinya. Namun perkataan selanjutnya membuat dada Malik, berhenti berdetak sesaat.
“Bukan,” jawab Yudha cepat, suaranya penuh dengan penekanan. “Tapi coba bilang itu ke semua orang yang menatapnya seolah dia cuma bayangan dari dosa orang tuanya. Gimana rasanya hidup kayak gitu, Lo tau?”
“Kalo boleh jujur, mungkin gue mendambakan kehidupan lo, Malik. Naima juga,” ujar Yudha, suaranya pelan tapi serat serat makna, seolah Yudha menyuarakan keinginannya untuk keluar dari gulita.
Dengan itu, Yudha berjalan keluar dari dapur, meninggalkan Malik sendirian dengan pikirannya.
***
Seperti yang Malik janjikan, mereka semua pergi ke festival. Lokasinya tidak jauh dari panti asuhan, hanya perlu satu kali perjalanan singkat dengan mobil. Perjalanan dipenuhi gelak tawa anak-anak panti, canda ringan, dan suara musik dari radio yang mengiringi perjalanan mereka.
Saat mereka tiba, suasana festival langsung menyambut dengan riuh rendah yang hangat. Lampu-lampu hias menggantung di sepanjang jalan masuk, berkilauan seperti bintang yang turun ke bumi. Gerbang festival dihiasi ornamen warna-warni, dengan tulisan besar yang menyatakan tema acara malam itu. Udara dipenuhi aroma manis gula kapas bercampur dengan bau gurih sate yang dibakar.
Anak-anak segera berlarian dengan penuh semangat, mata mereka berbinar melihat permainan dan atraksi yang tersedia. Ada wahana bianglala yang berputar perlahan, dengan lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip di tiap kursinya. Karusel berwarna cerah berputar dengan iringan musik ceria, membawa tawa anak-anak yang naik di atasnya. Malik berjalan di belakang mereka, memastikan semuanya baik-baik saja sambil sesekali tersenyum melihat kegembiraan mereka.
Naima memilih berdiri agak jauh, mengamati keramaian. Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya mencerminkan rasa takjub. Yudha berdiri di dekatnya, menyandarkan tubuhnya di tiang kayu yang dihiasi lampu-lampu kecil. “Gak tertarik ikut main?” tanyanya sambil menyulut sebatang rokok, yang segera dipadamkan setelah menerima tatapan tajam dari Naima.
“Aku suka ngeliatin dari sini,” jawab Naima santai. Matanya terus mengikuti gerak-gerik anak-anak panti yang kini sibuk mencoba memecahkan balon di sebuah stand permainan.
Di tengah festival, panggung utama menjadi pusat perhatian. Penari tradisional sedang menampilkan tarian energik yang memukau, mengenakan kostum gemerlap yang memantulkan cahaya lampu panggung. Suara gamelan mengalun, membawa suasana yang khas dan menenangkan. Tepuk tangan bergemuruh ketika mereka menyelesaikan tarian, sementara pembawa acara mengundang para pengunjung untuk ikut bergabung dalam lomba-lomba kecil.
Malik mendekati Naima dan Yudha dengan dua bungkus kecil popcorn di tangannya. “Kalian kelihatan seperti sepasang orang tua yang lagi ngawasin anak-anak mereka,” ucapnya sambil tertawa kecil, membuat Naima langsung mendelik. “Ini buat kalian, makan aja.”
Dari kejauhan, sepasang muda-mudi melambaikan tangan dengan semangat. Naima yang sedang mengunyah popcorn mengangkat alis, merasa nama dirinya dipanggil. Tiga orang yang ada di lokasi itu—Malik, Yudha, dan Naima—serentak menoleh ke arah sumber suara.
Bimo dan Susi berjalan mendekat, senyum lebar menghiasi wajah keduanya. Susi tampak anggun dengan gaun kasual bermotif bunga, sementara Bimo dengan gaya santainya mengenakan jaket denim yang sudah akrab di mata mereka.
“Hei, Aim, lama ya nggak ketemu. Sekalinya ketemu, langsung gandeng dua cowok,” ledek Bimo dengan senyum jahil yang khas.
Naima yang sedang menyesap minuman langsung tersedak. Wajahnya memerah, campuran antara malu dan risih. Dia buru-buru menepuk dadanya, berusaha menghilangkan rasa tercekik.
“Hati-hati dong, Aim,” ujar Susi santai, meski ada sedikit senyum di sudut bibirnya. Dia diam-diam menikmati sisi lain Naima yang tidak biasanya terlihat—kikuk dan gugup.
“Uh, panas-panas,” komentar Bimo sambil berpura-pura mengipasi wajah Malik, memancing reaksi dari pemuda itu.
Tatapan tajam langsung dilemparkan Malik ke arah Bimo, seperti ancaman diam-diam. “Lo cari mati, Bim?” Malik berkata pelan, tapi nada suaranya jelas menusuk.
Bimo malah tertawa, tidak gentar sedikit pun. “Santai, Bos. Gue cuma bercanda. Lagian, nggak salah juga kan ngingetin si Naima biar nggak mainin dua hati sekaligus?”
Naima mendengus, berusaha mengumpulkan keberanian untuk membalas. “Bilang aja lo iri. Jomblo sih, bisa apa?” ucapnya, melempar ledekan yang membuat suasana sejenak sunyi. Ketiga pemuda itu terdiam, saling melirik, sebelum akhirnya Bimo yang pertama kali memecah keheningan.
“Kalo laki-laki disebut playboy, kalo perempuan mungkin playgirl, ya?” celetuk Bimo sambil menyeringai lebar, jelas-jelas memancing reaksi.
“Haha, lucu lo,” ucap Naima sambil tersenyum tipis. Namun, dia segera beranjak, bergabung dengan anak-anak panti yang sedang bermain di area permainan. Tawanya bergabung dengan keriuhan tawa anak-anak, menciptakan suasana yang hangat di tengah hiruk-pikuk festival.
Bimo dan Susi masih berdiri di tempat, sedikit kikuk setelah lelucon tadi. Yudha, yang sejak tadi memperhatikan, menghela napas panjang. Tatapannya tajam mengarah ke Susi dan Bimo. “Apa kalian datang cuma buat ngusik Naima?” tanyanya, suaranya rendah, tapi cukup tegas untuk membuat keduanya salah tingkah.
Susi membuka mulut untuk membalas, tapi sebelum dia sempat berbicara, Yudha sudah mengalihkan pandangannya pada Malik, yang berdiri di sebelahnya. “Malik, urus temen lo,” ujarnya singkat, nadanya dingin tapi jelas mengisyaratkan ketidaksenangannya.
Tanpa menunggu jawaban, Yudha beranjak pergi, meninggalkan ketiganya dalam keheningan yang canggung. Langkahnya cepat, mengarah ke area yang lebih sepi, menjauh dari keramaian dan percakapan yang mulai terasa melelahkan baginya.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak