Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Meyra melangkah pelan keluar dari ruangan Alvin, meninggalkan suaminya dalam diam. Namun sebelum benar-benar keluar, ia menatap Alvin dan berkata, "Tolong pertimbangkan kata-kataku tadi." Alvin hanya bisa menatap punggung Meyra yang berlalu begitu saja.
Begitu pintu tertutup, Alvin mengalihkan pandangannya pada Rina yang masih berdiri canggung di sudut ruangan. Wajahnya tampak gelisah.
"Mulai sekarang kau kupecat. Jangan anggap dirimu lebih berharga dari istriku." Alvin berkata tegas tanpa memberi ruang untuk negosiasi.
Rina terkejut, matanya membesar. "Maafkan saya, Pak. Saya tidak akan mengulanginya lagi. Jangan lakukan ini, Pak."
Namun, Alvin berlalu tanpa menghiraukan permohonan Rina. Baginya, kepercayaan Meyra lebih penting dari segalanya. Setelah mengurus dokumen pemecatan Rina, Alvin menutup laptopnya dengan perasaan lega. Dia menyadari bahwa sudah terlalu lama membiarkan sesuatu yang seharusnya ia selesaikan sejak awal.
Setelah menjemput Rheana dan Cessa dari sekolah, Meyra tiba di rumah. Di ruang tamu, Meyra tampak sibuk membereskan sesuatu dengan wajah yang masih menunjukkan rasa kesal. Rey, putra sulung mereka, memperhatikan perubahan sikap ibunya.
"Mom, ada apa? Apa Papi bertingkah lagi?" tanya Rey dengan nada bercanda.
Meyra menggeleng dan tersenyum kecil. "Gak apa-apa kok Rey, Mommy cuma capek aja."
"Mommy sudah makan?" tanya Rey lagi.
Meyra menggeleng pelan. "Belum."
"Ayo makan bareng, Mom. Aku temenin," ajak Rey.
Saat makan bersama, Rey berbicara tentang sekolah. "Mom, hari Senin aku mulai masuk sekolah lagi."
Meyra mengangguk. "Apa Mommy perlu carikan guru les untuk Rey? Supaya Rey lebih ngerti pelajaran di sekolah."
Rey memikirkannya sejenak, lalu berkata, "Iya Mom, aku rasa aku perlu guru les. Tapi aku mau yang privat ya Mom, biar bisa fokus."
Meyra tersenyum. "Oke. Nanti Mommy carikan guru les matematika, kimia, fisika, dan bahasa Inggris ya."
Rey terkejut. "Banyak sekali, Mom."
Meyra tertawa kecil. "Kan beda hari. Matematika Senin dan Selasa, Kimia Rabu, Fisika Kamis, Bahasa Inggris Jumat. Sabtu kamu istirahat. Bagaimana?"
Rey mengangguk. "Baiklah Mom, Rey akan coba jalani."
"Ini anak Mommy yang penurut," ujar Meyra bangga.
"Ini semua untuk kebaikan aku. Mommy kan selalu berusaha memberikan yang terbaik," kata Rey.
Meyra tersenyum hangat. "Terima kasih karena sudah jadi anak Mommy yang baik."
Rheana dan Cessa tertawa mendengar obrolan mereka. Setelah makan siang, mereka membereskan piring dan kembali ke kamar masing-masing untuk tidur siang.
Menjelang malam, Alvin tiba di rumah. "Sayang, Papi pulang!" panggilnya.
Meyra muncul di ruang tamu dengan wajah yang masih tampak kesal.
"Mana ciuman untuk Papi?" tanya Alvin dengan senyum jahil.
Meyra melipat tangan di dada. "Minta aja sama Rina, sekretaris Papi yang seksi itu."
Rey yang mendengar percakapan itu tertawa. "Cieee... Mommy cemburu."
Alvin melotot ke arah Rey. "Rey..." ujarnya sambil memberi kode agar Rey tidak ikut campur.
Meyra hanya mendesah pelan dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Selama memasak, pikirannya melayang ke berbagai arah. Meski Alvin sudah memecat Rina, ada keraguan dalam dirinya. Ia tidak ingin pernikahan mereka berakhir sia-sia.
Setelah makan malam, Meyra tetap mendiamkan Alvin. Namun, Alvin tahu bahwa sikap diam Meyra tidak berlangsung lama.
Setelah semua beres, mereka kembali ke kamar masing-masing. Alvin yang mulai tak sabar mencoba mendekati Meyra.
"Jangan lupa janjimu ya, Sayang." Bisik Alvin ke telinga Meyra.
Meyra masih diam. Alvin menghela napas dan mulai mengeluarkan jurus pamungkasnya. "Baiklah, akan kutelpon temanku untuk mencari informasi sekolah baru buat anak-anak."
Meyra menatap Alvin, kali ini dengan nada memohon. "Jangan lakukan itu, Sayang."
Alvin tersenyum penuh kemenangan. "Baiklah, mulai lakukan tugasmu malam ini."
Malam itu mereka kembali menyatu, dan Alvin berbisik, "I love you, Meyra."
Meyra hanya tersenyum sebelum terlelap dalam pelukan Alvin. Alvin menatap wajah istrinya yang tertidur dan berkata lirih, "Terima kasih telah hadir dalam hidupku. Maafkan aku yang selalu memaksamu."
Keesokan paginya, Meyra menyiapkan sarapan untuk anak-anak dan suaminya. Sebelum berangkat mengantar anak-anak ke sekolah, ia mencium pipi Alvin tanpa diminta. Alvin tersenyum puas. Menurutnya, ini adalah kemajuan besar dalam hubungan mereka.
Setelah mengantar anak-anaknya ke sekolah, Meyra kembali ke rumah dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Siang harinya, Alvin tiba-tiba pulang, membuat Meyra terkejut.
"Kenapa Papi pulang tiba-tiba?" tanya Meyra.
Alvin mendekat dan tersenyum. "Aku merindukanmu, Sayang."
Meyra meletakkan kain yang sedang dilipat dan menatap Alvin dengan heran. "Merindukan aku di siang bolong begini? Ada apa sebenarnya?"
Alvin tertawa kecil dan menarik pinggang Meyra, mendekatkannya. "Apa aku butuh alasan untuk merindukan istriku sendiri?"
Meyra pura-pura merengut. "Kamu ini ada-ada saja."
Alvin mengecup dahi Meyra lembut. "Aku serius. Rasanya seperti ingin pulang saja setiap jam."
Meyra tertawa pelan, tangannya mengusap lengan Alvin. "Papi ini sudah seperti pengantin baru. Umur sudah 46, tapi tingkahnya kayak anak muda."
Alvin tersenyum jahil. "Mungkin karena istriku yang selalu cantik. Jadi aku terus bergairah."
Meyra menghela napas. "Bagaimana kalau aku hamil?."
Alvin merangkulnya erat. "Aku berharap kau hamil. Aku ingin kamu tetap di sisiku selamanya, Sayang."
Meyra menatap mata Alvin, dan untuk sesaat, ia merasakan ketulusan di sana. "Terima kasih, Papi. Aku juga ingin tetap di sisimu."
Setelah momen itu berlalu, Alvin bersiap kembali ke kantor. Sebelum keluar, ia berkata, "Oh iya, Rina sudah aku pecat dan aku ganti dengan Marcel."
Meyra tersenyum puas. "Hati-hati ya, Sayang. Jangan nakal di kantor."
Alvin tertawa sambil mencium bibir Meyra. "Tenang saja, hatiku hanya untukmu."
Setelah Alvin kembali ke kantor, Meyra menjemput Cessa. Dua jam kemudian, ia menjemput Rheana dan Rey. Mereka pulang dan menjalani aktivitas seperti biasa. Rey tampak senang karena les privatnya berjalan lancar.
Tak terasa, Meyra dan Alvin sudah menjalani rumah tangga selama dua bulan. Hubungan mereka semakin membaik meski Meyra belum pernah mengungkapkan cinta kepada Alvin. Namun, Alvin tetap sabar menunggu.
Suatu sore, saat Meyra keluar untuk membeli camilan, ia bertemu dengan mantan suaminya, Baim.
"Apa kabar, Meyra, mantan istriku?" sapa Baim dengan senyum di wajahnya.
Meyra terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Aku baik, Baim. Bagaimana denganmu?"
Baim mengangkat bahu. "Seperti biasa. Tapi aku tidak menyangka bisa bertemu kamu di sini. Kamu tampak berbeda."
Meyra tersenyum kaku. "Semua orang pasti berubah, Baim. Bagaimana keluargamu?"
Baim terdiam, matanya menatap Meyra dalam. "Aku belum menikah lagi. Mungkin karena aku belum bisa melupakan kamu."
Meyra terdiam, dia takut Baim akan merusak kebahagiaannya dengan Alvin karena dia tahu bagaimana watak Baim yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Tanpa Meyra ketahui, Alvin pernah memberikan sejumlah besar uang kepada Baim agar Baim mau menceraikan Meyra saat itu.