Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Demi orang yang dia cintai perjalanan yang hampir memakan waktu satu jam bukan apa-apa bagi Luna. Jemari tangan yang meremas kuat setir mobil dan kaki yang menginjak pedal gas tanpa henti akhirnya tiba di depan gerbang besar rumah keluarga William.
Ia menatap mansion megah itu, merasa sedikit gugup. "Apa aku akan di perbolehkan bertemu dengannya?" batin Luna.
Belum saja menekan bel di sisi gerbang. Tak lama, seorang penjaga keluar.
"Selamat siang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria itu dengan sopan.
"Saya Luna... Wicaksono. Saya ingin bertemu dengan Renzo," jawab Luna sedikit ragu.
Penjaga itu terlihat bingung sesaat, lalu meminta Luna menunggu. Kemudian gerbang terbuka perlahan, memberi jalan bagi mobil Luna untuk masuk.
Tak lama kemudian, pintu utama rumah terbuka. Johan keluar menyambutnya dengan senyum sopan.
"Tuan Renzo sedang istirahat, Nona. Apa saya perlu memberitahunya Anda datang?"
Luna mengangguk pelan. "Tolong... Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."
Johan mengangguk, kemudian masuk ke dalam. Luna berdiri di beranda rumah megah itu, tangannya meremas tali tasnya berharap Renzo akan menerima kedatangannya.
.
Johan kembali keluar bersama Maharani. Wanita anggun itu tersenyum hangat pada Luna, meskipun ada bayangan lelah di wajahnya.
"Terima kasih sudah datang, Luna," ucap Maharani lembut. "Renzo lagi istirahat. Dia memang belum begitu sehat, tapi kalau kamu ingin melihatnya, aku akan izinkan."
Luna tertegun. "Ta... tapi aku tidak mengganggu kan, Tante?"
Maharani menggeleng. "Kamu datang dengan niat baik. Dia pasti senang tahu kamu peduli dengannya."
Maharani memimpin langkah Luna masuk ke dalam rumah. Interior rumah itu megah namun terasa dingin, mencerminkan kepribadian pemiliknya. Ketika mereka mendekati tangga menuju lantai dua, langkah Luna terhenti sesaat.
Dari arah lorong, Adrian muncul dengan langkah pelan. Mata tajamnya mengamati Luna dengan saksama.
"Selamat siang, Om Adrian," sapa Luna dengan sopan.
Adrian hanya tersenyum tipis, nyaris seperti tidak terlihat. Tapi perhatian Luna tertuju pada sesuatu yang mencuri pandangannya—sebuah luka kecil di sisi leher Adrian yang terlihat seperti goresan.
Luna hampir ingin bertanya, tetapi Adrian lebih dulu berbalik, melangkah menjauh tanpa berkata sepatah kata pun.
"Ayo kita masuk ke kamar Renzo," kata Maharani, seolah mengalihkan perhatian Luna.
.
Sesampainya di depan pintu kamar Renzo, Maharani membuka pintu perlahan. "Dia masih tidur, kamu coba masuk saja dulu."
Luna mengangguk dan melangkah masuk. Kamar itu luas dan rapi, tetapi terasa dingin, seperti pemiliknya. Renzo terbaring di tempat tidur besar dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya yang biasanya penuh wibawa tampak lebih lembut dalam tidurnya.
Luna berdiri di dekat ranjang, memperhatikan napasnya yang teratur. Ada rasa lega melihat Renzo terlihat lebih baik.
Namun, saat Luna berbalik hendak meninggalkan kamar, tangan kekar Renzo tiba-tiba menarik pergelangan tangannya hingga membuat Luna jatuh ke dekapannya.
"Awww.... " teriak Luna terkejut.
"Ahh, ternyata ini obatnya." ucap Renzo memeluk Luna erat, suaranya terdengar parau namun sangat menggoda.
Dari balik pintu yang masih terbuka sedikit, Maharani ternyata melihat kejadian tersebut dan hanya tersenyum lalu turun ke lantai bawah.
"Nanti Tante Maharani lihat, lepasin." Luna menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Tapi Renzo tidak melepaskan, justru dia memiringkan tubuhnya yang membuat wajah mereka berhadapan tanpa jarak. Jari Renzo menyentuh wajah cantik Luna perlahan, mulai dari keningnya turun ke hidung dan bibir.
Luna terbawa suasana, begitu juga dengan Renzo. Mereka pun berci-uman dengan sangat liar, perasaan menggebu diantara keduanya terlihat jelas.
Tapi semakin lama Renzo semakin tidak terkendali, semakin liar dan Luna merasakan bibirnya sakit.
"Ren, stop... ini sakit... " lirih Luna, tapi Renzo tidak menanggapi sama sekali dia masih menciumi bibir Luna.
"Ren..!!"
Luna berusaha menghindar tapi tubuhnya terkunci oleh Renzo, sampai pada akhirnya beberapa saat kemudian Renzo melepas dirinya dan seketika duduk terdiam.
Luna mengusap bibirnya yang berdarah, lalu Renzo menatapnya penuh rasa bersalah. Ini pertama kalinya Luna melihat ekspresi lain dari Renzo, matanya berkaca-kaca menatap Luna.
"It's okay, kamu bisa cerita ke aku pelan-pelan dan saat kamu siap saja. Aku akan menunggu." ucap Luna sembari mengusap-usap lengan Renzo.
"Luna, maaf," suaranya hampir tak terdengar.
Luna tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Mungkin aku harus mempertimbangkan memakai pelindung bibir kalau ketemu kamu lagi.”
"Kayaknya aku sudah lapar, turun yuk," ajak Luna mencoba melupakan kejadian tadi.
Renzo mengangguk.
.
Renzo menggunakan piyama serba hitam dan Luna masih menggunakan pakaian kantor, mereka berjalan melewati lorong-lorong dan harus menuruni banyaknya anak tangga melingkar yang akan membawa mereka ke meja makan.
"Kekuranganku bisa menyakitimu, tapi kamu denial akan hal itu dan terus maju hanya untuk menjadi pasanganku,"
Luna mengangkat wajahnya, menatap Renzo dengan sorot mata tegas. “Karena aku percaya setiap orang punya kekurangan. Aku juga punya kekurangan yang nantinya kamu akan tahu, tapi aku berharap kamu juga tidak meninggalkanku.”
Saat mereka tiba di ruang makan, Maharani sudah menunggu di sana dengan senyuman. Meja makan sudah penuh dengan berbagai hidangan lezat, dari sup labu yang hangat hingga ayam panggang beraroma rempah.
“Ayo duduk, makan siang sudah siap.”
“Terima kasih, Tante,” jawab Luna sopan. Dia melirik Renzo yang duduk di sebelahnya. Wajah pria itu masih terlihat tegang, meski dia mencoba menutupinya.
Saat mereka mulai makan, Maharani berbicara dengan nada penuh perhatian. “Luna, bagaimana pekerjaanmu? Apa tidak terlalu sibuk?”
“Tidak terlalu, Tante,” jawab Luna sambil tersenyum. “Tapi kadang kalau ada proyek baru, ya lumayan menyita waktu.”
Renzo mencuri pandang ke arah Luna, tapi tidak banyak berbicara. Dia lebih banyak diam, menyibukkan diri dengan makanannya. Maharani sepertinya menyadari suasana aneh itu, tetapi tidak mengomentarinya.
Setelah beberapa saat, Maharani menambahkan, “Aku senang Renzo bisa dekat sama kamu, Luna. Dia jarang sekali membuka diri pada orang lain.”
Renzo melirik ke arah Maharani dengan ekspresi datar.
Luna tertawa kecil. “Tante, Renzo itu nggak seburuk yang orang kira, kok. Kadang, dia bahkan bisa sangat manis.”
Ucapan Luna membuat Maharani tertawa, sementara Renzo berusaha menutupi senyuman yang hampir keluar dari bibirnya.
.
"Aku tunggu kamu di halaman belakang," ucap Renzo saat menyelesaikan makanannya.
Luna dan Maharani saling menatap, dan Maharani memberikan sinyal untuk mengikuti anaknya saja ke halaman belakang, tempat favoritnya.
Luna berjalan ke arah halaman belakang dan melihat Renzo sedang menyalakan rokoknya. Sama sekali dia tidak pernah terlihat berantakan walau sedang memakai piyama.
"Kamu mau tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku?" ucap Renzo.
Luna mengangguk dan terus berjalan mendekat ke samping Renzo.
"Aku akan menceritakannya, saat kamu tahu nanti kamu sudah tidak bisa keluar dari hidupku, Luna. Sudah terlambat yang kamu bisa hanya terus berada di sisiku,"