NovelToon NovelToon
Ark Of Destiny

Ark Of Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Mengubah Takdir / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:990
Nilai: 5
Nama Author: Antromorphis

"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."


Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.


"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"

More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Teka-teki

Dengan tangan gemetar, Hamzah membuka surat itu perlahan, seolah-olah setiap detik yang berlalu adalah sebuah keajaiban. Dalam kegelisahan yang mengelilinginya, Hamzah mendapatkan cahaya harapan bersinar dari secarik kertas yang dipegangnya. Tulisan Ririn tampak begitu rapi, setiap hurufnya seakan menari di atas kertas, membangkitkan semangat untuk membaca dengan penuh perhatian.

“Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum Mas Hamzah. Teruntuk Kamu, kekasih terhebatku.”

Kata-kata itu mengalir lembut ke telinga, membangkitkan rasa hangat di dalam hati. Hamzah melanjutkan membaca, memahami setiap kalimat yang ditulis dengan penuh cinta.

“Dinginnya malam ini tidak membuatku surut untuk menuliskan sepucuk surat ini padamu. Entah apa yang harus aku tuangkan dalam secarik kertas ini; meskipun ada goresan tinta yang indah, namun indahnya tidak bisa mengalahkan indahnya rasaku ini di hadapanmu…”

Jantung Hamzah berdegup sangat kencang saat ia membaca tentang kebahagiaan Ririn mendengar kabar baik tentang beasiswa yang didapatnya.

“Selamat ya mas, adik bangga sama mas... Sekali lagi selamat atas beasiswanya mas”

Setiap kata terasa seperti alunan musik yang menyentuh relung hatinya. Namun, saat ia melanjutkan membaca, permintaan Ririn untuk bertemu sebelum keberangkatannya, perasaan campur aduk membuat dirinya gagal.

“Langsung saja mas. Dalam surat ini, adik ingin bilang sama Mas Hamzah. Besok sebelum Mas Hamzah berangkat ke luar negeri, temui adik dulu ya mas di tempat biasanya. Adik ingin mengatakan sesuatu sebelum Mas Hamzah pergi. Terimakasih ya mas.”

Hamzah melipat kembali surat tersebut dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam tasnya. Namun, muncul pertanyaan di benak: “Kenapa Ririn tidak langsung menelponku? Kenapa hanya lewat sebuah surat?” Ia sendiri tersenyum, “Aih, mungkin dia menginginkan sesuatu yang lebih romantis.” Dengan semangat baru dan rasa cinta yang membara, Hamzah bertekad untuk menemui Ririn sebelum berangkat. “Aku pasti akan menemuimu sebelum aku berangkat,” gumamnya pelan, merasakan betapa berartinya momen itu bagi mereka berdua.

***

Terdengar suara lembut dari ruang depan, memecah keheningan pagi yang masih tersisa.

“Hamzah, sarapan dulu nak!” teriak Bapak, suaranya mengalun penuh kasih.

Hamzah tersentak dari lamunan, menjawab cepat, “Iya pak, Hamzah segera kesitu.”

Dengan langkah ringan, ia melangkah dari tempat duduknya, jantungnya berdebar penuh semangat. Di ruang depan, Bapak, Ibu, dan Aan—adik tercinta—sudah menanti dengan senyum ceria. Di atas meja kayu yang sederhana, terhampar satu bakul nasi hangat, sayur kangkung yang baru matang, dan sambal yang menggugah selera. Begitu melihat hidangan itu, Hamzah tak bisa menahan diri; ia berlari kecil menuju ruang makan. Tanpa perlu diperintah, ia langsung duduk di kursi bambunya yang sudah familiar dengan tubuhnya.

“Barang-barang sudah siap semuanya?” tanya Bapak dengan nada penuh perhatian.

“Alhamdulillah sudah selesai pak,” jawab Hamzah sambil tersenyum.

Dengan cekatan, Hamzah mengambil piring di depannya. Ia menyendok tiga entong nasi dan sayur kangkungnya, ditambah sepotong tempe yang diiringi sambal pedas. Tak lama kemudian, suapan pertama menutup mulutnya.

“Masakan Ibu memang yang terbaik,” pujinya setelah menelan dengan lahap.

Ibu tertawa mendengar pujian itu, “Iya dong, kan Ibu yang memasak. Coba kalau Bapak yang masak, pasti gosong semua tuh tempe!”

Gelak tawa mengisi ruang makan pagi itu, menciptakan suasana hangat di tengah kebahagiaan mereka. Namun tiba-tiba, raut wajah Ibu berubah sendu.

“Ibu kenapa?” tanya Hamzah khawatir melihat ibunya tiba-tiba bersedih. Bapak dan Aan pun ikut menatap Ibu dengan penuh perhatian. Suasana ceria seketika menghilang menjadi hening.

“Tidak apa-apa le,” jawab Ibu pelan, “Ibu hanya teringat kalau nanti kamu akan pergi.”

Mendengar hal itu, Bapak langsung menegaskan, “Justru Ibu harus bangga sama Hamzah; dia bisa dapat beasiswa ke luar negeri itu suatu hal yang dijanjikan.”

Hamzah menambahkan dengan tulus, “Iya bu, benar kata Bapak. Hamzah berjanji akan baik-baik saja dan selalu kirim kabar ke rumah.”

Ibu terdiam sejenak; meskipun hatinya berat melepaskan anak pertama pergi jauh, ia tahu ini adalah langkah besar bagi Hamzah. “Janji ya le,” pinta Ibu lembut meski matanya masih berkaca-kaca.

“Iya bu insyaallah Hamzah akan sering kasih kabar ke rumah,” jawab Hamzah berjanji.

Tiba-tiba Aan yang sedari tadi hanya mendengarkan kini bersuara dengan candaannya yang khas.

“Kasihan nasinya di cuekin,” sambil tersenyum nakal.

Hamzah tak mau kalah meladeni canda tersebut. “Mana ada di cuekin! Lihat si Bapak, piringnya sudah bersih!”

Mereka tertawa terbahak-bahak melihat piring kosong di hadapan Bapak. Tawa itu membawa kembali keceriaan pagi mereka dan membuat sedikit demi sedikit kesedihan Ibu sirna dalam tawa hangat keluarga yang penuh cinta ini.

***

Mentari pagi mulai menyinari rumah Hamzah yang semula tertutup oleh pepohonan.

“Alhamdulillah,” ucap Hamzah dengan penuh rasa syukur setelah menghabiskan sarapannya yang sederhana namun nikmat.

Aroma sayur kangkung dan tempe goreng yang masih tercium di udara membuatnya terasa bersemangat. Namun, saat ia melangkah menuju dapur untuk mencuci piring, ingatan akan janjinya kepada Ririn tiba-tiba menyeruak.

"Astaghfirullah, aku lupa!" gumamnya, terkejut dengan kesadaran yang datang secara tiba-tiba. Dengan cepat, ia menyelesaikan pekerjaannya dan menariknya segera menuju pintu depan.

Di luar, ayahnya yang sedang menikmati secangkir teh panas melihat anaknya yang terburu-buru dan bertanya, “Mau kemana, Le?” Suara lembut namun penuh perhatian itu membuat Hamzah terdiam sejenak.

“Ini pak, mau bertemu dengan Ririn sebentar,” jawabnya sambil melangkah cepat.

“Yasudah kalau begitu, tapi jangan lama-lama. Tadi, setelah sholat subuh, Pak Kyai Rozi bilang sama bapak kalau kamu disuruh ke rumahnya sebelum berangkat nanti.”

“Iya pak,” jawab Hamzah singkat, tanpa bisa menahan rasa cemas yang menggelayuti hatinya.

Begitu melangkah keluar rumah, Hamzah merasakan kesegaran pagi di desa Sawah Lor. Suasana desa yang asri dan ramai membuatnya tersenyum; warga terlihat sibuk dengan aktivitas mereka—menanam padi di sawah, memandikan kerbau di sungai, dan beberapa orang berpakaian rapi bersiap untuk berangkat kerja. Namun, langkah Hamzah terhenti sejenak saat matanya melirik pada empat ekor sapi yang sedang dimandikan. Kenangan akan mimpinya semalam kembali menghantui pikiran.

“Empat ekor sapi,” gumamnya pelan.

Tak lama kemudian, ia melanjutkan langkahnya dengan semangat. Di tengah perjalanan, suara ramah Pak Qadir menyapa pendengaran.

“Nak Hamzah mau kemana?” tanyanya sambil melangkah menuju sawah.

“Ini pak, Hamzah mau ke gazebo pinggir sungai,” jawab Hamzah dengan cepat.

“Mau ketemu Ririn ya?” sahut Pak Qadir sambil tersenyum menggoda.

“Hehehe iya ini pak,” jawab Hamzah sambil tertawa kecil.

Hamzah melanjutkan perjalanan melewati jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Dari kejauhan, suara gemericik air sungai semakin mendekatkan dirinya pada tempat pertemuan yang dinantikan. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat hingga membentur bebatuan kecil di sepanjang perjalanan; namun semangatnya tak pudar sedikit pun. Dalam sekejap mata, ia tiba di gazebo bambu yang sudah mulai lapuk—tempat mereka sering bertemu sejak kecil. Di sana, ia melihat sosok Ririn yang mengenakan pakaian anggun berwarna putih bersih, seolah menyatu dengan keindahan pagi itu.

“Ririn…,” teriak Hamzah dari belakang, suaranya penuh harapan dan rasa rindu yang mendalam.

***

1
eterfall studio
keburu telatt
eterfall studio
menarik
Perla_Rose384
Aku tahu pasti thor punya banyak ide kreatif lagi!
Antromorphis: Hehehe, stay tune yha kk, masih banyak misteri di depan sana yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
yongobongo11:11
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
Antromorphis: Hehehe, terimakasih banyak kk, nantikan Bab selanjutnya yha, masih banyak misteri yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
Heulwen
Ngerti banget, bro!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!