Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦲꦼꦤꦩ꧀ꦩꦶꦱ
Setelah segala urusan di Amsterdam selesai dengan penuh kehati-hatian dan perhitungan, William menyerahkan sisa tugas administratif dan kewenangan dagang kepada pamannya, seorang tokoh militer dan politik yang disegani, Jenderal Jhock. Langkah ini bukan sekadar tindakan praktis, melainkan strategi yang dirancang untuk memastikan stabilitas dan kesinambungan kekuasaan keluarga dalam dunia perdagangan dan kolonialisme yang tengah berkembang di bawah naungan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC).
Setelah menyerahkan urusan tersebut, William mempersiapkan perjalanannya menuju Mataram, salah satu pusat kekuasaan terbesar di Pulau Jawa. Pada masa itu, Kesultanan Mataram tengah memainkan peran penting dalam politik, ekonomi, dan budaya kawasan. Keputusan William untuk berlayar ke Mataram tidak hanya bermotif dagang, tetapi juga politis. Ia berharap dapat memperkuat hubungan dengan penguasa lokal, Sultan Agung, yang memimpin kerajaan tersebut dengan pengaruh yang luas.
Perjalanan ini bukan tanpa risiko. Samudra Hindia dan Laut Jawa dikenal dengan badai serta ancaman bajak laut yang sering mengintai kapal-kapal dagang. Namun, William, dengan tekadnya yang kuat, memimpin armada dagang VOC menuju Nusantara. Kapal-kapal besar berbendera Belanda itu membawa muatan rempah-rempah, tekstil, dan senjata, komoditas yang menjadi alat diplomasi sekaligus instrumen kekuasaan kolonial.
Mela hanya bisa mengangguk, merasa ada kebenaran dalam kata-kata Nyai Ciliwa. Pasar yang semula ramai kini terasa lebih sunyi, seolah-olah semua orang mendengar percakapan mereka dan merasakan beban kecemasan yang sama.
Di kejauhan, pelabuhan Mataram terlihat masih sibuk dengan aktivitas prajurit VOC yang terus mengangkut barang dari kapal besar. Obrolan orang-orang tentang kedatangan William semakin ramai terdengar, menciptakan suasana yang penuh dengan teka-teki.
Mela menatap ke arah pelabuhan sekali lagi, merasa ada sesuatu yang besar tengah bergulir di negeri ini, sesuatu yang akan mengubah nasib banyak orang, termasuk dirinya. "Apa yang harus kita lakukan, Nyai?" tanyanya akhirnya, dengan suara bergetar.
Nyai Ciliwa menghela napas panjang. "Kita bersiap, Nak. Kita tak boleh hanya menjadi penonton di tanah kita sendiri."
Setelah berhari-hari berlayar di bawah terik matahari dan hempasan angin laut, kapal besar milik William akhirnya memasuki perairan Mataram. Kapal itu megah, lebih besar daripada kapal-kapal dagang yang biasa terlihat di wilayah ini. Tiang-tiangnya menjulang tinggi, layar-layar putihnya berkibar megah, dan lambung kayunya yang kokoh membawa lambang kekuasaan VOC. Kapal itu bersandar di dermaga utama, menarik perhatian penduduk pribumi yang sedang beraktivitas di sekitar pelabuhan.
Orang-orang pribumi menghentikan aktivitas mereka. Beberapa pedagang yang tengah sibuk menata barang dagangan, nelayan yang memintal jaring, hingga anak-anak yang bermain di tepian laut, semua menoleh takjub ke arah kapal.
"Besar sekali kapalnya," bisik seorang pria tua yang mengenakan kain lurik, tangannya gemetar saat menunjuk ke arah kapal.
"Belum pernah kulihat kapal seperti itu," sahut seorang pemuda dengan nada penuh kekaguman.
Di tengah kerumunan itu, seorang perempuan muda bernama Mela berdiri terpaku. Ia memegang baki berisi jamu dagangannya, lupa sejenak dengan pekerjaannya. Matanya terpaku pada pemandangan ratusan awak kapal yang mulai menuruni tangga kapal dengan sigap, membawa barang-barang besar dan kecil. Beberapa terlihat mengenakan seragam militer khas VOC dengan senjata yang tergantung di pinggang.
Ketika William akhirnya turun dari kapal, sorot matanya menyapu pelabuhan yang ramai. Ia mengenakan mantel panjang khas perwira tinggi VOC, lengkap dengan topi tricorne. Posturnya tegap, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri seorang pemimpin yang tahu persis apa yang diinginkannya.
"Jadi di sini tempatnya, ya?" ujarnya sambil menoleh ke salah seorang perwira yang berdiri di sampingnya.
"Benar sekali, Tuan William. Ini Mataram, pusat dari Jawa," jawab perwira itu sambil membungkukkan badan dengan penuh hormat.
Di tempat lain, di sebuah camp militer tersembunyi, para prajurit VOC yang telah lebih dulu ditempatkan di Mataram bersorak gembira mendengar kabar kedatangan William. Suasana camp yang semula tenang berubah menjadi penuh gejolak. Mereka tahu bahwa kedatangan William menandakan dimulainya babak baru dalam misi mereka.
"Ayo, ikut dengan kami," ujar salah seorang bawahan William yang segera mendekatinya di dermaga. William mengangguk dan mengikuti mereka menuju camp militer yang terletak tak jauh dari pusat kota.
Dalam perjalanan menuju camp, suasana menjadi semakin intens. Pasukan pribumi Mataram yang berjaga di sekitar pelabuhan memandang mereka dengan penuh curiga, sementara penduduk lokal memilih untuk menjauh, menghindari rombongan bersenjata itu. William tetap berjalan dengan langkah pasti, tak tergoyahkan oleh tatapan-tatapan itu.
Ketika tiba di camp, suasana berubah menjadi lebih formal. Para perwira dan prajurit VOC berdiri rapi menyambut William. Mereka memberikan penghormatan, sementara William memeriksa keadaan sekitar dengan cermat.
"Ini adalah awal dari sesuatu yang besar," pikir William dalam hati. Ia tahu bahwa misinya di Mataram bukan hanya tentang perdagangan, tetapi juga tentang dominasi politik dan militer di wilayah strategis ini.
***
"Mela, aku dengar jenderal besar mereka sudah tiba, ya?" suara Nyai Ciliwa terdengar berat namun penuh penasaran. Ia membawa bakul kecil berisi rempah-rempah yang baru saja dibelinya.
Mela menoleh, wajahnya tampak sedikit tegang. "Benar, Nyai. Kapal mereka sangat besar, dan prajuritnya begitu banyak," jawabnya pelan. Ia berhenti sejenak, seolah-olah mencari kata-kata untuk menggambarkan apa yang dilihatnya tadi pagi. "Aku belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya, Nyai. Mereka terlihat seperti siap untuk perang."
Nyai Ciliwa mengangguk perlahan, matanya menyipit, mencoba mencerna kabar itu. "Hati-hati, Nak. Orang-orang seperti mereka tak pernah datang tanpa maksud besar. Jika mereka membawa sebanyak itu prajurit, pasti ada yang mereka inginkan dari tanah kita," katanya dengan nada khawatir.
Mela menggigit bibirnya, mencoba menahan kecemasan yang mulai merayap di hatinya. "Mereka terlihat berbeda, Nyai. Kapten mereka, aku dengar namanya William, tampak seperti pemimpin yang sangat percaya diri. Orang-orang di pelabuhan berbicara tentang betapa megahnya penampilannya."
Nyai Ciliwa menatap Mela dengan tajam, lalu mendekatkan wajahnya. "Dengar, Nak. Orang seperti itu tak hanya datang untuk berdagang. Mereka ingin lebih. Tanah kita, hasil bumi kita, bahkan mungkin kuasa di negeri ini. Kita harus waspada."
Akhirnya, Mela membuka suara, suaranya terdengar pelan tapi sarat dengan kecemasan. "Nek, bakalan ada perang, ya?" tanyanya sambil menatap wajah Nyai Ciliwa.
Nyai Ciliwa, yang sedang mengikat bakulnya, menghentikan gerakannya. Ia melirik Mela dengan tatapan yang sulit diartikan ada kelelahan, kekhawatiran, dan mungkin, sedikit rasa takut. Tapi ia tidak menjawab, tidak mengatakan iya atau tidak. Ia hanya menarik napas dalam, lalu kembali sibuk dengan bakulnya.
Mela merasa dadanya semakin berat. Diam Nyai Ciliwa lebih membuatnya gelisah daripada jawaban apapun. Ia mencoba lagi, kali ini dengan suara lebih mendesak. "Nek, kalau mereka datang dengan begitu banyak prajurit, apa itu artinya mereka akan merebut Mataram?"
Nyai Ciliwa akhirnya mendongak, memandang Mela dengan tatapan penuh arti. "Mereka yang datang dari laut, Nak, selalu membawa dua hal: dagang dan kuasa. Jika mereka tak puas dengan dagang, kuasa itulah yang mereka ambil. Perang? Mungkin itu hanya soal waktu."