Muak seluruh semesta saling membunuh dalam pertikaian yang baru, aku kehilangan adikku dan menjadi raja iblis pertama kematian adikku menciptakan luka dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Labyrinth Stomach
Arata memahami kata-kata Halkalmi tentang pintu yang anti sihir dan tahan terhadap tebasan. Tanpa menggunakan aliran energi apapun, dia mengerahkan kekuatan fisik murni yang luar biasa.
Otot-otot lengannya menegang, menciptakan gelombang tekanan yang mampu menembus material dimensi pintu. Setiap dorongan Arata membuat pintu bergetar, bergeser — memulai perubahan, dan akhirnya.
"Terima kasih atas informasinya," Arata bergumam.
Halkalmi tersenyum di kejauhan, "Kau memang luar biasa."
Pintu raksasa itu terbuka meski memiliki jalan yang sempit tapi cukup untuk tubuh Arata, membuka jalan menuju ruang rahasia di pusat labirin Alkahalm.
Arata melangkah masuk ke ruang rahasia yang terbuka. Interior ruangan dipenuhi dengan refleksi dimensional yang bergerak dinamis, menciptakan ruang abstrak yang sulit dipahami oleh logika biasa.
Halkalmi muncul di hadapannya, sosoknya separuh transparan, bergerak mengikuti pola aliran dimensi ruangan. "Selamat datang di inti labirin-ku, Arata. Ruang ini adalah semuanya bergantung atas kehendak aku. Aku bisa membuatmu tidak bisa apa-apa disini."
"Memang hebat. Aku anggap kau temanku." Mata kanannya [Sargceva] mulai bekerja, memindai setiap detail ruangan. Jutaan bayangan dan kemungkinan berputar di sekitarnya, menunjukkan berbagai skenario pertempuran yang mungkin terjadi.
"Aku tidak mau itu, kau menganggap teman adalah sesuatu yang paling layak untuk dibunuh. Maaf saja, aku tidak sebodoh itu."
Sekeliling mereka mulai berubah. Refleksi-refleksi dimensional menampilkan potongan-potongan memori pertempuran Arata dengan para Dewa perang sebelumnya. Setiap bayangan bergerak, menciptakan narasi yang kompleks dan rumit.
"Kau ingin menunjukkan apa padaku?" Arata bertanya dengan tenang.
Halkalmi tersenyum misterius. "Kebenaran yang selama ini kau cari."
*huff*
Arata menghela napas, "aku sudah bosan dengan kalimat itu. Begini, aku tidak terlalu suka orang yang terlalu banyak bicara dan berpura-pura pintar."
Seringai Halkalmi memudar seketika. Refleksi dimensional di sekeliling mereka bergetar merespons perubahan emosinya.
"Kau benar-benar tidak punya sopan santun ya," Halkalmi mendesis. "Baiklah, mari kita selesaikan ini dengan caramu."
Ruangan berguncang. Ribuan fragmen dimensi berputar cepat, membentuk tornado energi yang mengurung Arata. Halkalmi mengangkat tangannya, dan setiap fragmen berubah menjadi pedang yang berkilau - masing-masing siap menghujam dari segala arah.
"Sargceva memang hebat," Halkalmi berkata, "tapi di ruangan ini, realitas adalah milikku. Setiap kemungkinan yang kau lihat, bisa kuubah sesukaku."
Arata tetap tenang. Mata kanannya berpendar, menganalisis setiap perubahan di sekelilingnya. "Menarik. Tapi kau tahu..."
Dalam sekejap, Arata menghilang dari posisinya. Halkalmi terkesiap - merasakan kehadiran Arata tepat di belakangnya.
"...mata ini tidak hanya melihat kemungkinan," bisik Arata, "tapi juga celah dalam setiap ilusi."
Tangan Arata bergerak cepat, namun Halkalmi berhasil menghindar di detik terakhir. Tubuh transparannya melebur dengan dimensi ruangan.
"Impressive!" Tawa Halkalmi menggema. "Tapi ini baru permulaan, Arata!"
Ruangan kembali bergetar. Kali ini, dimensi-dimensi di sekeliling mereka mulai memadat, membentuk struktur labirin yang terus berubah. Dinding-dinding dimensional bergerak dan berotasi, menciptakan maze yang hidup.
"Mari kita lihat seberapa jauh matamu itu bisa membantumu." Suara Halkalmi terdengar dari segala arah. "Dalam permainan ini, tidak ada jalan keluar yang pasti. Setiap pilihan bisa jadi jebakan... atau kemenangan."
Sudut bibir Arata terangkat sedikit. "Kau benar-benar suka berbicara ya..." Dia mengambil posisi siaga, energi murni mengalir di sekitar tubuhnya. "Tapi baiklah, aku akan mengikuti permainanmu... untuk saat ini."
Arata melangkah maju dengan tenang, setiap gerakan didasari perhitungan presisi. Dinding-dinding dimensional terus bergerak, mencoba menjebaknya, namun mata takdir Sargceva memberinya keunggulan - menunjukkan celah-celah dalam pola pergerakan labirin.
"Kau tahu," Arata berkata sambil menghindari dinding yang tiba-tiba muncul, "ada sesuatu yang menggangguku sejak masuk ke sini."
Tawa Halkalmi bergema. "Oh? Apa itu?"
"Kekuatanmu..." Arata menghentikan langkahnya. "Terlalu... tidak aku butuhkan sebagi gantinya aku akan tetap membunuhmu."
Keheningan sesaat. Pergerakan labirin melambat.
"Apa maksudmu?" Nada suara Halkalmi berubah, ada ketegangan samar di dalamnya.
"Dimensi adalah konsep yang kompleks," Arata melanjutkan, tangannya menyentuh salah satu dinding dimensional. "Bahkan para dewa yang kutemui sebelumnya tidak bisa mengendalikannya semudah ini. Kecuali..."
Tiba-tiba, Arata menghantam dinding di depannya dengan kekuatan penuh. Retakan muncul, bukan pada dinding dimensional, tapi pada realitas di sekitarnya. Seperti cermin yang retak, ilusi mulai pecah.
"Kecuali ini semua hanya proyeksi." Arata tersenyum tipis. "Benar kan, Halkalmi? Atau... siapapun kau sebenarnya."
Ruangan bergetar hebat. Labirin dimensional mulai tidak stabil, beberapa bagian menghilang dan muncul secara acak.
"MENARIK!" Suara Halkalmi berubah, lebih dalam dan bergema. "SANGAT MENARIK! Tidak kusangka kau bisa melihat sejauh itu."
Sosok Halkalmi muncul di hadapan Arata, tapi kali ini berbeda. Tubuhnya bukan lagi semi-transparan, melainkan berpendar dengan energi murni yang familiar bagi Arata.
"Kau..." mata Arata menyipit. "Salah satu fragment dewa yang kukalahkan."
"Tepat sekali!" Halkalmi - atau makhluk yang menyamar sebaginya - tertawa. "Kami yang tersisa dari para dewa yang kau bunuh, bersatu, menciptakan ilusi sempurna ini. Dan sekarang..."
Energi meledak dari tubuhnya, menghancurkan seluruh ilusi labirin. Ruangan berubah menjadi void kosong dengan energi dewa yang berputar-putar.
"...SAATNYA PEMBALASAN!"
Arata memasang kuda-kuda, energi murninya beresonansi dengan Sargceva. "Heh... setidaknya sekarang kau berhenti berpura-pura."
Pertarungan sesungguhnya akan dimulai - bukan melawan penguasa dimensi, tapi menghadapi dendam para dewa yang telah dia kalahkan.
"Kata-kata yang sombong," sosok Halkalmi berubah, memperlihatkan wujud aslinya - sebuah entitas yang terbentuk dari gabungan fragmen-fragmen dewa yang pernah dikalahkan Arata. Energi divine menguar kuat, menciptakan distorsi di void kosong sekitar mereka.
"Kau pikir bisa mengalahkan kekuatan kolektif kami? NAIF!" Suara bergema dari segala arah. Void mulai dipenuhi dengan manifestasi ingatan - setiap pertarungan Arata dengan para dewa, setiap tetes darah yang ditumpahkan, setiap nyawa yang direnggut.
"Membosankan," Arata menguap. "Kalian masih belum mengerti ya?"
Dalam sekejap, Arata menghilang dari posisinya. Bukan menggunakan dimensi atau ruang, tapi melampaui konsep pergerakan itu sendiri. Sargceva berpendar, menunjukkan ribuan titik kelemahan dalam konstruksi energi divine yang mengelilinginya.
"Mustahil!" Entitas itu berteriak saat merasakan Arata muncul di berbagai titik secara bersamaan. "Bagaimana kau bisa bergerak dalam void absolut?!"
"Sudah kubilang kan?" Arata tersenyum tipis, tangannya terangkat. "Dimensi, waktu, ruang - itu semua tidak dapat menghentikan langkahku."
Energi murni meledak dari tubuhnya, menciptakan gelombang yang menggetarkan void itu sendiri. "...sudah lama melampaui batasan-batasan seperti itu."
"TIDAK AKAN KUBIARKAN!" Entitas itu melepaskan seluruh kekuatannya. Void dipenuhi dengan ribuan senjata divine, masing-masing mengandung kekuatan yang mampu menghancurkan realitas dunia Alkahalam.
"Kalian para dewa perang selalu sama," Arata menggelengkan kepala, masih dengan ekspresi bosan. "Terlalu bergantung pada kekuatan fisik, terlalu percaya pada konsep keabsolutan..."
Dalam gerakan yang bahkan tak tertangkap mata, Arata melesat. Bukan menghindari senjata-senjata divine, tapi bergerak melalui celah-celah eksistensi itu sendiri. Sargceva memandunya, menunjukkan jalur sempurna menuju inti dari entitas gabungan itu.
"...dan itulah kenapa kalian selalu kalah."
Tangannya terkepal, berisi energi murni yang telah dipadatkan - bukan energi divine, bukan sihir, tapi kekuatan yang berasal dari tekad absolutnya sendiri.
"TIDAAAAK!"
Terlambat. Pukulan Arata menghantam tepat di inti entitas itu. Void berguncang hebat saat energi murni Arata bertabrakan dengan energi divine yang terkumpul.
"Inilah akhirnya," Arata bergumam pelan. "Selamat tinggal... dan kali ini, tetaplah mati."
Ledakan dahsyat mengguncang seluruh void, menghancurkan konstruksi dimensi terakhir yang tersisa. Fragment-fragment dewa yang tersisa mulai hancur, terurai menjadi partikel-partikel energi yang menghilang ke dalam ketiadaan.
Saat void mulai stabil kembali, Arata berdiri sendiri di tengahnya. Matanya menatap ke kejauhan, seolah melihat sesuatu yang jauh lebih besar dari pertarungan ini.
"Sekarang..." dia bergumam. "Di mana pintu keluar yang sesungguhnya?"
"Cukup main-mainnya," Arata memandang sekeliling void yang masih bergema dengan sisa-sisa energi pertarungan. "Labirin ini..." dia mengetuk lantai void dengan ujung kakinya, "...terlalu dalam untuk keluar dengan cara normal."
Energi murni mulai mengalir ke kaki kanannya, memusat dengan intensitas luar biasa. Retakan-retakan kecil mulai muncul di sekitar kakinya, bukan pada fisik tubuhnya, tapi pada ruang void itu sendiri.
"Maaf saja," Arata mengangkat kakinya tinggi-tinggi, "aku tidak punya waktu untuk mencari jalan keluar yang proper."
*BRAK!*
Kakinya menghantam lantai void dengan kekuatan yang melampaui batas. Retakan dimensional menyebar seperti jaring laba-laba, membelah kegelapan void. Suara gemuruh menggetarkan seluruh labirin Alkahalm dari dasarnya.
Dimensi-dimensi mulai runtuh, layer demi layer terkelupas seperti kulit bawang. Arata berdiri tenang di tengah kehancuran, matanya tertutup seolah menghitung.
"Tiga... dua... satu..."
*KRAK!*
Lantai void akhirnya hancur sepenuhnya. Arata terjun bebas menembus lapisan-lapisan dimensi, tubuhnya diselimuti energi murni yang melindunginya dari distorsi dimensional.
"Ah, itu dia."
Di tengah jatuhnya, Arata melihat cahaya - dunia luar. Dengan satu gerakan mulus, dia memposisikan tubuhnya dan mendarat dengan sempurna di luar labirin Alkahalm.
Sinar matahari menyambutnya, kontras dengan kegelapan void yang baru dia tinggalkan. Di belakangnya, labirin mulai menstabilkan dirinya kembali, menutup lubang dimensional yang dia ciptakan.
Arata menepuk-nepuk bahunya yang terkena debu dimensional. Dia melirik ke belakang sekilas, "Setidaknya aku dapat beberapa informasi berguna."
Dengan langkah ringan, dia mulai berjalan menjauh dari labirin.